Optika.id - Karakteristik dari Generasi Z yang lahir pada tahun 1997-an awal memang modern, necis, dan mengikuti perkembangan jaman. Selera Gen Z, sebutannya ini, juga makin kesini makin ikut arus teknologi dan informasi.
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Selera Gen Z ini pun tak langsung bisa mempengaruhi aktivitas politik mereka. Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Riset Indonesia Presidential Studies (IPS), Arman Salam yang menilai jika wajar-wajar saja apabila nanti suara Gen Z bakal banyak berlabuh di partai politik (parpol) anyar yang melek medsos. Pasalnya, hal ini berkaitan dengan karakteristik dan selera Gen Z sendiri yang lebih tertarik dengan strategi kampanye yang necis, modern, tidak kaku dan bergaya.
"Terutama pada pola dan program partai yang kekinian, dinamis, dan modern. Banyak partai besar atau partai tua masih terlena dengan pola dan program tradisionalnya sehingga minim bersentuhan dengan pemilih pemula yang serba canggih ini," kata Arman kepada Optika.id, Selasa (8/8/2023).
Arman secara khusus juga menyoroti beberapa gimmick politik yang kerap diumbar oleh partai baru dan partai kecil di media sosial. Gimmick politik itu, menurutnya cukup berhasil dalam menyedot perhatian Gen Z lantaran dibuat berdasarkan ikut arus dari aspirasi yang menjadi perhatian generasi yang mendominasi pemilih pemula 2024 nanti.
Gimmick tersebut juga memberi keuntungan pada partai-partai kecil. Pasalnya, partai kecil itu tidak terikat dengan kepentingan kekuasaan maupun sumber dari partai kecil tersebut yang memang rata-rata anak milenial, alhasil, faktor itu dianggap bahwa partai kecil itu paham betul dengan apa yang menjadi minat dan perhatian dari kelompok Gen Z ini.
Sehingga mereka merasa diwakilkan, tegasnya.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih lanjut, fenomena mesranya pemilih Gen Z dengan berbagai parpol anyar itu bisa menjadi suatu tanda apabila pemilih Gen Z ini sudah mulai enggan dan antipasti dengan partai tua nan mapan yang sudah mengamankan kursi di Senayan. Apalagi, ditambah dengan fakta bahwa figur-figur dari parpol mapan tersebut kerap tak menunjukkan keberpihakan kepada pemilih pemula dan rakyat. Dan, hal itu bisa ditemui di medsos.
"Adanya pengalaman buruk dari figur atau tokoh partai besar yang tersandung berbagai masalah dalam eksintensinya yang berada dalam lingkaran kekuasaan dan itu dilihat, diamati, dan disimpulkan sehingga tidak menutup kemungkinan terbangun resistensi terhadap partai besar bagi generasi Z," ucap Arman.
Kendati demikian, berdasarkan pengamatannya, Arman menyebut bahwa sejauh ini masih belum terlihat figure-figur dari partai baru, maupun partai lama yang menjadi kalangan pemilih Gen Z. Tanpa adanya tokoh yang menjadi idola bersama oleh kalangan muda ini, bukan tidak mungkin apabila nanti pada Pemilu 2024 suara Gen Z ini bakal terdistribusi ke banyak parpol.
Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Adapun faktor lain yang menentukan adalah jaringan politik yang berkembang hingga ke akar rumput. Dalam hal ini, ujar Arman, tentunya parpol kecil dan anyar kalah saing dengan parpol-parpol yang sudah mapan nan unggul lantaran masyarakat akar rumput lebih nyaman dengan parpol mapan. Di sisi lain, aktivitas politik di akar rumput ini bisa menentukan arah suara generasi Z menjelang Pemilu.
"Partai kecil belum memiliki instrumen ini sehingga masih belum bisa disimpulkan kategori mana, dalam segmen usia tertentu lebih cenderung ke partai mana. Semua masih sangat dinamis. Terlebih, caleg-caleg yang akan diturunkan oleh partai juga cukup signifikan merubah perolehan suara suatu partai," jelas Arman.
Editor : Pahlevi