Undip Gelar Acara Kuliah Umum dengan Tajuk "Jebakan Informal dalam Demokrasi Indonesia"

author Dani

- Pewarta

Senin, 31 Jul 2023 17:53 WIB

Undip Gelar Acara Kuliah Umum dengan Tajuk "Jebakan Informal dalam Demokrasi Indonesia"

Optika.id -Demokrasi diartikan sebagai praktik politik yang dilakukan oleh semua, baik aktor politik formal maupun informal. Maka dari itu, membahas lembaga negara tak lepas dari menelaah bagaimana politisi bekerja. Kepercayaan publik pada lembaga negara memang sangat dipengaruhi kinerja mereka.

Baca Juga: Tahun Bahaya Demorasi Indonesia, Siapa Salah?

Akan tetapi, lembaga negara bukanlah entitas yang bisa mengambil keputusan sendiri dalam menjalankan tugas dan perannya. Ia bertindak berdasarkan alasan-alasan kelembagaan yang sangat bergantung pada faktor politik, seperti siapa yang dipilih aktor politik untuk menduduki jabatan pimpinan dan relasinya dengan lembaga negara lain.

Bahkan, demokrasi bisa menentukan lahir dan matinya lembaga sangat bergantung pada izin dari partai politik. Sebab, pembuat keputusan politik adalah politisi di DPR dan pemerintah melalui undang-undang. Sementara itu, politisi di DPR dan Presiden, serta sebagian besar menteri pada saat ini, berasal dari partai politik.

Ingatlah bagaimana KPK diizinkan lahir melalui UU KPK pada 2002 yang didahului oleh Ketetapan MPR pada 1999. Pada saat KPK dianggap terlalu efektif menyerang politisi, KPK dibunuh melalui revisi UU KPK dan pemilihan komisionernya pada 2019.

Hal ini juga terjadi pada Mahkamah Konstitusi dibolehkan lahir pada 2002, tetapi pada saat ia dianggap terlalu sering membatalkan undang-undang, kemandirian kekuasaan yudisial mulai diacak-acak dengan penggantian hakim di tengah masa jabatan.

"Dalam konteks negara yang demokratis, akses untuk menyampaikan opini publik tersebut dijamin oleh negara, dimana opini publik lahir dari setiap pembicaraan para individu yang kemudian membentukpublic body.," ujar Budi Setyono seperti dipantauOptika.idsecara daring di acara Kuliah Umum bertajuk "Jebakan Informal dalam Demokrasi Indonesia" melalui platform zoom, Senin, (31/7/2023).

Baca Juga: Genderang Kritik Dibungkam, YLBHI: Ada Empat Pola Negara Memberangus Gerakan

Melalui kerangka Sheldon S Wolin (2008) yang dikutipOptika.idtentang demokrasi terkelola (managed democracy) yang mirip dengan demokrasi iliberal, Asshiddiqie memberikan konteks situasi terkini Indonesia yang menunjukkan adanya totalitarianisme baru.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Keberadaan ruang publik untuk mendiskusikan kebijakan publik sangatlah strategis untuk pembangunan demokrasi. Namun konteks Indonesia kekinian, demokrasi deliberatif masih angan-anganansich. Ruang publik yang dimaksud Habermas belum mendapatkan tempat di Indonesia, karena sistem keterwakilan yang menjadi ciri khas demokrasi perwakilan dapat dikatakan sebagai keterwakilan yang semu (pseudo) karena tidak ada posisi tawar (bargaining position) yang proporsional antara konstituen dengan wakil rakyatnya," paparnya.

Isu partai politik bukan hanya soal reformasi internal partai-partai yang ada sekarang, melainkan perlunya perombakan aturan main kepartaian secara umum. Tembok penghalang masuknya partai-partai baru peserta pemilu harus dievaluasi.

Baca Juga: Hadiri Mimbar Bebas, Tokoh Nasional dan Aktivis Soroti Kemunduran Demokrasi Indonesia

"Namun demikian, bukan tidak mungkin narasi besar deliberasi diterapkan dalam sistem demokrasi perwakilan, dimana proses pembentukan atau pengambilan kebijakan oleh wakil rakyat diwarnai oleh keterlibatan rakyat/konstituen melalui proses yang deliberatif," pungkas dia.

Di sisi lain, tidak ada aturan main untuk demokrasi internal partai dan kewajiban kaderisasi serta pendidikan politik. Akibatnya, demokrasi kita selalu gagal menumbuhkan pemain politik baru.

Kembali pada persoalan etika politik, partai politik lebih sering hanya memberikan politisi instan pengumpul suara atau kader yang hanya menjalankan perintah elite politik yang jarang diganti secara demokratis.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU