Optika.id - Dalam dunia penelitian, para ilmuwan sering menggunakan istilah kelinci percobaan dan kita tentunya familiar dengan istilah tersebut. Akan tetapi, dalam penelitian, hewan yang sering digunakan sebagai subjek percobaan ilmiah ini bukan kelinci, melainkan tikus.
Baca Juga: Ingin Publikasi Jurnal, Ini Tips Agar Lolos Jurnal Bereputasi
Tikus percobaan dalam penyebutannya juga disebut dengan tikus laboratorium. Tikus ini pun sering digunakan dalam penelitian genetika, psikologi, serta menguji efek keamanan obat-obatan baru yang dibuat di laboratorium.
Awal eksperimen terhadap tikus ini diketahui sudah terjadi sejak 2.400 tahun yang lalu ketika orang Yunani Kuno mendokumentasikan pembedahan dan pengobatan dengan menggunakan tikus. Salah satu tokoh yang menggunakan tikus dalam eksperimennya adalah ahli anatomi dan dokter Yunani yang tersohor, Herophilos.
Herophilos terkenal lantaran melakukan pembedahan pada tikus untuk mempelajari struktur anatomi tubuh manusia dan memahami penyakit serta pengobatannya. Disebutkan juga tikus digunakan dalam praktik pengobatan tradisional di China Kuno. Tikus digunakan dalam berbagai jenis pengobatan seperti herbal dan akupuntur.
Dikutip dari laman Medical News Today, Rabu (5/7/2023), National Association for Biomedical Research (NABR) mencatat bahwa 95% hewan laboratorium adalah model tikus. Kemudian, studi murine menggambarkan studi ilmiah di mana orang menggunakan model tikus.
Genom atau DNA tikus berguna dalam studi genetic lantaran peneliti bisa memodifikasinya dengan mudah. Studi murine juga bisa membantu para ilmuwan agar memahami mekanisme yang mendasari penyakit, bagaimana penyakit itu menular ke keturunannya, efektivitas intervensi terapeutik anyar hingga kemanjuran perawatan potensial.
Baca Juga: Menarik! Ini 5 Penemuan Ilmiah Menggegerkan Sepanjang Tahun 2022, Bagaimana Tahun ini?
Lantas, mengapa para ilmuan menggunakan tikus untuk dijadikan percobaan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tikus diketahui merupakan model hewan yang paling umum digunakan dalam penelitian medis dan ilmiah. Tikus juga berbagi fitur genetic yang sama dengan manusia. Oleh sebab itu, mereka bisa membantu peneliti untuk mendapatkan wawasan klinis tanpa mengotak-atik tubuh manusia yang rawan dengan kode etik. Dengan demikian, para ilmuwan atau peneliti dapat memanipulasi genom tikus, memodelkan penyakit tertentu, menguji obat atau vaksin baru serta menyelidiki genetika penyakit sebelum mencobanya pada model manusia.
Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 silam, sistem organ pada tikus mirip dengan yang dimiliki oleh manusia dalam bentuk, struktur maupun fisiologinya. Tikus juga berkembang dengan cara yang sama seperti manusia dan memiliki organ serupa seperti paru-paru, otak, jantung, dan ginjal serta sistem pencernaan, peredaran darah, reproduksi, dan saraf yang serupa.
Baca Juga: Penemuan Baru 'Virus Zombie' Berumur 48.500 Tahun, Mau Dihidupkan Kembali?
Alasan lain adalah perkembang biakan tikus tergolong cukup cepat di area kecil dibandingkan dengan model hewan lainnya. Ukurannya yang kecil, pola makan fleksibel dan bisa makan apa saja, lalu efektivitas biaya yang murah membuat tikus tergolong cukup sukses sebagai sistem model kesehatan dan pengetahuan sehingga para ilmuwan sangat bergantung pada model tikus untuk memahami mekanisme yang mendasari beberapa penyakit.
Tentunya, para ilmuwan sebelumnya telah mengembangkan model tikus dengan memilih dan melakukan seleksi terhadap tikus yang telah dikembangbiakkan untuk menghasilkan keturunan dengan karakteristik tertentu yang diinginkan.
Menurut sebuah studi pada tahun 2016, tikus rumah mus musculus adalah spesies tikus yang paling sering digunakan peneliti dalam penelitian saat ini. Dengan demikian, lebih mudah bagi para ilmuwan untuk mengeksplorasi kemanjuran obat kandidat dan memprediksi respons manusia menggunakan model tikus.
Editor : Pahlevi