Aturan Baru, Jadi Langkah Mundur KPU Soal Keterwakilan Perempuan di Parlemen sebesar 30 persen

author Eka Ratna Sari

- Pewarta

Senin, 08 Mei 2023 08:13 WIB

Aturan Baru, Jadi Langkah Mundur KPU Soal Keterwakilan Perempuan di Parlemen sebesar 30 persen

Optika.id - Perjuangan untuk mencapai keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di parlemen mengalami hambatan setelah KPU mengeluarkan aturan baru yang dianggap sebagai langkah mundur.

Baca Juga: Caleg Perempuan Tak Capai 30 Persen, Mantan Anggota Bawaslu: KPU Seperti Petugas Partai

Aturan baru ini tertuang dalam Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. KPU menetapkan pembulatan ke bawah ketika perhitungan keterwakilan perempuan 30 persen menghasilkan angka desimal di bawah koma lima. Sebagai contoh, jika terdapat 8 calon legislatif di suatu daerah pemilihan, maka jumlah keterwakilan perempuan sebesar 30 persen adalah 2,4.

Dengan pembulatan ke bawah, keterwakilan perempuan dari total 8 calon legislatif di daerah pemilihan tersebut hanya menjadi 2 orang, yang dianggap memenuhi syarat. Namun, 2 dari 8 calon legislatif tersebut hanya setara dengan 25 persen, belum mencapai ambang batas minimum keterwakilan perempuan sebesar 30 persen.

Langkah ini menuai kritik dari kalangan pegiat pemilu dan aktivis kesetaraan gender. Terlebih lagi, peraturan sebelumnya telah dianggap lebih progresif dalam menerapkan kebijakan afirmatif untuk keterwakilan perempuan.

-KPU dikritik karena dianggap tidak memperhatikan sejarah

Wahidah Suaib, seorang aktivis pemilu yang tergabung dalam organisasi Maju Perempuan Indonesia (MPI), menganggap KPU telah berperilaku tidak memperhatikan sejarah melalui aturan baru ini.

Menurutnya, keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di parlemen bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, tetapi berdasarkan kesadaran bahwa perempuan masih tertinggal setelah puluhan tahun Indonesia merdeka. Hal itu menunjukkan pentingnya adanya lebih banyak perempuan di posisi pengambil keputusan. Oleh karena itu, Undang-Undang pemilu harus lebih memperhatikan perempuan dan mendorong lebih banyak perempuan untuk menjadi calon legislatif.

Kebijakan ini akhirnya diterbitkan pada tahun 2003. Undang-Undang Pemilu terbaru yang diterbitkan pada tahun 2017 juga masih mencerminkan semangat yang sama dalam Pasal 245, yaitu keterwakilan calon legislatif perempuan harus mencapai proporsi 30 persen. Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2018 tentang pencalonan Pemilu 2019 juga masih menerapkan hal ini dengan pembulatan ke atas, bukan ke bawah seperti aturan saat ini.

"Ini adalah gerakan reformasi elektoral, program advokasi yang berlangsung selama bertahun-tahun," kata Wahidah dalam konferensi pers pada Minggu (7/3/2023).

Tidak heran aturan yang ada saat ini dianggap kontraproduktif dengan semua pencapaian yang telah berhasil diraih untuk membuat pemilu lebih berorientasi pada perspektif gender.

Misalnya, jumlah calon legislatif perempuan sejak pemilu langsung diadakan pada tahun 2004 selalu menunjukkan tren peningkatan, berdasarkan riset dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).

Pada tahun 2004, tingkat keterwakilan calon legislatif perempuan baru mencapai 29 persen. Pada tahun 2009, angka tersebut meningkat menjadi 33,6 persen, sebelum akhirnya naik lagi menjadi 37,6 persen pada tahun 2014. Pada pemilu terakhir, tahun 2019, proporsi tersebut semakin baik dengan mencapai 40 persen perempuan.

Baca Juga: Kasus KDRT Masih Marak, Ada yang Salah dengan UU Penghapusan KDRT?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, hal ini tidak berarti bahwa kebijakan afirmatif ini telah berhasil dan bisa dihapus, karena tingkat terpilihnya calon legislatif perempuan belum memuaskan. Dalam pemilu dari tahun 2004 hingga 2019, belum ada yang berhasil mengirimkan 30 persen perempuan ke parlemen, hanya mencapai 11,8 persen (2004), 18 persen (2009), 17 persen (2014), dan 20 persen (2019).

Hal ini ironis mengingat jumlah pemilih perempuan sejak pemilu tahun 2004 tidak pernah kurang dari 49 persen. "Sulit untuk tidak melihat bahwa ada kemunduran dalam cara pandang atau perspektif terhadap pentingnya.

-Diperkirakan miliki dampak yang signifikan

Perludem memperkirakan bahwa secara matematis, keterwakilan perempuan di parlemen akan terdampak di daerah pemilihan (dapil) dengan alokasi kursi 4, 7, 8, dan 11, yang jika dijumlahkan, mencapai 45 persen atau hampir setengah dari seluruh dapil DPR RI.

"Kami mencoba menghitung, misalnya untuk DPR RI (aturan baru KPU) berpotensi berdampak pada berapa dapil. Ternyata dampaknya terjadi di sekitar 38 dapil dengan jumlah kursi di dapil tersebut," ujar Khoirunnisa.

Pemenuhan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dianggap semakin berisiko di dapil-dapil tersebut, karena tidak semua partai politik akan mengajukan daftar calon legislatif dalam jumlah maksimal kursi yang tersedia di setiap dapil.

Baca Juga: Posisi Caleg Perempuan Tetap Diperhitungkan dan Diapresiasi

"Misalnya jika jumlah kursi adalah 10, dan partai hanya mencalonkan 8 orang, maka jumlah calon perempuan akan semakin berkurang," ujar Ninis. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Direktur Puskapol UI, Hurriyah, yang berpendapat bahwa KPU tidak perlu mendesak untuk merevisi teknis pembulatan ini.

Menurutnya, peningkatan jumlah calon legislatif perempuan dari pemilu ke pemilu tidak terlepas dari keharusan aturan pencalonan. "Bayangkan, jika regulasinya tidak memberikan kewajiban kepada partai politik, maka jumlah calon perempuan akan semakin menurun," katanya. Wahidah Suaib berpendapat bahwa situasi ini perlu segera diperbaiki.

Menurutnya, ada tiga cara yang dapat dilakukan, yaitu mendesak Bawaslu untuk memperbaiki KPU dengan pendekatan persuasif, menyatakan pelanggaran pemilu oleh KPU, atau melalui uji materi ke Mahkamah Agung. KPU RI menyatakan bahwa penerbitan ketentuan ini telah melalui serangkaian proses, termasuk rapat konsultasi di DPR RI dan uji publik ketika Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 masih dalam status rancangan.

"Dan terkait penggunaan pembulatan desimal dari perkalian persentase tersebut, itu menggunakan standar pembulatan matematika, bukan kami menciptakan norma dan standar baru dalam matematika," kata Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, pada Rabu (3/5/2023).

"Kami telah berkomunikasi dengan partai politik. Pada dasarnya, partai politik karena adanya affirmative action (untuk keterwakilan perempuan 30 persen), bukanlah hal yang baru, mereka juga memiliki semangat untuk mendorong lebih banyak lagi calon perempuan. Itulah yang kami tangkap," tambahnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU