Samuel Koperberg (Foto: www.joodsmonumentzaanstreek.nl)
Baca Juga: Ekspedisi Bengawan Solo 2022 Sambut Kejuaraan Dunia Stand Up Paddle 2023
Oleh: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum (Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unair dan Guru Besar Ilmu Sejarah)
Optika.id - Orang-orang Belanda datang ke Indonesia dalam rentang abad ke-17 sampai awal abad ke-20 adalah untuk menjajah. Mereka mengeksploitasi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Namun, di luar arus utama tersebut, ada ratusan orang Belanda yang terlibat dalam penyelamatan budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa.
Ada ratusan naskah kuno yang berhasil dikorek dan diketahui isinya, serta diselamatkan ujudnya. Ada puluhan candi yang berhasil diselamatkan dari keruntuhan dan dicari posisinya dalam sejarah Indonesia, bahkan puluhan prasasti berhasil dipecahkan isinya. Banyak ilmuwan dan penggiat kebudayaan dari Belanda yang menjadi bagian dari pemerintah jajahan namun berperan pula sebagai penyelamat atas budaya lampau kita yang semula tak terurus.
Salah satu dari orang Belanda tersebut adalah Samuel Koperberg, yang terlibat aktif dalam pendirian Java-Instituut. Java-Instituut adalah sebuah lembaga yang unik, karena didirikan oleh orang Indonesia (P.A.A.P. Prangwadono/Mangkunegoro VII, Dr. R. Hoesein Djajadiningrat, R. Sastrowidjono) dan orang Belanda (Dr. E.D.K. Bosch).
Ketika lembaga tersebut didirikan, dewan pengurusnya juga campuran orang Indonesia dan orang Belanda. Ketuanya adalah Dr. R. Hoesein Djajadiningrat, Sekretaris merangkap bendahara: Samuel Koperberg, dengan anggota antara lain Dr. E.D.K. Bosch, R. Ng. Poerbatjaraka, Ir. Th. Karsten, serta beberapa anggota dari Boedi Oetomo dan Centraal Sarekat Islam.
Samuel Koperberg memiliki posisi sangat penting di Java-Instituut, karena selain sebagai sekretaris dan bendahara, ia pula yang terlibat aktif menggerakan lembaga tersebut. Bahkan kantor sekretariat Java-Instituut seperti mengikuti kemana Koperberg pergi, karena di rumah beliaulah sektretariat Java-Instituut dijalankan.
Dimulai dari rumah di Gang Kenari Batavia, pindah ke Surakarta, dan terakhir di Yogyakarta. Barulah ketika Java-Instituut berhasil mendirikan museum (Museum Sonobudoyo), maka sekretariat tetapnya menempati museum tersebut.
Samuel Koperberg lahir di Kota Amsterdam pada tanggal 16 September 1884. Pada usia 17 tahun ia telah menjadi anggota partai buruh di Belanda, Sociaal Democratische Arbeiderpartij (SDAP). Ia sempat dikirim ke Berlin untuk mengikuti sekolah kader partai sosialis selama satu setengah tahun. Selepas mengikuti sekolah kader, Koperberg kembali ke Belanda dan masuk sekolah guru sampai memperoleh ijazah sebagai guru ekonomi.
Menjelang umur 31 tahun, tepatnya tanggal 15 Juni 1915, Koperberg berangkat ke Hindia Belanda. Di negeri jajahan Belanda ini ia bekerja dari satu tempat ke tempat lain. Mula-mula bekerja di Departement Gouvernement Bedrijven, kemudian pindah ke Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel. Pekerjaan di dua tempat tersebut yang berlokasi di Batavia hanya dijalani selama satu tahun.
Pada tahun 1916 ia pindah ke Kota Semarang dan bekerja di Gemeente Semarang sebagai asisten sekretaris gemeente. Selama bekerja di Gemeente Semarang ia merasa tidak betah sehingga kemudian pindah pekerjaan ke Encyclopaedisch Bureau di lingkungan Departement van Binnenlandsch Bestuur.
Selama periode 1916 sampai 1918, Koperberg terlibat aktif dalam beberapa organisasi dan menerbitkan majalah. Pada tahun 1916, ia ikut mendirikan perkumpulan Indische Vereeniging tod Studie van Koloniaal Maatschappelijke Vraagstukken yang menerbitkan majalah Koloniale Studien (1916-1941).
Ia juga mendirikan dan sekaligus menjadi anggota redaksi majalah De Taak, Algemeen Indisch Weekblad (1917-1925), yang berhaluan etis. Kemudian bersama sahabatnya, Dr. Radjiman Wediodiningrat dan Mr. Singgih, Koperberg mendirikan majalah Timboel.
Samuel Koperberg tinggal di Kota Semarang ketika kota itu tengah bergairah dengan munculnya organisasi Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang didirikan oleh Snevliet tahun 1914 untuk memperjuangkan nasib kaum buruh.
Koperberg yang ketika di Belanda aktif di SDAP, akhirnya juga tertarik untuk menjadi anggota ISDV (1917), namun beberapa saat kemudian ia pindah haluan, meninggalkan ISDV dan memasuki Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) yang dianggap lebih dekat dengan SDAP di negeri Belanda.
Baca Juga: Ensiklopedia Kearifan Lokal Surabaya Tembus Nominasi The Awards Asia 2022
Selama tinggal di Kota Semarang, Koperberg aktif menjalin komunikasi dengan Kraton Kasunanan Surakarta dan Istana Mangkunegaran. Salah satu kegiatan Koperberg di dua tempat tersebut adalah mengajar ekonomi, yang salah satu muridnya adalah P.A.A.P. Prangwadono yang kelak menjadi Mangkunegoro VII.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat intensif menjalin hubungan dengan pusat kebudayaan Jawa tersebut, Koperberg mulai tertarik dengan kebudayaan Jawa dan intensif mempelajarinya. Ia juga terlibat aktif mempersiapkan kongres kebudayaan Jawa yang diinisiasi oleh Prangwadono. Kongres tersebut berhasil dilaksanakan di Surakarta tanggal 5-6 Juli 1918, yang melahirkan gagasan pengembangan kebudayaan Jawa.
Salah satu keputusan penting dari kongres tersebut adalah dibentuknya sebuah lembaga penelitian yang bertugas mengkaji kebudayaan Jawa dan memberikan pedoman ke arah mana kebudayaan ini harus dikembangkan. Lembaga tersebut diberi nama Java-Instituut yang didirikan pada 4 Agustus 1919.
Samuel Koperberg (berdiri) dan sahabat karibnya, Dr. Radjiman Wediodiningrat.
Samuel Koperberg ditunjuk sebagai sekretaris yang pertama sekaligus yang terakhir, karena selama lembaga tersebut eksis sampai bubar demi hukum pada tanggal 4 Agustus 1948, Koperberg lah sekretarisnya.
Mengapa Java-Instituut bisa bubar demi hukum? Sebagaimana tercantum dalam akta notarisnya, lembaga tersebut didirikan untuk jangka waktu 29 tahun.
Saya menganggap ini sebuah kenyataan unik. Mungkin pada saat lembaga ini didirikan, para pendirinya yang sebagian adalah priyagung Kraton Surakarta dan Mangkunegara sudah weruh sedurunge winarah.
Mereka mungkin sudah merasakan tanda-tanda masa depan yang belum pasti, bahwa suatu saat harmoni yang dibangun antara orang-orang Belanda yang tertarik dengan kebudayaan Jawa dengan orang-orang Jawa yang merupakan pelaku kebudayaan itu akan terputus dan bubar. Hal tersebut terbukti benar, pascaproklamasi kemerdekaan hubungan Belanda dan Indonesia berubah total.
Sebelum Java-Instituut bubar, Pemerintah Republik Indonesia telah mengangkat Koperberg sebagai pegawai pada Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Museum tersebut didirikan oleh perkumpulan Java-Instituut yang kemduian diambilalih oleh pemerintah setelah prklamasi kemerdekaan.
Tahun 1947 Koperberg diangkat sebagai pegaweai Dinas Purbakala, dan pada tahun 1949 diberi tugas memimpin Dinas Perpsutakaan di lingkungan dinas purbakala.
Selama bekerja pada Pemerintah Republik Indonesia Koperberg berteman karib dengan Presiden Soekarno. Persahabatan tersebut dijalin sejak lama sejak Soekarno masih mendekam di penjara Sukamiskin. Surat menyurat antara keduanya terjalin intensif dan saat ini surat-surat tersebut tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Pada tanggal 12 Oktober 1957, Samuel Koperberg berpamitan kepada Presiden Soekarno untuk berangkat ke negeri Belanda dalam rangka berobat. Dan ternyata itulah pamitan untuk meninggalkan Indonesia selamanya, karena pada tanggal 21 Desember 1957, Samuel Koperberg meninggal dunia, pada usia 70 tahun. Ia dimakamkam sehari kemudian di kota kelahirannya, Amsterdam.
Kecintaannya kepada kebudayaan Jawa ia bawa ke alam baka.
Ia seorang yang lahir di Belanda, namun jatuh begitu dalam terhadap budaya Jawa. Kecintaannya yang sangat mendalam terhadap kebudayaan Jawa dibuktikan dalam suratnya kepada Sutan Syahrir pada tanggal 17 Agustus 1946:
"Waktu saya menerbitkan majalah De Taak bersama J.E. Stokvis, dan kemudian majalah Timboel bersama Mr. Singgih, tujuan utama saya adalah kebangunan kebudayaan sebagai unsur penting dalam renaisans orang Jawa. Inilah pedoman saya selama bekerja bagi Java-Instituut, majalah Djawa dan Museum Sonobudoyo. Mengenai nilai hasil pekerjaan itu orang dapat berselisih pendapat, namun saya tetap yakin bahwa di atara kebudayan Indonesia lama dan alam pikiran orang Barat perlu ada kompromi..."
Koperberg adalah satu diantara sekian banyak orang Belanda yang jatuh cinta kepada kebudayaan Jawa, kemudian mengkajinya, dan berusaha melestarikannya. Jika hari ini kebudayaan Jawa seperti terseok-seok mengarungi perubahan zaman, tidak lain tidak bukan karena sebagian besar pewarisnya tidak peduli lagi.
Editor : Pahlevi