Monopoli, Godot dan Sindrom Bagasi Terakhir

author Seno

- Pewarta

Jumat, 05 Mei 2023 05:51 WIB

Monopoli, Godot dan Sindrom Bagasi Terakhir

Oleh: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA

Baca Juga: Rebuilding Indonesia Anew

Optika.id - Monopoli adalah sebuah situasi dimana pasokan barang atau jasa, baik privat maupun publik hanya disediakan oleh satu lembaga. Jadi praktis kompetisi ditekan hingga minima atau tidak ada sama sekalil Secara umum, monopoli buruk bagi konsumen.

Monopoli tumbuh jika ada motif menguasai pasar secara total. Jika politik adalah barang publik, demokrasi tidak menghendaki monopoli politik yang sebelumnya dilakukan oleh raja atau istana, atau sekelompok bangsawan atau aristokrat.

Saat ini, monopoli ataupun pemusatan sumberdaya ekonomi dan politik dilakukan oleh elite partai-partai politik yang didukung oleh segelintir taipan kaya raya. Kedua elite ini kemudian bersekongkol untuk memonopoli banyak barang publik lainnya termasuk dan terburuk adalah keamanan.

Monopoli keamanan dilakukan oleh kepolisian, bukan untuk kemanan dan ketertiban umum, tapi untuk keamanan para elite tersebut. Ini adalah puncak pembajakan demokrasi. Jargon democratic policing dalam praktek ternyata justru berarti killing of democracy.

Sejak Orde Baru pendidikan sebagai barang publik dimonopoli oleh persekolahan massal, tugas-tugas mendidik keluarga dan masyarakat dirampas oleh sekolah. Dalam perspektif Islam, masjid digusur oleh sekolah sebagai lembaga yang mendidik masyarakat.

Sekolah dirancang memonopoli pendidikan agar bisa dijadikan instrumen teknokratik untuk menyiapkan masyarakat buruh yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk patuh dan setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal.

Sekolah by design tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Baca Juga: Kekalahan Resmi Politik Islam di Indonesia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Orde Baru juga melakukan monopoli informasi terutama melalui televisi. Melalui sekolah dan televisi, masyarakat mengalami pendungunan massal atau dumbing down of peoples secara terstruktur, sistematik dan masif.

Orde refomasi yang semula diharapkan untuk mengoreksi Orde Baru malah memanfaatkan kedunguan luas yg sudah disiapkan Orde Baru itu untuk menuntaskan pendunguan itu menjadi penjongosan politik dan ekonomi.

Melalui pemalsuan konstitusi, partai-partai politik memonopoli politik lalu bekerjasama dengan segelintir taipan melakukan monopoli ekonomi. Gini rasio memburuk mendekati 0.40, angka kemiskian bertahan sekitar 10%, angka gizi buruk seperti stunting mencapai hampir 20%. Korupsi meluas dan meningkat mutunya, dan KPK mejjadi komidi putar.

Dengan data pemilih yang acak kadut, menjelang Pemilu 2024, monopoli politik makin nyata, bahkan merusak sendi-sendi demokrasi. Pemilu yang jujur dan adil tidak pernah dikehendaki oleh partai politik.

Baca Juga: Kembali ke UUD1945: Challenges and Responses

Siapa yang bisa maju sehagai calon presiden sudah diatur oleh koalisi para elite partai politik yang bersekongkol dengan para taipan. Bahkan presiden bertindak seolah Tim Sukses salah satu bacapres. Oligarki ini ingin memastikan bahwa presiden terpilih kelak adalah petugas partai sekaligus boneka mereka.

Setelah Ganjar dicapreskan PDIP, Prabowo tetap maju sebagai Capres Gerindra, kini Anies sedang menunggu apakah Nasdem, PKS dan Demokrat akhirnya memang mencapreskannya, seperti menunggu bagasi kita terakhir muncul di pintu luggage conveyor bandara. Semoga bukan menunggu Godot.

@KA Sembrani

Surabaya-Semarang 4 Mei 2023

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU