Optika.id - PDIP dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sempat tuding menuding siapa yang memakai buzzer terbanyak pada tahun-tahun politik mulai menghangat. Sempat PKS membantah jika pihaknya memakai banyak buzzer dan berdalih jika yang bergerak di sosial media adalah kader PKS yang loyal terhadap partai.
Baca Juga: Oposisi Memang Berat Mas AHY, Demokrat Takkan Kuat, Biar Rakyat Saja
Menanggapi fenomena buzzer atau pendengung politik, co-founder dan fast-check specialist Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Aribowo Sasmito menyebut jika tak gampang menertibkan buzzer bayaran tersebut. Kini, buzzer sudah menjadi profesi dan ladang uang bagi orang-orang yang bermain di balik akun palsu.
Ari menilai jika saat ini media sosial sudah menjadi pasar bagi penyedia jasa buzzer. Tak heran, di Indonesia buzzer tumbuh subur sebab ada potensi keuntungan yang diperoleh di sana.
Sebetulnya bukan soal siapa membela siapa karena yang dibela adalah kepentingannya, yang dibela adalah apa, bukan siapa. Kalau cocok abang sayang, pas tidak cocok abang ditendang, ujarnya ketika dihubungi, Senin (9/1/2023).
Menurutnya, susah untuk menindak buzzer nakal di media sosial karena arena permainan para buzzer berada di area abu-abu yang sulit diidentifikasi hukum bahkan dijerat dengan UU ITE.
"Mereka juga bukan orang bodoh. Mereka sengaja bergerak di wilayah abu-abu ini dengan narasi-narasi dan teknik-teknik tertentu, main halus di ranah persepsi," ucapnya.
Dia menilai, selama publik masih belum dewasa dalam menyikapi berbagai wacana persepsi di media sosial, maka buzzer akan terus tumbuh subur. Pasalnya, dia melihat jika ada hukum pasar yang mendukung buzzer untuk terus berkembang. Maka dari itu, buzzer tidak bisa ditertibkan dalam waktu yang singkat.
"Ya enggak bisa menyalahkan buzzer juga ya. Malahan konsumennya yang harus diedukasi agar berhenti mengonsumsi produk jelek, kata Ari.
Kendati demikian, Ari juga menilai jika pemerintah harus memperjelas aturan terkait aktivitas di media sosial, terutamanya untuk buzzer. Hal tersebut bertujuan agar ruang buzzer semakin sempit dan mudah ditindak secara hukum. Namun, halangannya metode tersebut membutuhkan waktu yang panjang sebab menurutnya regulasi selalu tertinggal dengan kecepatan inovasi teknologi.
Baca Juga: Aksi Akrobatik Orang Narsis dalam Panggung Politik
Negara secara fisik tak memiliki kedaulatan oleh negara virtual yang kedaulatannya lintas perbatasan dan global, yang sebenarnya masalah bersama, bukan hanya Pemerintah Indonesia saja, ujar dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Senada dengan Ari, Arman Salam selaku Direktur Riset Indonesian Presidential Studies (IPS) menilai keberadaan buzzer bagaikan dua sisi mata uang. Dia menilai jika buzzer tak semuanya memiliki niat yang jahat karena ada pula buzzer yang eksis menjadi penyambung lidah masyarakat.
Satu sisi bisa memberikan informasi kalau memang kontennya benar, itu positif. Tapi sisi lainnya, bisa juga dijadikan medium baru melakukan fitnah atau menyebarkan isu yang buruk bagi proses berkebangsaan, ucapnya saat dihubungi, Selasa (10/1/2023).
Dia tak menampik jika saat ini buzzer lebih banyak mengarah ke berbagai hal yang sifatnya negatif. Sehingga dirinya mengamini urgensi aturan yang jelas untuk menertibkan buzzer tanpa harus mengorbankan kebebasan berpendapat di era demokrasi.
Arman menilai adanya regulasi yang jelas terkait aktivitas buzzer diperlukan karena saat ini di media sosial banyak beterbaran akun yang menyebarkan paham radikalisme secara sistematis, terstruktur dan terkonsep untuk memengaruhi persepsi publik.
Baca Juga: Isu Rohingya Tak Cukup Laku Buat Jadi Komoditas Politik?
Ketika disinggung mengenai sentiment pilpres yang masih ada di beberapa pegiat media sosial, Arman mengaku hal tersebut disebabkan adanya koordinasi yang buruk di kedua kubu dalam menyudahi pertarungan politik. Akibatnya, hingga kini masih ada pegiat media sosial yang terlena dengan persaingan pilpres.
Namanya sel-sel struktur organisasi itu kan mungkin tidak tersampaikan dengan baik atau terputus di tengah, dengan berbagai kepentingan atau mungkin sudah ditunggangi oleh kepentingan lain, tutur Arman.
Oleh sebab itu, dirinya mendorong ketergasan pemerintah agar membuat ekosistem media sosial yang lebih ramah dan nyaman terhadap demokrasi serta kehidupan sosial. Tak hanya itu, dia juga mendorong agar buzzer digiring ke koridor hukum agar tak menyimpang dan menimbulkan polarisasi di masyarakat.
"Harus ada ketegasan dari pemerintah kira-kira pakemnya seperti apa, supaya nanti masyarakat cerdas dan buzzer masuk ke dalam koridor yang memang dalam tanda kutip tidak menyimpang," tegasnya.
Editor : Pahlevi