Optika.id - Pada Sabtu 17 Juni 2023, Kaisar Jepang Hironomiya Naruhito bersama dengan Permaisuri Masako Owada mengunjungi Indonesia. Ini merupakan kunjungan perdana Kaisar Naruhito ke Indonesia sejak naik tahta pada tahun 2019 silam. Agenda kunjungan tersebut menurut keterangan dari Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji merupakan simbol kerja sama antara Jepang dan Indonesia.
Baca Juga: Di Jepang, Prabowo Unggul dari Anies dan Ganjar
Hubungan diplomatis antara Indonesia dan Jepang memang cukup baik-baik saja, kendati ada kenangan pahit akibat penjajahan masa silam yang dilakukan oleh Jepang.
Peneliti CNRS sekaligus pengajar kesusasteraan Melayu dan Malaysia di INALCO, Monique Zaini-Lajoubert dalam Sejarah Novel Indonesia di Revolusi Tak Kunjung Selesai menganggap masa penjajahan Jepang merupakan titik jeda sejarah novel di Indonesia. Menurutnya, kesusasteraan kala itu dimakzulkan sebagai alat propaganda politik semata, sehingga hanya sedikit penulis yang bersedia menuangkan ide kreatifnya.
Meninjau ulang sejarah kesusasteraan Indonesia, apabila dicermati lebih lanjut, setiap rezim pasti menyisipkan agenda politik kebudayaan tertentu. Kita tidak bisa tebang pilih, karena alasan dangkal yang mana hanya rezim imperialis Jepang yang secara terang-terangan menunjukkannya. Propaganda politik Jepang tidak terselubung sebagaimana pemerintah kolonial Belanda, maupun pemerintah Indonesia.
Pemerintah imperialis Jepang mengubah kesusasteraan, seni budaya dan hiburan tradisional menjadi sekedar corong propaganda. Melalui pendekatan normatif yang selaras dengan naluri orang Jawa, Jepang menyisipkan maksud propaganda tentu bertentangan merusak etika dan estetika kesusasteraan.
Prinsip propaganda Jepang adalah manipulasi dan mobilisasi massa. Tujuan utamanya mengeruk sumber daya alam dan merekrut sumber daya manusianya. Jepang memanfaatkan media apapun demi menunjang kepentingan propaganda. Bahkan, Jepang membentuk organisasi khusus untuk mengoptimalisasi fungsi propaganda, yakni Sendenbu, yang berada dibawah Badan Pemerintahan Militer (Gunseikanbu).
Kebudayaan merupakan sarana paling efektif guna mengendalikan penduduk, memobilisasi massa dan menebar ide gagasan dari visi imperialis Jepang. Pendekatan kebudayaan dipilih sebab telah teruji, dan metode propaganda ini jelas merupakan refleksi dari pengalaman bangsa Jepang. Mengangkat harkat martabat bangsa Asia yang tertindas kolonialisme Barat (Eropa). Propanda Jepang memperoleh momentum yang tepat, karena sebelumnya Belanda seakan-akan menjadi patron (tuan), sedangkan rakyat pribumi diposisikan secara paksa sebagai klien (pelayan).
Konsep patron-klien yang diskriminatif berbanding terbalik dengan slogan Jepang yang menjewantahkan kesetaraan dan prinsip egaliter, yaitu saudara tua. Terjadi perbedaan cara pandang antara Belanda dan Jepang terhadap rakyat kecil. Pemerintah Belanda menganggapnya semacam kutu pengganggu, dan dapat dieksplotasi melalui perantara priyayi Jawa, sedangkan mengambil peran yang merakyat, alias meniadakan perantara. Kebijakan politik-kebudayaan Jepang memoposisikan dirinya sebagai anti-tesis dari kebijakan politik kebudayaan pemerintah kolonial Belanda.
Jepang berupaya menggelorakan slogan superioritas Asia atas Eropa, membalikkan posisi Asia yang sebelumnya dinilai inferior karena penjajahan Barat (Eropa). Tod Jones dalam buku Kekuasaan dan Kebudayaan di Indonesia; Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 hingga Era Reformasi menjelaskan jika Jepang mengedepankan homogenitas Asianis dan memoposisikan dirinya sebagai pemimpin, pelindung dan cahaya yang mendorong bangsa-bangsa Asia bangkit dari keterpurukan melalui agenda modernisasi.
Hal ini dibenarkan Aiko Kurosawa dalam tulisannya Marilah Kita Bersatu! Japanese Propaganda in Java 1942-1945, yang menjelaskan bahwa Jepang berupaya menemukan kembali nilai-nilai pribumi, kemudian menghidupkannya lagi untuk mencuatkan kebanggaan atas dirinya.
Baca Juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bahkan, Jepang tidak segan-segan mengungkapkan kesamaan mendasar antara budaya Indonesia dan Jepang. Dari situ, Jepang sudah melangkah memasuki ranah yang menjadi percampuran antara reformasi ideologis dan tuntutan perang.
Jepang mengendalikan seluruh media yang memungkinkan untuk mendukung kepentingan propaganda. Hendy Nurrokhmansyah dalam Surat Kabar Soera Asia sebagai Media Propaganda Jepang 1942-1945 menyebut jika Jepang mengontrol peredaran surat kabar, dan menerbitkan surat kabar Soera Asia yang berisi janji-janji manis dan berita perkembangan teknologi dan persenjataan.
Setahun berlalu, kantor berita Domei menerbitkan surat kabar Soera Asia yang semakin propagandis dan hiperbola. Demi menyakinkan publik, Soera Asia seringkali memberi imbuhan kata koeat sekali, tanggoeh, atau perang soeci.
Bukan hanya surat kabar, Jepang juga memanfaatkan seni pertunjukan, siaran radio, pamflet, buku, poster, foto dan pidato. Propanda Jepang tersusun secara rapi dan sistematis, bahkan terlembaga, dari mulai sekolah militer sampai sekolah tonil.
Dalam upaya mendongkrak produktivitas rakyat pribumi, pemerintah Jepang menanamkan semangat kerja yang cenderung militeristik. Ronda keliling dan senam taiso menjadi perwujudan nyata yang sederhana dan konsisten dalam memupuk mentalitas rajin bekerja.
Baca Juga: Setelah Gempa, Korban di Jepang Hadapi Hujan dan Ancaman Tanah Longsor
Rajin bekerja menjadi bagian dari pesan propaganda, yang muaranya tertuju pada harapan agar rakyat pribumi dengan senang hati membantu pemerintah Jepang memenangkan perang. Mungkin cuplikan isi sandiwara leloetjoen, AjoDjaji Romusha! karya Ananta Gaharasjah ini, dapat menjadi contoh umum rupa propaganda Jepang.
Engkau tanah air jang koetjinta, kau limpah koernia padakoe, sekarang kebaktian kau minta, gaja koeserahkan padamoe. Koedjadi petani, koedjadi romusha, koekerdjakan semoea senang. Toeloes, ichlas, soeka, rela., tulis Fandy Hutari dalam buku Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal; Kumpulan Esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia, dikutip Optika.id, Kamis (23/6/2023).
Propaganda Jepang mungkin serupa tapi tak sama dengan kampanye politik dewasa ini, terutama terkait tujuannya. Akan tetapi, cara yang ditempuh propaganda Jepang dan kampanye politik bisa dikatakan memiliki kesamaan.
Alat peraga, televisi, surat kabar online dan media-media lainnya tetap menjadi sarana yang efektif untuk mempengaruhi publik. Bahkan, janji pun tetap manis, meskipun nantinya saya tidak tahu, apakah masih tetap manis, ataukah malah berujung pahit.
Editor : Pahlevi