Optika.id - Masyarakat sudah tak asing dengan sebuah tradisi yang lekat dengan perayaan hari raya Idulfitri yakni mudik. Kegiatan mudik menjadi momen yang paling didambakan oleh mereka yang sedang merantau ke luar kota untuk bisa pulang ke kampung halaman masing-masing, berjumpa dan bersilaturahmi dengan orang tua, kerabat, dan rekan-rekan lama.
Baca Juga: Pelindo Ungkap 65 Ribu Pemudik Pulang Lewat Pelabuhan Tanjung Perak
Sejatinya, tradisi mudik saat hari raya ini terlahir dari urbanisasi besar-besaran yang telah terjadi sejak lama. Waktu libur idulfitri yang lumayan panjang ini dimanfaatkan oleh para perantau yang bekerja maupun mereka yang sudah pindah ke kota lain untuk sejenak kembali dan merasakan momentum apa yang pernah mereka rasakan di masa silam sebelum mereka menjadi kaum perantauan.
"Mereka rindu kampung halaman yang menyimpan banyak kenangan dan rindu sanak keluarga. Upaya melepas rindu ini menemukan momentumnya pada saat Idulfitri," kata Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI), Dr. Ngatawi Al Zastrouw, Rabu (19/4/2023).
Ngatawi menuturkan bahwa fenomena mudik ini tidak bisa digantikan dengan segala kemajuan teknologi komunikasi yang ada kendati seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat. Menurutnya, dalam tradisi mudik ada suatu kekuatan emosi yang menyertai tradisi yang tidak bisa digantikan oleh apapun.
Teknologi hanya memenuhi aspek kognitif, tetapi tidak dapat memenuhi aspek afektif. Hal inilah yang menyebabkan tradisi mudik terus bertahan, meski sudah ada teknologi komunikasi yang canggih sekalipun, tuturnya.
Adapun alasan mengapa tradisi mudik masih bertahan hingga hari ini karena memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional (psikologis) masyarakat, serta adanya kejenuhan dari kesibukan pekerjaan sehari-hari lalu kerasnya hidup masyarakat di perkotaan terutama kota-kota megapolitan dengan segala problematikanya seperti polusi, kemacetan, kesenjangan, dan lain-lain menjadikan mudik sebagai pilihan untuk terapi psikologis.
Menurutnya, mudik sebagai terapi psikologis karena dibutuhkan momentum untuk menjadi jembatan penghubung antara emosi sekaligus hiburan atas kejenuhan masyarakat modern urban. Mudik, selain dilihat dari aspek budaya dan agama, di sisi lain juga merupakan sebuah aktivitas traveling.
Baca Juga: Polda Jatim Gandeng Dishub untuk Berikan Atensi di Pelintasan KA Selama Mudik Berlangsung
Dengan kata lain, imbuhnya, masyarakat modern menjadikan tradisi mudik sebagai healing. Hal inilah yang membuat tradisi mudik masih berlangsung dari waktu ke waktu tanpa tersisih oleh arus modernisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena dapat menjadi kanalisasi atas residu budaya modernisasi, ujarnya.
Tradisi Mudik di Berbagai Negara
Tak hanya itu, dirinya menjelaskan bahwa sebagian masyarakat di dunia ini juga memiliki tradisi mudik sesuai momentumnya masing-masing. Misalnya, di Amerika Serikat. Masyarakat Amerika mudik ketika terjadi perayaan Thanksgiving yang jatuh pada Kamis minggu keempat bulan November. Sementara di Korea Selatan mudik dilakukan pada saat perayaan Chuseok yang merupakan festival musim panas Hangawi di tengah musim gugur.
Baca Juga: Berikut Ini Jam-Jam Favorit Masyarakat Saat Mudik dari Hasil Survei Kemenhub
Tak hanya Amerika dan Korsel, setiap Tahun Baru Imlek pun masyarakat China melaksanakan tradisi mudik dengan istilah Chunyun.
Kemudian di negeri sendiri, yakni Indonesia yang melakukan mudik menjelang perayaan Idulfitri. Tradisi ini dikenal sejak zaman Majapahit di mana saat itu masyarakat luar Majapahit yang bermukim di Majapahit berbondong-bondong kembali ke daerahnya masing-masing ketika ada suatu perayaan tertentu.
Saat ini, kata dia, tradisi mudik ini diteruskan oleh para pendatang yang tinggal di kota-kota besar untuk pulang ke kampung halaman guna silaturahmi dan merayakan Idulfitri bersama keluarga.
Editor : Pahlevi