Kekurangan dan Kelebihan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup

author Seno

- Pewarta

Sabtu, 07 Jan 2023 15:20 WIB

Kekurangan dan Kelebihan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup

Oleh: Zamrud (Alumni Ilmu Politik FISIP Unair)

Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Optika.id - Beberapa waktu terakhir wacana pergantian sistem pemilu proporsional terbuka yang selama ini dianut di Indonesia, ingin digantikan dengan sistem pemilu proporsional tertutup. Hal ini tentu menuai pro-kontra baik dikalangan tokoh politik, peserta pemilu dan masyarakat secara umum.

Tetapi, isu yang sedang hangat ini lebih banyak direspon tentunya oleh para politisi sendiri. Hal ini tentu wajar saja karena masyarakat secara umum kurang memahami secara pasti sebenarnya apa dampak dari pemilu dengan sistem proporsional tertutup.

Kebanyakan masyarakat mengerti secara umum ketika pemilu ya hanya mencoblos siapa calon yang ingin dicoblos, baik calon presiden (eksekutif) maupun calon anggota dewan perwakilan rakyat / daerah (legislatif).

Sebenarnya apabila melihat tata caranya ketika memilih dalam sistem proporsional tertutup juga tetap sama dengan sistem proporsional terbuka yakni dicoblos pada surat suara yang sudah disediakan, kemudian dimasukan ke dalam kotak suara yang ada di TPS.

Hal yang kemudian menjadi pembeda adalah untuk surat suara pemilihan legislatif kita tidak akan menemui nama calon anggota legislatif yang akan kita pilih, dalam artian kita memilih partainya saja. Berbeda dengan sistem proporsional terbuka yang mengekspose nama nama calon anggota legislatif sesuai dengan nomor urutnya pada partai yang bersangkutan.

Pada sistem proporsional terbuka ini juga selain kita bisa memilih nama calon legislatif yang akan kita coblos, kita juga bisa mencoblos partai politiknya saja apabila calon anggota legislatif yang ada tidak satupun yang kita kenal. Sejarah sistem pemilu proporsional tertutup ini sebenarnya di Indonesia pernah dilaksanakan pada era orde baru.

Pemilu yang dimulai tahun 1971 yang diikuti oleh 10 kontestan. Kemudian pada pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 diikuti oleh 3 kontestan.

Sistem yang digunakan pada pemilu 1971 diawali dengan perdebatan tentang adanya kemungkinan, terkait perpindahan sistem yang memungkinkan para anggota parlemen dapat dipilih secara langsung.

Walau pada akhirnya sistem yang digunakan tetap sistem perwakilan berimbang dengan daftar tertutup. Begitupun pada Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, dan Pemilu 1997. Pada masa Orde Baru, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah menyatakan bahwa pemilu Orde Baru tidak dirancang untuk mewadahi sirkulasi elit dan hasil sistem pemilu tertutup, tidak mendorong adanya perubahan di berbagai bidang terutama sosial, politik, dan ekonomi.

Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam buku Sistem Pemilu Di Indonesia Antara Proporsional dan Mayoritarian Asfar dkk menyebutkan sistem pemilu di Indonesia sebagai sistem pemilu pragmatis. Hal ini karena jika masih berlangsungnya sistem proporsional dengan daftar calon tertutup dan masyarakat masih sangat tergantung kepada parpol dalam menentukan pilihannya, karena daftar calon ditentukan oleh parpol secara mutlak.

Namun perlu disadari bahwa sistem pemilu pragmatis tersebut masih lebih demokratis apabila dibandingkan dengan pemilu masa Orde Baru yang hanya bersifat artifisial dan sekedar memenuhi prosedur demokrasi semata.

Kekurangan lainnya apabila jadi diterapkan model proporsional tertutup ini adalah masyarakat tidak akan mengetahui siapa bakal calon legislatif yang akan mewakili suara mereka di parlemen, mungkin kehendak masyarakat ingin nama A tetapi karena keputusan berada pada partai politik alhasil yang menjadi anggota dewan adalah nama B.

Ini tentunya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat yang bersangkutan. Sementara itu selain kekurangan terkait sistem pemilu proporsional tertutup kita juga perlu menilai kelebihan sistem tersebut. Pada sistem proporsional tertutup inilah sebenarnya peran partai politik sangat menentukan sebuah kemenangan yang akan dicapai. Pertarungan ideologi, visi-misi partai dan program partai politik akan menjadi sentral dalam perebutan wacana di ranah publik.

Masyarakat akan menilai partai politik mana yang kompeten dan konsisten dalam menjalankan programnya. Tentu hal ini berdampak positif bagi partai politik, sehingga kehadiran partai politik sebagai sarana penyalur aspirasi, agregasi kepentingan publik, manajemen konflik akan sangat dirasakan.

Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada

Hal ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang sekarang dirasakan di masyarakat terhadap partai politik selain hanya komunikasi politik yang sangat kentara dikalangan elit politik, tetapi fungsi partai politik yang lainnya tidak dirasakan secara maksimal di masyarakat.

Pertarungan baik antar partai maupun calon kandidat juga akan sangat dinamis dan berdinamika, sehingga apabila kandidat tersebut hanya mencalonkan diri karena populer sebagai artis, influencer maupun selebgram saja tidaklah cukup.

Walaupun mungkin hal tersebut juga bisa menaikan perolehan suara partai tetapi tentunya tidak signifikan. Dalam isu ini juga mayoritas fraksi dari berbagai partai menolak akan pergantian sistem pemilu terbuka menjadi tertutup, hanya fraksi PDIP saja yang dengan jelas mendukung sistem proporsional tertutup.

Tentunya ini menjadi pertanyaan apakah memang partai politik lainnya tidak ingin susah payah membangun program partai dan visi misi yang jelas dan konsisten kedepan? Atau mungkin memang sistem proporsional terbukalah yang paling tepat digunakan? Mari kita telaah dan analisis lebih lanjut agar memperoleh gambaran yang cukup jelas terkait arah pemilu ke depan.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU