Optika.id - Kaum buruh selalu mendapatkan sorotan di negeri ini. Entah karena demo penuntutan upah, gerakan progresifnya, serikat buruh, hingga kasus-kasus yang menimpa buruh. Kaum buruh pun tak terlepas dari dinamika sejarah bangsa Indonesia.
Baca Juga: Maulid Nabi Ternyata Bukan Syiah yang Mengawalinya
Ketika rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto berkuasa, kaum buruh didepolitisasi hingga ke titik nadi.
Orde Baru melalui politik eufismenya mengganti kata buruh dengan kata karyawan untuk menciptakan distingsi antara buruh dan karyawan seperti yang terjadi sekarang dimana mereka yang bekerja di kantor tidak mau disebut buruh. Padahal, di hadapan mata dan moncong kapitalisme, semua sebutan tersebut menempati posisi sama dan sejajar.
Menelisik lebih jauh, saat zaman kolonial hingga awal kemerdekaan sekitar 1945 1965, gerakan buruh begitu aktif dan vocal dalam panggung dinamika politik.
Misalnya, setelah kegagalan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920-an terhadap pemerintah kolonia, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Sarekat Islam (PSI) menjadi partai yang aktif dalam membangun serikat buruh untuk basis keanggotaan mereka.
Namun, setelah era kolonialisme dan Orde Lama tumbang, Orde Baru yang muncul sebagai penguasa mutlak berhasil melakukan kooptasi aspirasi politik dengan cara restrukturasi pergerakan buruh. Artinya, buruh dibatasi hanya boleh bersuara pada fungsi sosio-ekonomis untuk kesejahteraannya saja.
Kebijakan single union era Orde Baru menjadi pengontrol gerakan buruh. Gerakan buruh dijadikan satu dalam payung Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Akibatnya, para buruh tidak mempunyai akses untuk menyampaikan gagasan politiknya. Pada akhirnya, rezim Orde Baru berhasil membangun pemahaman bahwa partisipasi buruh dalam politik adalah hal yang buruk yang menjadi penghambat bagi tujuan pemenuhan kesejahteraan buruh.
Pintu kebebasan bagi buruh untuk melakukan kerja politik kembali terbuka pasca tumbangnya Orde Baru dan munculnya era Reformasi. Pemerintah yang baru berhasil meratifikas Konvensi International Labour Organization (ILO) No 101 tentang kebebasan buruh untuk berserikat. Hal ini tentu saja menciptakan sebuah political opportunity structure bagi buruh untuk bebas dalam berserikat dan politik.
Para buruh yang menyadari jika gerakan yang kuat menunjang kepentingan mereka pun bergabung dan membentuk konfederasi. Saat ini, terdapat tiga konfederasi besar seperti Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).
Gerakan buruh pasca lengsernya Soeharto mengalami berbagai dinamika dan melahirkan keragaman pandangan dari pengamat politik dalam membaca gerakan buruh di Indonesia. Hal ini dikarenakan para buruh yang mendapatkan tekanan dari Soeharto selama 30 tahun lebih berkuasa.
Menurut, Pakar Perburuhan Universitas Indonesia, Aloysius Uwiyono, Senin (22/5/2023) ada beberapa kecenderungan pandangan dalam melihat gejolak gerakan buruh di Indonesia.
Hal yang pertama, dia menilai jika buruh bukanlah kelompok yang solid. Hal ini bukan tanpa sebab pasalnya otoritarianisme Soeharto telah mewariskan ketakutan maya terhadap gerakan buruh dan gerakan yang lain. Oleh sebab itu, gerakan buruh jadi terpecah-pecah dan tidak bisa meneguhkan posisinya sebagai kelompok yang solid.
Baca Juga: 5 Daerah Jatim Ini Hanya Miliki Paslon Tunggal
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Buruh tidak memiliki rasa kebersamaan sebagai kelompok dan buruh seringkali justru terjebak dalam gaya hidup konsumtif, jelasnya, Senin (22/5/2023).
Kedua, meskipun ada payung hukum bagi lahirnya berbagai serikat buruh, namun posisi buruh serta organisasinya masih dianggap lemah. Oleh sebab itu Aloysius menilai jika peraturan yang ada kerap dianggap sebagai pemecah belah gerakan buruh dan menghambat lahirnya organisasi buruh yang independen.
Selanjutnya, gerakan buruh selalu mengalami kegagalan dalam pertarungan pemilu. Hal ini direfleksikan pasca tumbangnya Soeharto, ada empat model partisipasi buruh yang coba dilakukan. Di antaranya membangun partai politik dan ikut bersaing memperebutkan suara seperti yang terjadi pada Pemilu 1999, 2004 dan 2009. Lalu berupaya menembus kursi legislative seperti yang dilakukan aktivis dan elite serikat buruh melalui lobby kontrak individual dengan partai maupun kemitraan organisasional.
Akan tetapi, upaya tersebut gagal karena pembentukan kemitraan organisasional dengan partai tdiak menjamin tingginya jumlah suara dari buruh. Meskipun demikian, gerakan buruh terus mencoba model partisipasi jenis ini untuk bisa masuk ke panggung politik.
Kemudian yang ketiga yakni adanya kontrak politik antara partai dengan kelompok buruh. Pada tahun 2005 model seperti ini mulai menemukan momentumnya ketika pemilu langsung kepala daerah digelar. Kinerjanya, apabila ada calon yang ingin mendapatkan suara dukungan dari para buruh, maka harus menandatangani kontrak politik dengan serikat buruh.
Lalu yang keempat adanya makelar dan perantara dalam pemilu yang didalangi oleh aktivis buruh maupun pengurus serikat. Para aktivis buruh tersebut menjadi tim sukses bagi calon yang mengikuti pemilu maupun pemilukada karena kapasitas personal dan kemampuannya dalam menjaring massa.
Baca Juga: Tiktoker Ini Ungkap Jika PDIP Usung Anies, Seluruh Daerah Terkena Dampak Positif!
Aloysius menilai bahwa empat model tersebut merupakan strategi yang paling memungkinkan untuk bisa dikerjakan oleh buruh di tengah realitas politik saat ini.
Kondisi politik Indonesia saat ini mengalami defisit demokrasi karena demokratisasi justru dikuasai dan dikendalikan oleh kelompok oligarki yang memiliki kepentingan predatory. Persoalan defisit demokrasi bukan karena tidak adanya kebebasan politik tetapi tidak berfungsinya kontrol publik dalam pengendalian kekuasaan, kata dia.
Hal inilah yang menurut Aloysius saat ini dialami oleh para buruh. Dia menilai para buruh tidak bisa melakukan kontrol politik dan merepresentasikan politik yang mumpuni serta masih belum bisa menjadi wadah dalam mengawal berbagai kepentingan buruh dalam penentuan kebijakan.
Kendati demikian, dari keempat model tadi, dia mengaku bahwa saat ini para buruh masih belum berhasil untuk mewujudkan kemandirian gerakan politik.
Memang, selama periode awal demokratisasi di Indonesia kelompok buruh tidak mampu menunjukan pengaruh dan kekuatan. Walaupun ruang untuk memperjuangkan kepentingan buruh tersedia, namun ternyata belum bisa menjamin peran aktif buruh dalam keberlanjutan tahap demokratisasi, pungkasnya.
Editor : Pahlevi