Optika.id - Peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Nurul Amalia angkat bicara terkait keterwakilan perempuan di parlemen. Dia menjelaskan sejak tahun 1999 hingga tahun 2019, yang duduk di kursi parlemen bertambah sebanyak 15%. Namun, persentase kursi perempuan sejak tahun 2004 hanya bertambah 12% saja.
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Kendati demikian, tren pencalonan perempuan untuk DPR dari tiap pemilu mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 total calon legislatif (Caleg) perempuan menjadi sebanyak 33n pada tahun 2019 menjadi 39,98%. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 20,52% dibandingkan dengan pemilu tahun sebelumnya yang hanya 17,32%. Hal ini disebabkan lantaran adanya pergantian antarwaktu (PAW) perempuan.
Di sisi lain, berdasarkan riset Perludem tingkat kesuksesan perempuan menduduki kursi parlemen dipengaruhi oleh nomor urut caleg. Nomor urut satu dan dua merupakan nomor urut yang strategis dan menjadi kunci kemenangan.
Tapi dari riset yang kami lakukan di tahun 2020, perempuan biasanya ditempatkan di nomor urut tiga, enam, dan sembilan. Hanya sedikit perempuan ditempatkan di nomor urut satu dan dua. Kata Nurul kepada Optika.id, Jumat (12/5/2023).
Keberadaan perempuan di parlemen dan kancah perpolitikan menurut Nurul hanya sekadar memenuhi syarat saja. Dia menilai, sebelum Pemilu dan hari-hari sebelumnya, partai mengubah kepengurusan pusatnya dengan memasukkan kuota 30% perempuan. Kemudian usai pemilu, susuan kembali diubah ketika terjadi musyawarah nasional atau kongres.
Tidak lagi ada perempuan 30%. Hanya PKB yang baik sebelum maupun sesudah (pemilu), ucapnya.
Oleh sebab itu, dia menilai jika sulit untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen secara adil meskipun UU Pemilu sudah mengatur hal tersebut. Pasalnya, serangkaian aturan baik dari pemerintah maupun parpol saat ini hanya sebagai syarat administrasi untuk ikut pemilu dan mendulang simpati publik saja. Tidak ada yang benar bersungguh-sungguh melibatkan peran perempuan agar andil di dalamnya.
Tak hanya Nurul, Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Direktur Perludem pun mengamininya. Dia menilai jika peraturan yang ada hanya di tahap pencalonan semata yang menyebut harus ada satu caleg perempuan dari setiap penempatan tiga caleg. Pun apabila partai politik tidak bisa memenuhi ketentuan tersebut maka bisa didiskualifikasi sebagia peserta pemilu di daerah pemilihan yang tidak bisa memenuhi syarat itu. Akibatnya, partai politik cenderung suka kejar tayang.
Terkadang partai politik mencalonkan perempuan hanya sekadar untuk tidak didiskualifikasi sebagai peserta pemilu, ujar Khoirunnisa dalam keterangannya kepada Optika.id, Jumat (12/5/2023).
Senada dengan Perludem, peneliti ahli utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro menyampaikan seharusnya partai politik menjadi figure publik dalam keberpihakan kepada perempuan. Caranya yakni dengan memberikan kesempatan luas kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.
Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen bisa menjadi indikator rendahnya peran perempuan di partai politik, jelas Siti Zuhro, Jumat (12/5/2023).
Partai politik menurutnya masih belum bisa melihat peran strategis perempuan di parlemen. Hal ini ditunjukkan dari kurangnya keterwakilan perempuan dari pemilu ke pemilu. Sementara itu, Zuhro menganggap jika negara masih belum tegas mendorong upaya keterwakilan perempuan di parlemen. Hal tersebut ditunjukkan oleh negara dari kebijakannya terkait partai politik seperti dalam UU Parpol yang belum serius berpihak pada perempuan.
UU Parpol (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011) belum menyentuh secara serius aturan kuota dengan angka sebagai rujukan persentase kehadiran perempuan dalam struktur pendiri, pengurus, dan rekrutmen partai, tuturnya.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
UU Parpol yang posisinya melemahkan perempuan untuk mewakili rakyat dalam internal kepengurusan pun akhirnya berimbas pada rendahnya perempuan duduk di kursi parlemen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dominasi laki-laki sebagai pengurus partai juga berdampak pada tidak terakomodasinya kepentingan perempuan untuk menjadi pembuat kebijakan di dalam parlemen, ucap Siti Zuhro.
Sementara itu Nurul menambahkan bahwa yang dibutuhkan mengenai permasalahan keterwakilan perempuan di parlemen sebenarnya hanya berupa komitmen di internal partai politik saja. Komitmen tersebut penting lantaran bersinggungan langsung dengan keinginan partai dalam menempatkan perempuan di berbagai posisi strategis partai. Tindakan itu secara tak langsung juga bisa memberikan akses kepada perempuan agar bisa mendapatkan posisi di legislatif.
Tak hanya kurangnya akses menuju posisi strategis baik di partai politik maupun parlemen, perempuan yang berjuang di kancah perpolitikan harus menuai hambatan lain. Berdasarkan riset Perludem tentang voter suppression di Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, politisi perempuan menjadi sasaran dari disinformasi dan ujaran kebencian oleh publik sementara partainya diam saja.
Perludem menemukan pada pemilu 2019 ada banyak konten yang menyerang politisi perempuan. Khususnya mereka yang berasal dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Nurul menjelaskan bahwa narasi yang digunakan untuk mengolok-olok yakni narasi bodoh, seksis dan misoginis.
Melihat hal tersebut, dia serta merta mempertanyakan apakah ketika perempuan di DPR mereka juga mendapatkan diskriminasi baik rendah maupun tinggi.
Kita enggak tahu, apakah sebetulnya perempuan politisi di DPR mendapatkan diskriminasi dalam lamanya waktu untuk bicara, pendapatnya diremehkan, atau di-challenge, kata Nurul.
Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Sedangkan berdasarkan riset Perludem pada Pemilu 2014 dan 2019 berdasarkan perekrutan bakal caleg perempuan, partai cenderung asal comot saja. Partai asal comot lantaran susah mencari caleg perempuan. Alasannya yakni banyak perempuan yang tidak punya modal ekonomi dan tidak percaya diri untuk mencalonkan diri.
Solusinya, imbuh Nurul, partai politik bisa bekerja sama dengan berbagai organisasi yang menaungi perempuan, organisasi masyarakat. Tujuannya agar organisasi tersebut bisa dijadikan rujukan untuk nama-nama perempuan potensial untuk menjadi kader partai dan dicalonkan sebagai caleg.
Di sisi lain, Nurul berpendapat bahwa parpol dan pemerintah harus menentukan terlebih dahulu target perempuan menjadi anggota legislatif agar bisa meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR. Jika total jumlah anggota DPR sebanyak 575 orang dan targetnya 30%, artinya ada 173 anggota parlemen perempuan.
Maka, dibagi secara proporsional ke setiap partai politik. Partai-partai besar misal, harus menargetkan 35 perempuan terpilih dari semua dapil DPR, tutur Nurul.
Upaya lainnya yakni dengan membangun hubungan antara gerakan perempuan politik dengan gerakan perempuan secara luas. Hal ini bertujuan agar adanya transformasi politik yang inklusif serta lebih memihak pada perspektif gender kemudian melakukan pendekatan kepada media.
Pemberitaan media, terutama media televisi arus utama, sangat berperan dalam meningkatkan popularitas dan elektabilitas politisi. Tapi media televisi arus utama di Indonesia, masih timpang dalam memberikan ruang bagi perempuan politisi. Itu hambatannya, pungkasnya.
Editor : Pahlevi