Optika.id - Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Hardinsyah menilai jika target penurunan penderita stunting atau kekerdilan di Indonesia hingga 14% susah untuk dicapai. Ucapannya tersebut bukan tak beralasan. Pasalnya, dia merujuk pada pencapaian penurunan angka stunting setiap tahunnya yang sangat kecil.
Baca Juga: Lewat Langkah Asman, Lamongan Optimis Bisa Turunkan Stunting
"Setiap tahun hanya turun 2% atau 3%. Kalau evaluasinya itu tahun 2024, berarti tinggal 1,5 tahun lagi. Belum ada pengalaman (jumlah bayi stunting) menurun 7% selama 1,5 tahun," ujar Hardinsyah dalam keterangannya, Selasa (14/3/2023).
Oleh sebab itu, sebagai upaya menurunkan angka stunting secara optimal, Hardinsyah menawarkan sejumlah solusi kepada pemangku jabatan dan stakeholder terkait. Yang pertama yakni pemerintah harus fokus pada batita dan anak yang akan lahir.
Kedua, pemerintah harus mengentaskan tiga faktor utama penyebab stunting itu sendiri seperti gangguan infeksi, kekuarangan pangan yang berkualitas, dan terbatasnya akses pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi. Hardinsyah menyebut jika bantuan pangan berkualitas ini harus diberikan bagi ibu yang menyusuia serta anak yang berusia di bawah 3 tahun setara dengan 1000 hari pertama usai kelahiran yang merupakan golden age. Dalam masa 1000 hari pertama, baik ibu dan anak membutuhkan gizi yang cukup seperti lauk-pauk dan buah-buahan untuk memperkuat pembentukan tulang dan sel-sel otak.
Hardinsyah menganggap jika ibu hamil dan ibu yang menyusui ekslusif selama 6 bulan rentan kekurangan lauk-pauk. Maka dari itu, mereka juga membutuhkan banyak protein dan mineral seperti buah yang mengandung vitamin C dan kalsium untuk membentuk tulang.
Kemudian, Hardinsyah menggarisbawahi pentingnya aksesair bersih yang bisa diakses oleh anak-anak dan ibu hamil untuk mencegah stunting karena infeksi bakteri. Tak hanya itu, masyarakat juga perlu diedukasi untuk bergaya hidup sehat dan higienis.
"Kalau air itu artinya perlu infrastruktur air bersih. Bakteri berkembang kalau orang enggak bersih. Kunci dari menjaga kebersihan itu air. Mandi, kalau abis BAB (buang air besar), ya, dicuci. Abis cuci, dibersihkan," kata dia.
Baca Juga: Kasus Covid-19 Naik Jelang Nataru, Kemenkes: Masih Terkendali
Terkait dengan akses layanan kesehatan, Hardinsyah menilai hal tersebut sangat dibutuhkan bagi balita yang menderita stunting akibat faktor genetic. Maka dari itu, dia mengatakan agar memperkuat layanan BPJS sehingga akses BPJS tersebut bsia dijangkau anak stunting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam momen tersebut, Hermawan Saputra selaku Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) setuju dengan target penurunan stunting hingga 14% pada tahun 2024 nanti susah untuk dicapai. Dia menilai jika data SSGI Kemenkes tidak menggambarkan realita secara langsung di lapangan.
"Data di SSGI dan di lapangan bisa jadi berbeda. Bisa jadi potensi dan temuan itu tinggi. Tentu saja selama pandemi Covid-19 itu menambah kesulitan untuk melakukanscreeningdan mengidentifikasi gangguan ke arah stunting lebih cepat," jelas Hermawan.
Maka dari itu, dirinya pun menawarkan solusi untuk mengatasi stunting hingga target yang rasional bisa tercapai. Di antaranya yakni membentuk tim atau kader-kader pencegah stunting berbasis komunitas masyarakat. Menurutnya tim tersebut perlu dibentuk di daerah-daerah yang langganan kena stunting seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi Barat.
Baca Juga: Target Penurunan HIV AIDS di Indonesia Masih Belum Optimal
Pembentukan kader terssebut tak hanya berkaitan dengan upaya pemenuhan sumber pangan, opengetahuan dan pola nutrisi semata. Tetapi berkaitan dengan layanan kesehatan selama ibu menjelang hamil, hamil, sampai lepas lahiran.
Hermawan pun berharap agar semua kementerian dan lembaga terkait bekerja sama, bersinergi untuk menurunkan angka stunting. Apalagi, salah satu janji politik pemerintahan Jokowi Maruf Amin yakni menurunkan angka stunting.
Di lain sisi, pengentasan stunting juga penting mengingat Indonesia sedang menikmati bonus demografi. "Bonus demografi yang terjadi hingga tahun 2045 itu malah akan menjadi ancaman karena banyaknya risiko stunting," tutur Hermawan.
Editor : Pahlevi