Proporsional Tertutup Versus Proporsional Terbuka

author Seno

- Pewarta

Selasa, 24 Jan 2023 15:54 WIB

Proporsional Tertutup Versus Proporsional Terbuka

Oleh: Sri Sugeng Pujiatmiko (Mantan Komisioner Bawaslu Jatim)

Baca Juga: Menakar Pelaksanaan Verifikasi Faktual Keanggotaan Parpol Pemilu 2024

Optika.id - Seiring selesainya tahapan verifikasi faktual calon peserta pemilu, publik disuguhi perdebatan sistem proporsional tertutup dan proporsional terbuka yang pada akhirnya berujung pada permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 untuk menguji ketentuan Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Meskipun dalam perdebatan itu, setidaknya terdapat 8 (delapan) parpol yang menolak pemberlakuan sistem proporsional tertutup pada pemilu tahun 2024, kecuali PDIP.

Berkaitan dengan sistem proporsional terbuka, pada tahun 2008 Mahkamah Konstitusi pernah memutus dengan Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008, tanggal 23 Desember 2008, yang menggunakan standar ganda, yaitu nomor urut dan suara terbanyak.

Jika Mahkamah Konstitusi konsisten terhadap putusannya, maka terhadap permohonan judicial review penggunaan sistem proporsional, Mahkamah akan tetap memutus pemberlakuan sistem proporsional terbuka. Menurut hemat penulis, penggunaan sistem proporsional tertutup dan terbuka adalah konstitusional.

Permohonan judial review yang saat ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi, argumen yang dibangun Pemohon adalah dengan sistem proporsional terbuka membutuhkan biaya yang sangat mahal dari perspektif calon, sehingga kompetisi antar caleg dalam pemilu menjadi tidak sehat, karena praktek politik uang semakin semarak.

Sistem proporsional tertutup dan terbuka, masing-masing memiliki potensi biaya yang tinggi, dan jika menggunakan sistem proporsional tertutup, menurut hemat penulis hanya memindahkan persoalan biaya menjadi beban parpol, namun sama-sama berbiaya mahal.

Dengan penggunaan sistem proporsional tertutup, dominasi parpol akan menjadi dominan, khususnya dalam menempatkan nomor urut caleg maupun menentukan caleg terpilih atau tidak terpilih.

Parpol akan menempatkan calegnya sesuai dengan keinginan parpol, sehingga keterpilihan caleg juga akan bergantung parpol dalam menempatkan nomor urut calegnya.

Misalnya dalam konversi suara, parpol mendapat 2 (dua) kursi di satu dapil, maka caleg nomor urut 1 dan nomor 2 yang akan terpilih, meskipun perolehan suaranya terbanyaknya bukan nomor urut 1 dan nomor 2, karena penggunaan sistem proporsional tertutup penentuan caleg berdasarkan nomor urut, dan bukan suara terbanyak.

Kehendak pemilih yang nantinya dikonversi menjadi suara merupakan kehendak rakyat untuk memilih wakilnya sesuai dengan daerah pemilihan, namun jika menggunakan sistem proporsional tertutup, maka kehendak rakyat tidak dapat menentukan wakilnya secara langsung di daerah pemilihan yang bersangkutan, karena keterpilihan caleg didasarkan pada nomor urut.

Baca Juga: Pembatasan Usia Petugas Ad Hoc Untuk Mengurangi Resiko Meninggal Dunia

Tidak berlebihan jika penulis menyatakan, sistem proporsional tertutup keterpilihan caleg bergantung pada parpol dalam menempatkan calegnya, sedangkan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka keterpilihan caleg bergantung pada pilihan rakyat (pemilih) yang memilih secara langsung calegnya, maka tidak berlebihan jika sistem proporsional terbuka memiliki relasi antara pemilih dan yang dipilih secara langsung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Meskipun parpol sebagai peserta pemilu, namun parpol tidak dapat berdiri sendiri dalam mewakili kehendak rakyat untuk memilih secara langsung caleg yang dikehendaki, jika menggunakan sistem proporsional tertutup.

Maka parpol sebagai peserta pemilu harus menempatkan dan mencalonkan calegnya di setiap daerah pemilihan, yang sudah barang tentu dalam penempatan dan pencalonannya telah melalui mekanisme seleksi di internal parpol, dan masyarakat (pemilih) diberikan kebebasan untuk memilih caleg mana yang dikehendakinya, jika menggunakan sistem proporsional terbuka.

Dalam ketentuan Pasal 22 E ayat (3) UUD 1945 dinyatakan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, dan dalam ketentuan Pasal 22 E ayat (6) UUD 1945 dinyatakan ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum di atur dengan undang-undang. Maka Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dalam ketentuan Pasal 168 ayat (2) mengatur terkait dengan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Sistem proporsional tertutup telah digunakan pada saat orde baru dan reformasi, tentu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pilihan penggunaan sistem proporsional terbuka merupakan pilihan yang sudah melalui pertimbangan yang matang, dan tidak lagi membelenggu kehendak rakyat dengan hanya memilih partai, namun partai harus membuka ruang bagi caleg yang dicalonkan melalui partai politik agar masyarakat dapat memilih secara langsung caleg yang dikehendakinya. Kehendak masyarakat sebagai pemilih harus diberikan kebebasan seluas-luasnya dalam menentukan pilihannya sebagai bentuk kedaulatan rakyat.

Baca Juga: Sri Sugeng Pujiatmiko Buka Kantor Law Firm dan Konsultan Pemilu di Surabaya

Jika argumentasinya terkait penggunaan sistem proporsional terbuka, kompetisi antar caleg semakin tidak sehat dengan maraknya politik uang, maka menurut penulis bukan sistemnya yang disalahkan atau diganti, tetapi penegakan hukumnya yang harus ditingkatkan.

Penggunaan kedua sistem tersebut, dalam perspektif penyelenggara pemilu, akan lebih mudah menggunakan sistem proporsional tertutup, karena KPU hanya menghitung perolehan suara parpol saja, tanpa menghitung perolehan suara masing-masing caleg di daerah pemilihan.

KPU hanya menghitung perolehan suara parpol dan mengkonversi suara parpol dalam perolehan kursi di setiap daerah pemilihan, tanpa menghitung perolehan suara setiap caleg, karena dalam sitem konversi perolehan suara tidak menggunakan BPP (bilangan pembagi pemilihan). KPU sebagai penyelenggara pemilu, apapun sistem proporsionalnya, KPU harus siap untuk menjalankan tugasnya, baik proporsional tertutup maupun terbuka.

Sedangkan dari perspektif masyarakat pemilih, jika menggunakan sistem proporsional tertutup, maka pemilih tidak dapat memilih caleg secara langsung, tetapi hanya bisa memilih parpol saja dan itu (mungkin) akan berdampak pada partisipasi masyarakat pemilih. Maka jika menggunakan sistem proporsional terbuka akan terbangun relasi antara pemilih dengan yang dipilih secara berkesinambungan.

Sebab jika menggunakan sistem proporsional tertutup, maka kerja keras parpol untuk meraih suara sebanyak-banyaknya, sedangkan caleg khususnya caleg yang bernomor urut 4 dan seterusnya tidak akan berupaya untuk meraih suara sebanyak-banyaknya, karena meskipun mendapat suara terbanyak dalam satu daerah pemilihan pun tidak akan terpilih jika parpol di dapil yang bersangkutan hanya mendapat 2 (dua) kursi (misalnya), karena yang ditetapkan caleg terpilihnya adalah nomor urut 1 dan nomor urut 2.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU