Optika.id - Jakarta baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-496 tahun ini. Kota yang kian tua ini seolah tak ingin menua. Kendati sebentar lagi sudah tidak menyandang status sebagai Ibu Kota, namun Jakarta masih menjadi magnet bagi mereka yang berasal dari luar daerah untuk datang ke sini mencari peruntungan.
Baca Juga: Sapa Warga, Anies Dengarkan Aspirasi Rakyat Jakarta!
Di Jakarta, sudah ada moto tak tertulis yang berbunyi apa saja bisa jadi duit. Bahkan, untuk mereka yang tak memiliki keahlian sekalipun. Jakarta masih menyediakan remah-remah rezeki yang bisa dipungut di sudut-sudut tempatnya.
Tak heran, Jakarta sudah menjadi wadah yang menaungi beragam wajah dengan berbagai status ekonomi dan sosial. Beban Jakarta di usianya yang tak lagi muda ini terus bertambah seiring dengan kian banyaknya masyarakat kelas bawah yang datang untuk ngalap barokah di Jakarta.
Hal ini bukan hanya asumsi belaka.Menurut Budi Awaluddin selaku Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, dalam keterangannya di media, tren urbanisasi dari luar DKI Jakarta mencapai 80%. Dan masyarakat tersebut berpendidikan SLTA ke bawah.
Kemudian 40 50% di antara pendatang tersebut berpenghasilan rendah. 20% pendatang tersebut menempati wilayah Rukun Warga (RW) yang kumuh. Padahal, kata Budi, 80ri pendatang tersebut merupakan masyarakat dengan usia produktif.
Alhasil, keterampilan dan pendidikan yang rendah ini dipandang menjadi salah satu faktor munculnya kemiskinan yang sudah bak wabah dan sulit dibasmi dengan cepat.
Menurut Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatnya, para pendatang harus dipaksa berjibaku di tengah lapangan pekerjaan yang terbatas jumlahnya, apalagi mereka yang tidak memiliki keahlian maupun keterampilan yang bisa jadi modal mengundi nasib di Jakarta.
Jumlah pendatang yang kian naik dari waktu ke waktu ini nyatanya tak sebanding dengan perkembangan kue rezeki yang tersedia di kota ini. Alhasil, penghasilan yang didapat jadi makin kecil dan seadanya saja sehingga nasib mereka pun stuck di situ-situ saja dan menjadi lingkaran setan kemiskinan.
Lalu, dengan gaji yang kecil dan tinggal di Jakarta yang biaya hidupnya tinggi, dampak sistemiknya munculnya permukiman/kampung kumuh, meningkatnya masalah kriminal, dan bertambahnya jumlah masyarakat penyandang masalah sosial yang membebani Jakarta, ujar Yayat, Senin (26/6/2023).
Jakarta dalam Data
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jika angka kemiskinan di DKI Jakarta pada September 2022 tercatat sebesar 4,61% atau turun sebanyak 0,08 poin dibandingkan dengan Maret 2022. Jumlah penduduk miskin pada periode ini sebsar 494,03 ribu orang.
Baca Juga: Hasto Pastikan Pilkada Jakarta, Sumut dan Jatim Tak Ada Kotak Kosong
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
BPS mengatakan bahwa angka kemiskinan dan ketimpangan di Jakarta bergerak turun untuk pertama kalinya sejak pandemic Covid-19.
Sementara itu, BPS menetapkan bahwa wilayah Jakarta Utara menjadi wilayah dengan tingkat kemiskinan paling tinggi dengan jumlah penduduk miskin ekstrem sebanyak 35.770 jiwa.
Menanggapi hal tersebut, Kepala IASEB FEB Universitas Indonesia, Turro Wongkaren menilai jika salah satu sebab dari kemiskinan di Jakarta yakni labelnya sebagai kota metropolitan. Dia menilai jika di kota dengan urbanisasi dan perputarannya yang cepat serta seolah tidak pernah tidur ini, bisa ditemukan berbagai maacm jenis orang dengan beragam karakteristik.
Kemiskinan tidak bisa terlepas dari itu (urbanisasi), ujarnya, Senin (26/6/2023).
Salah satu penyebab kemiskinan ekstrem meningkat menurutnya adalah urbanisasi atau migrasi masyarakat dari desa ke kota. Akses yang terbatas bagi pendatang baru inilah yang akan menyulitkan mereka dalam bersosialisasi.
Baca Juga: Tim RB nasional Gelar FGD, Validasi Keberhasilan Program Pengentasan Kemiskinan!
"Jadi walau mereka misalnya sudah bertahan tahun di sini, akses itu pasti jadi hambatan. Nah kenapa mereka tidak punya itu? Salah satunya karena mereka tidak punya pendidikan, kenalan, sertasocial capitalyang mereka tidak miliki, ucap Torro.
Lebih lanjut, yang menjadi katalis peningkatan kemiskinan ekstrem yang masih membayangi kehidupan sosial ekonomi masyarakat adalah pandemi Covid-19. Pandemi juga berdampak pada peningkatan tingkat pengangguran terbuka dan pemutusan hubungan kerja.
Hal ini lantaran pembatasan mobilitas penduduk saat pandemic yang menurunkan jumlah lapangan kerja formal maupun informal.
Ditambah dengan gejolak geopolitik nasional dan internasional yang membuat masyarakat miskin bertambah karena negara seolah abai dan tidak mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Sebagai informasi, pada bulan Agustus 2020, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di DKI Jakarta menyentuh angka 10,95%. Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya mencapai 7,07% saja.
Editor : Pahlevi