Perang Antara Tenaga Kerja Manusia dan Teknologi yang Pasti Terjadi, Siapa Menang?

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Selasa, 13 Jun 2023 14:55 WIB

Perang Antara Tenaga Kerja Manusia dan Teknologi yang Pasti Terjadi, Siapa Menang?

Optika.id - Konten kreator Raymond Chind dalam postingan di channel Youtubenya beberapa waktu yang lalu mengaku khawatir apabila teknologi kecerdasan buatan alias Artificial Intelligent (AI) masuk ke Indonesia dan menggantikan tenaga manusia. dalam unggahannya tersebut, dia sempat menenangkan bahwa AI bisa ditaklukkan dengan belajar dari sekarang karena cepat atau lambat, AI akan bisa menggantikan tenaga manusia.

Baca Juga: Perlukah Berdamai dengan Diskriminasi Kerja?

Tak menampik, jenis pekerjaan cepat atau lambat pasti akan menipis pada lima tahun mendatang. Prediksi itu sudah mulai nampak pada beberapa perusahaan dunia yang mulai menggantikan karyawannya dengan AI. Misalnya, IBM yang baru-baru ini mengganti sekitar 7.500 karyawan manusianya dengan AI.

Perusahaan asal Amerika ini juga berencana menggantikan sebanyak 30% pekerjanya dengan mesin agar efektif dan hemat biaya. Bahkan hingga saat ini, produsen perangkat lunak dan keras untuk komputer ini juga sudah memberhentikan 3.900 orang. Angka ini juga diperkirakan tidak berhenti sampai disini.

Menanggapi hal tersebut, Tadjudin Effendi selaku Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai jika banyak perusahaan yang mengadopsi kecerdasan buatan sejak lama. Misalnya, perusahaan sudah mulai memakai robot sebagai ganti dari tenaga manusia.

Robot bisa melakukan semua yang dilakukan manusia asalkan diprogram. Programnya canggih karena menciptakan algoritma memungkinkan menghasilkan karya menggunakan basis data jadi nanti para ilmuwan akan kehilangan pekerjaan, ungkapnya kepada Optika.id, Selasa (13/6/2023).

Maka dari itu, dia menilai jika sangat mungkin apabila banyak jenis pekerjaan yang bakal menghilang di era AI yang mendominasi. Hal ini terjadi lantaran pekerjaan yang semula bisa dikerjakan oleh manusia yang membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan bisa hanya selesai dalam beberapa jam dengan teknologi AI saja.

Jadi banyak analisis-analisis tingkat menengah di perusahaan-perusahaan tertentu bisa kehilangan pekerjaan, daripada bayar tenaga kerja, perusahaan masukkan sistem dan algoritma sudah bisa masukkan data, kata Tadjudin.

Dengan adanya teknologi AI seperti ChatGPT yang ramai belakangan ini, imbuhnya, maka tantangan untuk mengurangi angka pengangguran kian besar lantaran mesin atau robot membuat industri mempunyai opsi lain untuk menekan cost berupa upah pekerja. Padahal, Indonesia baru saja mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang bertujuan menarik investasi yang pada akhirnya banyak menyerap tenaga kerja.

Nantinya pekerjaan-pekerjaan kelas menengah di industri bisa hilang misalnya industri otomotif mau buat campuran cat, tinggal masukkan data buat ramuannya, jadi enggak tangan manusia lagi. Ini bisa mengurangi sekian ratus pekerja, ancaman nyata, singgungnya.

Baca Juga: Kesepian Akut, Para Pria Gunakan AI Chatbot Untuk Ngobrol

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Proses hilangnya beberapa jenis pekerjaan ini menurutnya tidak instan alias masih membutuhkan waktu sekitar 5 tahun hingga 10 tahun. Akan tetapi, di sisi lain UU Ciptaker yang digadang-gadang bisa menyerap tenaga kerja dengan banyaknya investasi nyatanya bisa menjadi pisau bermata dua dan bukanlah sesuatu yang mudah.

Kalau dulu teknologi 4.0 yang kena kan level bawah misal penjaga tol, tenaga manusia di akuntansi yang rumit, ucap Tadjudin.

Maka dari itu, dia meminta agar pemerintah bergerak cepat dalam mengatasi permasalahan teknologi dan tenaga kerja tersebut hingga sebanyak 146,62 juta angkatan kerja nasional bisa segera terserap dan bekerja sesuai dengan bidang dan keahliannya masing-masing. Upaya pemerintah misalnya bisa dengan membuka pelatihan agar tenaga kerja yang sudah tersedia bisa mengupgrade skillnya.

Selain itu, mereka juga tidak akan terlalu gagap dengan perkembangan teknologi. Akan tetapi yang disayangkan juga yakni pemerintah masih belum secara maksimal melakukan pelatihan tenaga kerja padahal klaimnya sudah siap menyambut era industri 4.0.

Baca Juga: Kawula17: Inovasi Politik Anak Muda di Tengah Banjir Informasi Media Sosial

Studinya di seluruh dunia dan datanya sangat valid, tantangan yang 4.0 aja belum tuntas bagaimana pelatihan tenaga kerja ini, kritiknya.

Dia pun menyoroti Indonesia yang masih santai-santai dan tak ambil pusing dalam menyikapi perkembangan teknologi AI yang bisa mengancam peran manusia di dunia kerja. Padahal, sudah terjadi di negara-negara maju tenaga kerjanya kian berkurang seiring dengan banyaknya inovasi teknologi ini.

Dirinya menilai, jika tidak menutup kemungkinan, maka pemerintah bisa menggandeng industri untuk menekan biaya pelatihan. Peran industri ini juga sangat penting mengingat dengan semakin sedikitnya lapangan pekerjaan juga akan berimbas pada nasib perusahaan.

Pemerintah harus segera respons, cari tenaga-tenaga kerja yang bisa menguasai teknologi AI kemudian dilatih. Industri bisa saja mendatangkan mesin-mesin dari luar negeri tapi akan bahaya kalau orang enggak kerja, enggak punya penghasilan berarti daya beli rendah, nanti perusahaan bisa bangkrut dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi rendah karena tumpuannya masih daya beli masyarakat, tuturnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU