Optika.id - Indonesia yang berstatus sebagai negara maritime atau kepulauan dengan berbagai kekayaan biota lautnya menorehkan luka yang cukup ironis. Pasalnya, kesejahteraan nelayan di negeri ini terbilang mengalami miskin ekstrem dibandingkan dengan profesi lainnya.
Baca Juga: Dorong Peningkatan Kualitas Masyarakat Pesisir, KKP Tawarkan Beberapa Program Strategis
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Maliki, menyebut beberapa faktor yang menyebabkan mengapa nelayan tergolong lebih miskin ekstrem dibandingkan dengan profesi lainnya.
Faktor pertama yakni kemampuan sumber daya manusia dalam memanfaatkan teknologi dan alat tangkap relative masih kurang, meskipun sumber daya laut melimpah ruah.
Istilahnya, produktivitasnya memang lebih rendah, sehingga mereka tidak banyak menikmati potensi sumber daya laut yang cukup besar, ujarnya, Rabu (8/2/2023).
Hal yang kedua yakni nelayan kekurangan modal. Pasalnya, biaya operasional kapal dan lain-lainnya cukup tinggi sehingga mengakibatkan biaya produksi ikut melonjak naik.
Bahkan, Maliki mengatakan apabila semuanya dijumlahkan dari pengeluaran produksi lalu dikurangi hasil penjualan, maka nelayan pun tidak terlalu banyak menikmati keuntungannya.
Ketiga, terkait dengan sistem penjualan. Maliki menyebut jika hasil tangkap nelayan biasanya dibanderol dengan harga yang terlampau rendah. Pengepul pun menetapkan harga seenak hati dan tidak sesuai dengan nilai keekonomian saat itu.
Di sisi lain, tantangan lainnya yakni akses infrastruktur di pesisir yang kurang memadai yang berdampak pada biaya transportasi yang mahal. Hal tersebut belum ditambah dengan masalah sampah di pesisir dan laut.
Mereka tidak dapat menikmati potensi laut kita yang cukup banyak, apalagi kita negara kepulauan, ujarnya.
Lain halnya dengan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati mengatakan jika di pesisir sebenarnya ada konsep nelayan yang tidak menganggap dirinya miskin. Namun, dia tak menampik jika ada stigma miskin, kumuh, dan bodoh yang sengaja dilekatkan kepada nelayan.
Mereka sudah cukup kok dengan laut yang mereka punya hari ini. Tapi kondisi hari ini, ya mereka terjebak dalam situasi terpaksa atau dipaksa dimiskinkan secara terstruktur, ujar Susan, Rabu (8/2/2023).
Kondisi yang dia maksud seperti nelayan di Teluk Jakarta yang terusik dengan reklamasi. Dia juga menyebut pembangunan itu memiskinkan yang kemudian membuat mereka semakin jauh dari ruang hidup para nelayan itu.
Situasi kemudian diperparah dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Disebutkan dalam perppu tersebut ada klausul pengurusan izin pada pemerintah untuk orang yang melakukan usaha perikanan.
Baca Juga: Faktor Cuaca Ekstrem, Dinas Perikanan Lamongan Berikan Sembako Untuk Nelayan
Tak hanya itu, Perppu Cipta Kerja dinilai Susan memberikan karpet merah masuknya investasi perikanan asing sehingga bisa beroperasi secara bebas di perairan Indonesia. Ketika ada kapal penangkap ikan skala perusahaan, maka posisi nelayan tradisional akan tergeser dan kalah bersaing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut kami, nelayan tradisional itu sedang dipaksa untuk dihilangkan, tuturnya.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan penerimaan fantastis negara dari subsector perikanan tangkap. Hal ini ditunjukkan pada awal tahun ini, Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengumumkan besarnya capaian penerimaan negara bukan pajak (PNBP) subsector perikanan tangkap sebesar Rp1,26 triliun. Angka tersebut diketahui tumbuh sebanyak 61% secara tahunan dibandingkan dengan jumlah capaian pada tahun 2021 sebesar Rp784 miliar.
Kalau kita telaah lagi, itu enggak terlalu signifikan juga dengan kesejahteraan nelayan, katanya.
Selain itu, Susan menilai jika pemerintah tidak memiliki konsep yang jelas tentang pengelolaan ruang laut. Pasalnya, situasi sekarang terbuka investasi manapun untuk masuk ke ranah pesisir tanpa mempertimbangkan relasi manusia dengan alam.
(Pemerintah) juga tidak punya program yang jelas bagaimana mau mendorong mereka keluar dari skema kemiskinan terstruktur ini, kata Susan.
Dari segudang masalah tersebut, Maliki mengungkapkan formula ideal yang bisa dilakukan sebagai jalan keluar yakni kerja sama antar kementerian dan lembaga (K/L) di bawah komando Wapres Maruf Amin.
Baca Juga: Pemkot Surabaya Tambah Anggaran Rp 10 Miliar Untuk Pemberdayaan Nelayan
Dia berpendapat jika prinsip kerja sama tersebut bisa menggunakan data dan pemikiran yang sama atas sebuah kondisi yang ingin diselesaikan.
Program pemerintah daerah, program bukan pemerintah, itu diatur bersama-sama, sehingga berjalan bersama-sama dan mengeroyok orang yang betul-betul akan kita entaskan (kemiskinannya), ujar Maliki.
Lain halnya dengan Susan yang mengatakan jika pemerintah memang berniat untuk mengatasi kemiskinan ekstrem yang dialami nelayan, maka dia menyarankan untuk memberikan segala yang dibutuhkan nelayan. Dia menegaskan jika nelayan tidak butuh sesuatu hal yang mewah.
Yang menjadi penting buat mereka, negara memastikan mereka bisa melaut dengan tenang, enggak diusir, enggak terusir, dan ada fasilitas, tuturnya.
Upaya tersebut misalnya bisa dilakukan dengan keseriusan pemerintah dalam mengatasi kesulitan nelayan dengan ketersediaan BBM bersubsidi, perlindungan kesehatan dan jaminan asuransi melaut. Sayangnya, menurut Susan pemerintah belum atau memang tidak berniat sampai ke tahap tersebut. Apabila keadaannya masih sama dan tidak berubah, maka Indonesia makin jauh dari mimpi dan target nelayan berdaulat.
Nyatanya kan nelayan semakin sulit. Sekarang regenerasi nelayan saja sulit. Karena banyak yang orang tuanya nelayan, mengatakan (kepada anaknya) enggak usah jadi nelayan. Mereka tahu, betapa sulitnya menjadi nelayan di Indonesia, pungkasnya.
Editor : Pahlevi