Optika.id - Munculnya isu Mahkamah Konstitusi (MK) akan membuat keputusan untuk mengubah sistem pemilu 2024 menjadi proporsional tertutup, yakni mencoblos gambar partai politik bukan calon legislatif lagi. Sebelumnya, sistem pemilu di Indonesia menganut sistem proprosional terbuka.
Baca Juga: Suhartoyo MK: Putusan Sengketa Pilkada Bisa Lebih Progresif!
Adanya keputusan itu seperti pernyataan pakar hukum Denny Indrayana beredar beberapa waktu lalu.
Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Sidik Sunaryo turut berpendapat. Dia mengatakan, bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) sudah ditegaskan bahwa sistem pemilihan presiden dilakukan secara langsung.
Sementara pemilihan calon legislatif dan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Sidik menilai diksi demokratis bisa diartikan langsung maupun tidak langsung, tergantung pembuat dari undang-undang.
"Ketentuan pemilihan presiden sudah diatur secara tegas dan tidak bisa ditafsir. Sedangkan pemilihan legislatif belum diatur dengan jelas, sehingga menjadi wewenang pembentuk undang-undang untuk mengaturnya (open legal policy). Dalam hal ini dewan perwakilan rakyat (DPR), dewan perwakilan daerah (DPD), bersama dengan presiden," katanya seperti rilis yang diterima Optika.id, Senin (5/6/2023).
Sidik menegaskan bahwa ranah sistem pemilu berada di wilayah legislatif. Sehingga jika ada gugatan judicial review terkait sistem pemilu. Dari yang awalnya terbuka menjadi tertutup dan kemudian MK menerimanya.
Maka sebenarnya MK tidak punya kewenangan akan hal itu. Karena sesuai UUD 1945 kewenangan penentuan sistem pemilu berada di tangan legislatif. Sementara MK merupakan lembaga yudikatif.
"Jika MK benar-benar menguji materi dan mengubah sistem pemilu dan dimaknai untuk membuat norma baru dalam UU Kepemiluan, maka MK sebenarnya sudah mengambil alih kewenangan lembaga negara lain yakni legislatif. Kalaupun ingin menguji, seharusnya yang diuji adalah apakah sistem terbuka bertentangan dengan UUD 45 atau tidak? Logikanya harus begitu," ujar dosen Fakultas Hukum UMM ini.
Sementara terkait sistem proporsional terbuka atau tertutup, Wakil Rektor IV UMM itu menilai bahwa keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan.
Pada proporsional terbuka, calon legislatif tidak ditentukan secara urut. Siapapun boleh mendaftar menjadi caleg lewat partai apapun, sekalipun orang baru. Sementara pada proporsional tertutup, partai menentukan daftar caleg yang ada.
"Pada sistem proporsional tertutup, misalnya partai A sudah menyiapkan 100 nama caleg. Lalu ternyata suara yang diperoleh hanya cukup untuk 10 orang, maka caleg nomor urut 1-10 berhasil menjadi legislatif. Sementara sisanya tidak berhasil," sebutnya.
Menurut Sidik, dua sistem tersebut baik selama tidak ada dampak negatif seperti politik uang. Peraturan, dalam hal ini UU harus tegas untuk mencegahnya.
Selain dengan peningkatan pendidikan politik bagi masyarakat agar demokrasi bisa berjalan dengan baik.
Sidik mengatakan, sistem pemilu harus sesuai dengan nilai-nilai ideologi Pancasila. Terutama harus mengandung nilai ketuhanan karena pemilu sebagai salah satu sarana demokrasi untuk memilih pemimpin sebagai wujud ibadah kepada Tuhan.
Memasukkan nilai kemanusiaan dengan tidak saling mencela dan menista serta nilai kesatuan dengan menjaga keguyuban. Pun dengan nilai permusyarawatan dan juga keadilan sosial yang harus dipegang teguh.
"Moralitas demokrasi harus kembali pada nilai ideologi Pancasila dan sistem demokrasi harus pada nilai dasar konstitusi," tukasnya.
Putusan MK Bisa Diabaikan
Anggota DPR dari fraksi PKB Luqman Hakim menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bisa diabaikan jika mengubah pola pemungutan suara pemilu dari sistem proporsional terbuka (coblos caleg) menjadi sistem proporsional tertutup (coblos partai).
Menurut Luqman, MK sama saja mengabaikan Presiden dan DPR yang memiliki kewenangan membuat undang-undang jika tetap memutus seperti itu.
"Karena Putusan dibuat di luar kewenangan yang dimiliki, maka Putusan MK tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan karenanya wajib diabaikan. DPR, Presiden, KPU, Bawaslu, DKPP, dan semua pihak tidak boleh mengikuti putusan yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," ucap Luqman lewat siaran pers, Minggu (4/6/2023).
Luqman menjelaskan bahwa MK tidak berwenang melakukan uji materi terhadap pasal dalam sistem pemilu. Dia menyebut sistem pemilu tidak diatur dalam UUD 1945, sehingga MK tidak bisa mengujinya.
Baca Juga: MK Sebut 106 Perkara Sengketa Pileg Akan Lanjut Pembuktian!
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dia mengatakan sistem pemilu juga masuk dalam kategori open legal policy. Hanya lembaga pembuat UU yang bisa membuat aturan sistem pemilu yakni Presiden dan DPR.
Luqman menyebut MK pun tidak berwenang membuat norma UU karena tidak mendapat mandat konstitusi untuk menjadi lembaga pembentuk UU.
"UUD memberi kuasa kepada DPR untuk memegang kekuasaan membentuk UU. Kewenangan MK menguji UU terhadap UUD, bukan membentuk UU," kata Luqman.
MK, kata Luqman, juga tidak berwenang mengabulkan permohonan uji materi yang berdampak terbentuknya norma baru sebuah UU.
"Jika MK mengabulkan permohonan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, maka MK telah bertindak di luar wewenangnya dan mengambil alih kekuasaan DPR dan Presiden. Membentuk atau merubah norma UU adalah kewenangan DPR dan Presiden, bukan MK," ucapnya.
Luqman menegaskan bahwa Pemilu 2024 harus tetap memakai ketentuan dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan Perppu No. 1 tahun 2022 tentang Perubahan UU Pemilu.
Pola pemungutan suara yang diatur dalam UU tersebut adalah sistem proporsional terbuka (coblos caleg).
Para penggugat mengajukan uji materi karena ingin pemilu dilakukan dengan pola yang lama, yakni sistem proporsional tertutup (coblos partai).
Isu ini menjadi kekhawatiran banyak pihak usai mantan Wamenkumham Denny Indrayana mengaku mendapat bocoran bahwa MK bakal mengabulkan gugatan penggugat.
"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," kata Denny dikutip Optika.id dari akun Twitter-nya, Minggu (28/5/2023).
Baca Juga: Ini Prediksi Pakar Soal Putusan MK pada Sengketa Hasil Pilpres 2024
Proses judicial review atas beberapa pasal di UU 7/2017 tentang Pemilu tengah diuji di MK. Gugatan itu diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono mengajukan uji materi UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka ke MK.
Jika gugatan uji materi tersebut dikabulkan oleh MK, maka sistem Pemilu 2024 mendatang akan beralih kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
Dengan sistem ini para pemilih hanya akan disajikan logo parpol pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg
MK lalu membantahnya. Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan uji materi terhadap Pasal 168 UU Pemilu 2017 belum sampai ke tahap rapat permusyawaratan hakim, sehingga belum ada putusan yang dibahas oleh para hakim MK.
Komentar Ketua KPU
Saat dimintai komentar soal bocoran putusan MK itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari enggan bicara banyak menanggapi pernyataan mantan Wamenkumham Denny Indrayana yang menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) bakal membuat pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup atau coblos partai.
Hasyim mengaku tidak tahu dan masih mengacu pada peraturan yang berlaku dalam menjalankan tahapan Pemilu 2024.
"Kalau yang sekarang ini wallahualam, kita tidak tahu," kata Hasyim usai menggelar siaran pers Verifikasi Administrasi Bacaleg RI, di Hotel Grand Melia, Jakarta Selatan, Senin (29/5/2023).
Hasyim enggan bicara jika MK benar-benar mengubah sistem proporsional terbuka menjadi tertutup. Saat ini KPU tetap akan mengacu pada hasil putusan MK terkait uji materi UU Pemilu Tahun 2017 yang teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.
"Apakah sudah putus apa belum, KPU pegangannya nanti sesudah ada putusan MK dibacakan," pungkasnya.
Editor : Pahlevi