Optika.id - Kasus Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK), Prof Budi Santosa Purwokartiko harus kembali digelar dalam proses persidangan. Sidang yang digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tepatnya di Jl. Raya Ir. H. Juanda Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, (26/1/2023).
Baca Juga: Dukung Rektor ITK, Habib Kribo: Al-Qur'an Hanya 1 Persen Bicara Ibadah, 99 Persen Tentang Duniawi
Dihadiri oleh 2 saksi yaitu Anas Rosidi, merupakan alumni senior ITS dan juga pengurus dari Ikatan Alumni ITS beserta Alexander, Dosen Universitas Narotama dulunya mahasiswa ITS dan Mahasiswa dari Prof Budi.
Saat proses persidangan, bermula dari penyampaian sumpah dari Hakim Ketua Persidangan, kemudian dilakukan sumpah dengan membawakan Al-Qur'an di atas kepala saksi. Seusai itu, proses persidangan pun dimulai dengan pertanyaan awal dari seseorang yang tergugat. Bermula dari tulisan Prof Budi dari platform Facebook yang viral.
Pasalnya, tulisanmanusia gurundariBudi SantosaPurwokartiko yang juga rektorITKini dianggaprasis dan melukai perasaan wanita dari agama tertentu. Budi Santosayang juga asesor LPDP dan rektor PTN di Kalimantan ini membanding-bandingkan mahasiswanya dengan beberapa hal tertentu termasuk wanita berpenutup kepala yang dia sebut alamanusia gurundan direspon banyak pihak sebagai ujaranrasis.
Dalam unggahan status Facebook Prof Budi Santosa yang beredar, awalnya dia menyinggung soal dirinya yang pernah mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri, program Dikti yang dibiayai LPDP. Budi menyebut para mahasiswa itu adalah anak-anak pintar yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, kata Budi, para mahasiswa itu mungkin termasuk 2,59 sisi kanan populasi mahasiswa. Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo.
Status Budi juga menyinggung soal IP para mahasiswa itu yang luar biasa tinggi yakni di atas 3.5 bahkan beberapa di antaranya 3.8 dan 3.9. Bahasa Inggris para mahasiswa itu juga sangat bagus bahkan dengan nilai IELTS 8, 8.5 bahkan 9.
"Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen. Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha2 untuk mendukung cita2nya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dsb. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata2 langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb," kata Budi dalam statusnya.
Selanjutnya Budi menyinggung para mahasiswa kuliah di luar negeri itu sebagai bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Selanjutnya barulah Budi menyinggung soal manusia gurun. "Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang2nya pandai bercerita tanpa karya teknologi," ungkap Budi.
Merespons hal itu, saksi mengungkapkan bahwa kasus seperti ini harus diperhatikan mengingat penggugat (Prof Budi) menghapus bukti di laman Facebook, akan tetapi sudah terlanjur di screenshot.
Baca Juga: Sudah 606 Alumni ITS Tandatangani Petisi Ujaran Kebencian Budi Santosa
"Inilah kata-kata dari beliau (Prof Budi) yang menurut saya, dan sekelompok alumni-alumni ITS lainnya yang juga senior seperti saya itu termasuk ujaran kebencian, masuk dalam kategori penistaan agama. Maka dari itu, kami memutuskan untuk membuat pernyataan, muncullah petisi yang bertujuan agar supaya hal ini tidak merusak dari generasi muda ITS terutama, karena loyalitas dan kecintaan kami terhadap ITS, itulah kira-kira penjelasan dari kami kenapa timbul petisi yang tersebar dan ditandatangani 975 orang," ucap Anas Rosidi selaku Saksi Pertama kepada Optika.id, Kamis (26/1/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Petisi dari pernyataan tersebut juga memiliki identitas seperti Nama, Nomor, Jurusan dll, sehingga petisi itu bukan sembarangan dibuat hanya untuk menyudutkan dari pihak penggugat, namun didasarkan dari pandangan alumni-alumni ITS beserta pihak-pihak lain yang terkait. Para alumni diminta untuk mengisi Nama, Nomor Telefon dan Alamat. Setelah mengisi petisi itu, terdapat verifikator yang secara langsung diadakan verifikasi.
"Petisi dibuka tanggal 27 April 2022 dan ditutup pada tanggal 9 Mei 2022, kira-kira sekitar satu bulan, saya hanya tanya saja kepada Junior berapa orang yang mengisi petisi tersebut, tidak sampai saya ikut campur membuatnya, saya kan senior, jadi menurut saya, tidak perlu ikut campur," ujar Anas saat ditanyai oleh Hakim Ketua di Pengadilan Tata Usaha Negara itu.
Setelah itu, pihak penggugat Budi kembali melontarkan pertanyaan kepada saksi tentang Surat Keputusan Rektor, apakah saksi mengetahui tanggal kapan surat Rektor itu muncul. Budi juga menanyakan terkait surat sanksi yang diberikan kepadanya, "Apakah saksi tau sanksi yang diberikan kepada saya itu seperti apa?, dan apakah saksi tau sanksi yang dimaksud seberat-beratnya itu seperti apa?," ujar Budi saat proses Persidangan berlangsung.
"Ya, kan menurut saya kalau diberikan sanksi, apalagi dari pihak terkait seperti ITS itu bisa memberikan apa ya istilahnya efek jera, agar penggugat juga insaf atas apa yang sudah diperbuat kepada media sosial, kan media sosial sekarang sudah bisa dibilang canggih. Tapi, ternyata beliau malah menggugat, silahkan saja kalau mau menggugat," ungkap Anis menjawab pertanyaan Budi.
Baca Juga: 400 Alumni ITS Telah Tandatangani Petisi Ujaran Kebencian Budi Santosa
Ketika tulisan di Facebook dibuat, para senior-senior ITS berkumpul kemudian menyimpulkan bahwa tulisan dari Budi mengandung ujaran kebencian dan termasuk penistaan agama. Kesimpulan yang dibuat bukan semata hanya pandangan dari saksi, tetapi juga pihak-pihak terkait menyimpulkan hal yang sama. Akan tetapi, Budi kembali menanyakan bahwasannya kalimat mana yang mengungkapkan bahwa dirinya melakukan ujaran kebencian dan siapa yang berhak menangani kasus seperti ini.
"Tidak tahu saya, kan ini hanya pernyataan, semua keputusan apapun terkait sanksi dan segala macamnya ya saya serahkan kepada pihak ITS, saya tidak ikut campur terkait urusan ini," ujar Anis merespons pertanyaan Budi.
Seiring berjalannya proses sidang, Budi kerapkali melontarkan pernyataan terkait dengan sanksi yang diberikan kepadanya, Budi tidak setuju dengan apa yang diberikan. Namun, Anis tetap merespon hingga pada akhirnya proses persidangan pun ditutup oleh Hakim Ketua Persidangan.
"Menurut saya, selalu jaga omongan ketika berada di media sosial, karena juga ada slogan "mulutmu harimaumu" itu yang harus benar-benar dijaga, istilahnya etika dalam bersosial media harus dijaga. Pihak dari ITS juga diharapkan seringkali mempertemukan alumni-alumni, profesor-profesor agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi. Dan bagi saya, Prof Budi juga harus diberikan sanksi atas apa yang diperbuat olehnya," pungkas Anis setelah proses persidangan ditutup.
Editor : Pahlevi