Optika.id - Bakal Calon Presiden (Capres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan menyebut jika penggunaan istilah Wakanda dan Konoha untuk mengganti kata Indonesia adalah sebagai tanda bahwa demokrasi di Indonesia tidak sehat.
Baca Juga: Intip Hangatnya Pertemuan Anies, Pramono, dan Rano di Lebak Bulus
Pasalnya, selama ini dia mengamati di media sosial banyak yang merujuk Indonesia dengan Kohona dan Wakanda sebagai alat sensor mandiri untuk menghindari jerat hukum karena mengkritik negara sendiri.
"Ini yang sekarang sering kali terjadi masalah. Karena kalau kita saksikan di media sosial, banyak sekali yang kalau mau nulis itu nyebutnya Konoha, Wakanda. Ini menunjukkan adaself-censorship," kata Anies, saat kuliah kebangsaan di Universitas Indonesia, Depok, Selasa (29/8/2023).
Untuk diketahui, istilah Konoha merupakan nama desa dalam komik Jepang yang terkenal, Naruto. Sementara Wakanda merupakan sebuah negara fiksi dalam film Black Panther.
Selain Konoha dan Wakanda, dalam acara itu Anies juga menyoroti penggunaan kota Lahore untuk mengganti Jakarta.
"Bahkan, kemarin ada yang menyebutkan kota yang polusi paling buruk namanya Lahore. Lalu, mengkritik kota Lahore habis-habisan. Kenapa? Ini tanda-tanda yang tidak sehat," ucapnya.
Lebih lanjut Anies menjelaskan seharusnya demokrasi merupakan kebebasan dimana ide gagasan menajdi garda terdepan dalam proses politik serta memperoleh hasil yang dituju dan disepakati oleh semua orang sehingga menjadikan kebijakan dan kesejahteraan masyarakatnya. Maka dari itu, dia melihat bahwa kualitas demokrasi kini harus lebih ditingkatkan lagi.
Dia melanjutkan, kehadiran demokrasi bukan hanya perkara adanya pemilu atau tidak, melainkan, demokrasi adalah nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat, serta aspirasi mereka bisa diproses melalui proses politik tanpa ada rasa ancaman, takut dan tekanan. Serta, aspirasi itu bisa dihimpun dna intinya menjadi berbagai keputusan atau kebijakan yang dilaksanakan dalam kedamaian.
Baca Juga: Tom Lembong Terjerat Kasus Impor Gula, Anies Buka Suara
Adapun menurut paparannya, ada dua sistem yang dianut di dunia yakni demokratik dan non-demokratik. Demokratik, imbuhnya, pilarnya adalah kepercayaan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Sebuah demokrasi mengandalkan keterbukaan, mengandalkan kebebasan, dan dibawahnya ada pilar kepercayaan atautrust," tutur Anies.
Sementara itu, non-demokratik berdiri di atas pilar rasa takut. Oleh karena itu, negara-negara dengan rezim otoriter menggunakan rasa takut untuk mengancam rakyat dan menjalankan kekuasaannya. Rezim itu akan bisa tumbang saat rasa takut rakyatnya hilang.
Misalnya, peristiwa tumbangnya Soeharto di tahun 1997 1998. Penyebab dari jatuhnya rezim otoriter Orde Baru adalah hilangnya rasa takut masyarakat itu sendiri. Tak ayal, era Reformasi pun dimulai.
Baca Juga: Anies dan Ganjar akan Hadir dalam Pelantikan Prabowo-Gibran Minggu Besok
Anies menegaskan, berdasarkan contoh tersebut, non-demokratik selalu berlandaskan pada ketakutan itu. Tanda tidak sehatnya demokrasi adalah tersebarnya rasa takut untuk bersuara. Maka dari itu, kebebasan berbicara harus jadi prioritas yang diperhatikan.
Maka dari itu, dia menegaskan sudah seharusnya pihak-pihak terkait segera mervisi pasal-pasal dalam Undang-Undang yang mengganggu warganya bebas berekspresi dan bersuara.
Anies secara terang-terangan menegaskan bahwa UU ITE adalah produk pemerintah yang bermasalah. Dalih melindungi data atau informasi di dalamnya tidak sebanding dengan pasal-pasal karet yang dipakai untuk meredam kebebasan berekspresi.
"Kasihan, lapor bengkel bermasalah aja bisa disebut pencemaran nama baik padahal pelayanan bengkel, bukan pelayanan pemerintah nih, bahkan pelayanan rumah sakit begitu," ujar Anies.
Editor : Pahlevi