Optika.id - Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Airlangga (Unair) Joko Susanto menyebut kegagalan Indonesia mempertahankan sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 justru menjadi kontraproduktif.
Baca Juga: Bayang-Bayang Sanksi FIFA Usai Indonesia Gagal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20
Lantaran, maraknya polemik yang terjadi yakni beberapa pihak atau pejabat maupun politikus yang tiba-tiba menolak timnas israel keikutsertaan bertanding di Pildun U-20.
Joko menjelaskan hal itu juga Indonesia meletakkan upaya pembelaan Palestina dalam posisi diametral dengan penggemar sepak bola.
Itu kerugian, lho. Bukan tidak mungkin, masyarakat penggemar bola akan mengingat gerakan pembelaan ini (bela Palestina, red) sebagai sebuah masalah, kata Joko pada Optika.id, Sabtu (1/4/2023).
Menurutnya, polemik yang terjadi saat ini seharusnya dapat menjadi pelajaran baik bagi pemerintah maupun masyarakat Indonesia ke depan.
Meski menjalankan amanat untuk membela Palestina bukan berarti Indonesia harus mengorbankan kepentingan nasional.
Tentu momentum ini menjadi pelajaran besar di kemudian hari, bahwa upaya mendukung dan membela negara mana pun harus tetap selaras dengan kepentingan nasional kita. Kalau tidak, ya kita akan seperti ini lagi, mengalami tragedi besar, ucapnya.
Ke depannya, Joko berharap pemerintah Indonesia harus lebih kreatif dalam menghadapi situasi pelik yang melibatkan kepentingan nasional.
Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat juga harus lebih mengutamakan langkah strategis, alih-alih mengedepankan emosi dan sudut pandang beku secara ideologis.
Bagi pemerintah Indonesia, nampaknya kita harus merumuskan sudut pandang baru dalam upaya kita membela Palestina ke depan. Tragedi ini tidak boleh terulang lagi, tutupnya.
Terlepas kita punya sejarah terkait penolakan itu, tapi saya melihat bahwa di sini yang ada justru kegagapan dalam melihat situasi internasional, jelasnya.
Baca Juga: PKB Sebut Erick Thohir Hilang Kecanggihannya
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini juga melihat situasi politik internasional telah banyak mengalami perubahan. Ia memaparkan, sebelum tahun 1967, Israel adalah sebuah negara yang secara perimbangan kekuatan masih belum teruji, meskipun telah mendapat dukungan dari Amerika. Sementara itu, Liga Arab relatif lebih solid di waktu yang sama.
Dalam situasi seperti itu (sebelum 1967 ), memberi tekanan pada Israel masih menjadi sesuatu yang secara stabilitas politik memiliki prospek. Akan tetapi, setelah tahun 1967, posisi Israel itu semakin terkonsolidasi, sehingga kemudian dukungan terhadap Palestina ini harus lebih kreatif, tidak melulu sekadar mengulang cara-cara lama, jelasnya.
Menurutnya, apabila Soekarno alias Bung Karno masih hidup hari ini mereka menganggap Presiden pertama Indoenesia itu akan mengambil langkah penolakan serupa.
Kita tidak bisa berandai-andai ketika misalnya Soekarno masih hidup, apakah ia akan mengambil langkah yang sama atau tidak," jelasnya.
Hal tersebut sama halnya, lanjutnya, dengan menyangsikan kemampuannya dalam membaca perubahan situasi global.
Baca Juga: Hasto Sebut Kualifikasi Capres yang Baik adalah yang Menolak Israel
"Tetapi, setidaknya dengan menganggap Bung Karno akan mengambil langkah yang sama, berarti kita telah meng-underestimate kemampuan Bung Karno dalam membaca perubahan, terangnya.
Lebih lanjut Joko menjelaskan, sejak 2018, Indonesia telah mendukung two state solution (solusi dua negara) sebagai satu-satunya cara untuk merealisasikan perdamaian antara Palestina dengan Israel.
Kata dia, hal itu diperlukan cara-cara yang dipraktikkan dalam mendukung Palestina di era Soekarno tidak lagi sesuai dengan realitas saat ini.Joko menganggap bahwa perlu adanya pembaruan langkah yang lebih strategis dalam mendukung Palestina.
Saat ini, tambah Joko, Indonesia tengah menghadapi kegagalan dalam menghadapi dan membaca situasi yang berbuntut pada kebekuan cara pikir dan langkah strategis. Menurutnya, membela kemerdekaan negara lain bukan berarti harus mengorbankan kepentingan nasional negara sendiri.
Saat ini kita terjebak dalam kebekuan cara pikir dan langkah yang membuat kita mati gaya. Menurut saya ini adalah kebangkrutan strategi yang serius, membela Palestina dan menjalankan kepentingan nasional harusnya bisa selaras, pungkasnya.
Editor : Pahlevi