DEMOKRASI INDONESIA MEMBURUK

author optikaid

- Pewarta

Minggu, 24 Okt 2021 02:46 WIB

DEMOKRASI INDONESIA MEMBURUK

i

Optika: 2021, modifikasi berbagai bahan

Optika.id. Surabaya. Herzaky Mahendra Putra, menilai 2 tahun rezim Jokowi-Ma'ruf kondisi politik dan demokrasi Indonesia memburuk, kata Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat (PD), dalam siaran persnya Kamis (21/10/2021).

Herzaky merujuk hasil survei, baik dalam maupun luar negeri, menyimpulkan kondisi demokrasi di Indonesia memburuk. 

survei SMRC menunjukkan bahwa masyarakat yang menilai kondisi demokrasi buruk bertambah dari 14,5% pada September 2019 menjadi 24,4% pada September 2021. Tidak itu saja indeks demokrasi Indonesia menurut Freedom House terus menurun tiap tahunnya, katerangannya. 

Politisi PD itu menilai rezim Joko Widodo (Jokowi) berada dalam godaan kekuasaan absolut. 

"Dengan kekuatan di DPR mencapai 82% maka pemerintah membuat policy apa pun. Parlemen bisa menyetujuinya," kata dia. Contohnya DPR mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja pada Oktober 2020 meski terdapat penolakan masif dari publik.

Sementara itu BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UI (Universitas Indonesia) menyebarkan rilisnya ke media massa, Sabtu (23/10/2021). Mereka juga menilai banyak persoalan bangsa yang belum bisa diselesaikan oleh rezim Jokowi-Maruf: mulai dari korupsi, lingkungan hidup, kebebasan sipil, perekonomian, hukum, dan demokrasi. Demokrasi Indonesia dianggap menurun.

Partai Ummat juga memberikan rapor merah atas 7 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi. Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi mengatakan rapor merah terjadi pada semua bidang di antaranya bidang hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Dalam bidang hukum, Ridho menilai pemerintahan Jokowi hanya mengumbar slogan kosong penegakan hukum yang berkeadilan. Menurutnya, kenyatannya berbeda di lapangan.

Kenyataannya di lapangan hukum masih berjalan diskriminatif, tajam ke oposisi tetapi tumpul ke pendukung rezim, serta meluasnya pembelaan ke si kuat dan dilupakannya si lemah, ujar Ridho dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/10/2021).

Sementara, dalam bidang ekonomi, Ridho menyoroti kebijakan Jokowi yang cukup masif dalam pembangunan infrastruktur. Dia menilai pembangunan itu tidak efisien dan tidak tepat sasaran.

Namun pembangunan infrastruktur ini tidak sepenuhnya menunjukkan skala prioritas kepentingan publik. Bahkan beberapa pembangunan infrastruktur dengan skala giant project tidak dalam desain dan perencanaan yang baik yang memperhitungkan sumber dan alokasi keuangan berimbang, termasuk memperhitungkan dampak ekonomi jangka pendek dan jangka panjang, kata Ridho.

Bebas Menyampaikan Kritik

Berbagai kritik dan tuntutan itu ditepis oleh Ade Irfan Pulungan. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan mengamini, ada hal yang perlu dievaluasi soal demokrasi dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Diketahui, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menurut data Badan Pusat Statistik menunjukkan skor penurunan rata-rata nasional, dari 74,92 pada tahun 2019 menjadi 73,66 pada 2020.

"Satu dua (hal) sifatnya perlu pembenahan, perlu evaluasi begitu, karena tidak ada yang sempurna 100 persen," kata Irfan kepada wartawan pada Jumat (22/10/2021).

Kendati demikian, dia meminta publik tidak hanya melihatnya dari hal yang perlu dievaluasi saja. Menurut dia, demokrasi dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf juga berjalan baik. Hal itu terbukti dari berjalannya Pemilu kada di tengah pandemi tahun lalu, urainya enteng.

"Kalau objeknya demokrasi kita harus berfikir secara luas, jangan mengartikan demokrasi hanya dalam satu sudut pandang jadi harus luas dan kita harus bisa juga bijak dari segi demokrasi selama dua tahun ini berjalan baik, misalnya pelaksanaan Pemilukada berjalan efektif walau ada penundaan karena pandemi Covid," beber Irfan.

Terkait kebebasan berpendapat, Irfan menolak bila dua tahun Jokowi-Ma'ruf dicap otoriter. Pasalnya, Irfan masih melihat kritikan yang diterima tanpa adanya larangan.

Hanya saja dia menghimbau agar kritik harus disampaikan dengan bertanggung jawab, sebab hal apa yang disampaikan juga menyangkut hak orang lain.

Kritik Selalu Jadi Pertimbangan Presiden

Juru Bicara Presiden RI Mochammad Fadjroel Rachman angkat bicara perihal warganet yang menggemakan tagar Kapan Jokowi Lengser pada Jumat (22/10/2021).

Sekadar catatan media sosial Twitter ramai dengan tagar #KapanJokowiLengser yang menduduki peringkat empat.

Tagar ini menyasar kritik untuk Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Maruf Amin lantaran tersendatnya kinerja keduanya pada tahun kedua menjabat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Apapun kritik yang disampaikan kepada presiden ataupun pemerintah selalu menjadi pertimbangan dari pemerintah untuk melihat apa esensi dari kritik tersebut itu, ujarnya di Istana Negara, Jumat (22/10/2021).

Dia mengatakan, pihak Istana hanya akan menanggapi apa yang terkait resensi kritik tersebut.

Itu yang terpenting, sebenarnya buat kami baik di pemerintahan maupun sebagai juru bicara kami selalu mengambil apa sebenarnya idenya di balik kritik ini. Apa kemudian bukti di balik kritik ini, apakah ini hanya opini atau ini fakta, tuturnya.

Dia menjelaskan, di dalam kritik orang mencari tiga hal, yaitu gagasan, esensi pertanyaan, dan maksud tujuan dari kritik tersebut.

Fadjroel melanjutkan, ada tiga hal yang harus dikerjakan dalam menerima kritik.

Pertama, ada lembaga demokrasi dengan aparat demokrasi. Kedua, ada peraturan demokrasi atau regulasi. Ketiga, ada kultur demokrasi.

Artinya orang-orang seperti kita ini paham mengenai hak dan kewajiban dalam demokrasi yang harus kita kerjakan tugas ita bersama dan kita mampu membedakan apa itu fakta dan apa itu opini itu yang terpenting jadi kita belajar demokrasi itu tumbuh tumbuh dan tumbuh, tuturnya.

Penyebab Turunnya Demokrasi Indonesia

Perdebatan tentang merosotnya demokrasi rezim Jokowi-Maruf Amin banyak ditulis oleh para pengamat. Tulisan Saiful Mujani dan R William Liddle, misalnya, menulis artikel dengan judul Indonesia: Jokowi Sidelines Democracy (Journal of Democracy, Volume 32, Number 4, October 2021, pp. 72-86) menyatakan bahwa  dua tahun diperiode kedua, rezim Jokowi mengalami kemunduran dalam hal demokrasi. 

Jokowi justru menuju langkah yang mengarah pengurangan kebebasan sipil dan checks and balances. Namun di sisi lain Jokowi mengklaim bahwa dirinya melindungi pemilu demokratis, meskipun sebenarnya dia juga telah mengurangi kebebasan pemilu.

Penurunan demokrasi di era Jokowi ini juga diakui oleh Wasisto Raharjo Jati, peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengethuan Indonesia). Dalam artikelnya berjudul The Situation of Declining Indonesian Democracy in 2021, Wasisto Raharjo Jati, (The Insights, No. 27/09 Juni 2021) menyatakan adanya penurunan demokrasi sangat signifikan hingga 2021.

Menurut Jati, ada tiga laporan penelitian yang bisa mengukur rezim Jokowi tidak demokrasi. Laporan (1) dari The Economist Intelligence Unit (EIU), (2) Indeks Demokrasi Indonesia di 2019 oleh Badan Pusat Statistik dan (3) Laporan Demokrasi Indonesia 2021 oleh V-Dem Institute mengarah turunnya demokrasi di Indonesia.

Ketiga laporan tersebut menunjukkan penurunan yang signifikan, tidak hanya pada kebebasan sipil dan politik politik tetapi juga pluralisme dan fungsi pemerintahan. 

Kedua laporan (1) dan (2) menggarisbawahi tentang kebebasan sipil, sebagai titik sentral dari kemunduran demokrasi Indonesia. Dari laporan tersebut Indonesia berada di posisi 64 dari 167 negara, sedangkan yang terakhir, yang memberi bobot lebih pada kebebasan berbicara, mendapat skor 64,29 poin pada tahun 2019, turun 1,88 poin dibandingkan tahun 2018 sebesar 66,17 poin. 

Laporan ketiga, Institut V-Dem menempatkan Indonesia pada peringkat 73 dari 179 negara dalam indeks demokrasi liberal. 

Ketiga laporan itu mengisyaratkan penurunan tingkat demokrasi Indonesia, dari "demokrasi elektoral" menjadi demokrasi cacat (flawed democracy). Artinya, pemilu yang dilakukan Indonesia ternyata tidak menghasilkan pemimpin yang bisa memenuhi janji kepada rakyat: meningkatkan kesejahteraannya. 

Di sisi lain masa pandemi covid-19 juga memberikan dampak luar biasa bagi kehidupan sosial, ekonomi. Dan demokrasi. Demokrasi Indonesia tergerus juga oleh masa pandemic Covid 19 dimana rezim bisa leluasa berperan otoritarian.

Secara teoritis Jati menyatakan bahwa penurunan demokrasi Indonesia disebabkan oleh 3 hal yaitu (1) meningkatnya peran militer dalam urusan sipil, (2) perpecahan ideologi, utamanya makin mengerasnya konflik antara kelompok Islam dan nasionalisme. Faktor (3) adalah semakin kuat dan besarnya peran politik dinasti.

Aribowo

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU