Optika.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendapatkan laporan adanya kasus baru gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) setelah tidak adanya kasus baru sejak awal Desember tahun lalu.
Baca Juga: Kasus Covid-19 Naik Jelang Nataru, Kemenkes: Masih Terkendali
Baru-baru ini, Dinas Kesehatan DKI Jakarta menerima dua kasus laporan terkait GGAPA. Penambahan kasus tercatat pada tahun ini di mana ada satu kasus konfirmasi GGAPA dan satu kasus yang lain merupakan suspek.
Menanggapi munculnya kasus baru gagal ginjal akut, epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman meminta kepada pemerintah agar segera menetapkan kasus gagal ginjal akut yang menyebabkan kematian anak tersebut sebagai kejadian luar biasa (KLB).
"Itulah, kenapa kasus gagal ginjal akut tidak juga ditetapkan sebagai KLB. Karena kasus ini sudah memenuhi kriteria untuk bisa ditetapkannya KLB," ujar Dicky Budiman kepada Optika.id, Rabu (8/2/2023).
Padahal, menurut Dicky penetapan status KLB pada kasus gagal ginjal akut ini bakal mempermudah tugas pemerintah dalam menangani kasus itu. Terlebih, adanya kandungan dalam obat sirup juga memenuhi syarat penetapan KLB mengacu pada Permenkes Nomor 1501 Tahun 2010 tentang KLB.
"Kalau mengikuti prosedur KLB, pemerintah diperbolehkan membentuk satuan tugas yang bisa mendapatkan data akurat terkait penyebab utamanya yang menyebabkan penambahan kasus gagal ginjal akut," ucap Dicky.
Baca Juga: Target Penurunan HIV AIDS di Indonesia Masih Belum Optimal
Dari sisi indikator, kasus gagal ginjal di Indonesia menurutnya sudah memenuhi kriteria untuk lekas ditetapkan sebagai KLB. Dimulai dari sisi karakteristik serta obat yang dikonsumsi merupakan obat umum yang dijual bebas, bukan melalui resep dokter terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Maka dari itu, Dicky mengaku heran kepada pemerintah yang tidak segera menetapkan status KLB padahal seluruh kriteria tersebut sudah sesuai untuk dijadikan KLB. Di satu sisi, kejadian seperti itu sudah berulang dan diartikan menunjukkan masalah yang ada di bawah atau permukaan banyak potensinya. Akibatnya, yang muncul adalah lemahnya komprehensif penyelesaiannya. Sebab, penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak mengarah pada masalah intinya secara langsung.
Selain dari faktor pemerintah, Dicky juga menyinggung kesadaran masyarakat yang rendah untuk berkontribusi terhadap tingginya jumlah kasus dan angka kematian dari gagal ginjal akut ini. Sehingga, mereka lebih memilih untuk mengobati sendiri kalau sakit.
Baca Juga: Kemenkes Tegaskan Pneumonia China Tak Akan Jadi Pandemi Baru di Indonesia
Namun, hal tersebut juga mengacu pada health seeking behavior Indonesia yang termasuk lemah di antara negara-negara lain ASEAN. Dicky berpendapat bahwa antara layanan kesehatan dan tingkat kesadaran masyarakat yang sangat berkontribusi hingga akhirnya terlambat ditangani.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa kasus tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dari setiap level. Namun, dia menyebutkan yang menjadi masalahnya adalahsense of crisistidak terbangun di pemerintahan.
Hingga akhirnya karena tidak ada penyelesaian, menimbulkan saling tunjuk. Padahal ini adalah PR terbesar yang harus diselesaikan dan belum terlambat karena kasusnya masih hangat dan bisa dijadikan pembelajaran, jelasnya.
Editor : Pahlevi