Optika.id - Hal yang miris di negeri ini adalah masih belum ada keadilan bagi perempuan, khususnya bagi korban pelecehan seksual. Pasalnya, banyak kejadian yang memilih untuk menyelesaikan kasus dengan jalur damai dan menikahkan korban dengan pelaku tanpa memikirkan perspektif korban.
Dijelaskan oleh Siti Aminah Tardi selaku Komisioner Komnas Perempuan, pemaksaan perkawinan yang terjadi antara korban dan pelaku bukanlah solusi yang benar untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual, khususnya bagi pemulihan trauma korban itu sendiri.
Baca Juga: Tak Layak, Hasyim Asy'ari Sudah Selesai!
Menurut Siti Aminah, pemaksaan perkawinan juga berdampak pada trauma korban yang berkepanjangan dan berlipat ganda lantaran harus bertemu atau berhubungan seksual dengan pelaku lagi. Korban juga tidak memiliki daya tawar di hadapan keluarga atau suami lantaran dianggap telah diselamatkan dari aib karena moralitas dan patriarki.
Di sisi lain, perkawainan paksa ini juga menjadikan posisi korban semakin rentan mendapatkan kekerasan seperti KDRT, perlakuan semena-mena, hak keadilan yang tidak terpenuhi, dan korban tidak bisa pulih.
Buruknya dampak pemaksaan perkawinan yang dialami para korban inilah yang menjadi salah satu alasan ditetapkannya pemaksaan perkawinan sebagai kejahatan, kata Siti Aminah, kepada Optika.id, Jumat (29/9/2023).
Sementara itu, menurut Koordinator Advokasi Nasional LBH APIK, Ratna Batara Munti, perkawinan paksa ini justru akan menambahkan masalah baru. dia mengkritik bahwa keputusan perkawinan paksa tersebut adalah sebagai modus agar pelaku keluar dari jerat pidana. Korban pun tidak bisa dimintai persetujuannya karena masih berada dalam keadaan trauma.
Pas diperkosa saja belum pulih, eh ini malah dipersatukan dengan pelaku, apa itu nggak tambah trauma? Pas didampingi saja depresi, menutup diri, bahkan jarang ngomong, jaga jarak," kata Ratna, Jumat (29/9/2023).
Dia menegaskan bahwa keputusan itu hanya akan menguntungkan pelaku saja dibandingkan korban. Misalnya adalah hak-hak soal penanganan karena tidak ada penegakan bagi pelaku, dia tidak jera dan kemudian terjadi impunitas.
Penyelesaian kasus pemerkosaan berupa kawin paksa itu juga melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.
Baca Juga: Anak Korban Bullying Wajib Diberi Pendampingan
Ketika korban dengan pelaku dinikahkan, maka hal tersebut menihilkan hak-hak korban yang sudah diatur dalam UU TPKS tadi. Padahal, korban harus dipenuhi haknya seperti rehabilitasi trauma dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, kata Ratna, alasan restoriatif justice tidak bisa digunakan untuk SP3, apalagi terdapat bukti-bukti yang kuat untuk memproses hukum pelaku.
Intinya keberatan dengan adanya SP3. Keluarga juga nggak ada upaya pencabutan laporan, ucap Ratna.
Masuk Kategori Rape Culture
Siti Aminah juga menegaskan bahwa perkawinan paksa antara korban dan pelaku ini termasuk dalam kategori rape culture yakni kekerasan di dalam relasi kerja yang menunjukkan perempuan mempunyai kerentanan dari pelaku yang merupakan atasannya atau orang yang berkuasa di atasnya. Di sisi lain, kejadian ini membuktikan bahwa rape culture masih mengakar sistematis dan membuat korban sulit mendapat keadilan.
Baca Juga: Generasi Z Bicara Soal Pernikahan, Dianggap Tidak Penting?
Budaya pemerkosaan selalu berakar pada kepercayaan, kekuasaan, dan kontrol patriarki, jelas Siti Aminah.
Budaya perkosaan, menurut Siti Aminah kerap terjadi seperti membenarkan kekerasan seksual, menyalahkan korban, atau kekerasan berbasis gender lainnya dan menganggapnya sebagai kenakalan laki-laki sehingga sedikit banyak diwajarkan.
Alhasil, ketika korban hendak mengklaim keadilannya, dirinya sudah dihadapkan dengan prasangka-prasangkan atau mitos yang dibangun dan memposisikan perempuan sebagai pihak yang selalu salah, menggoda, pakaiannya salah, dan berada di tempat yang salah.
Mitos-mitos ini terinternalisasi pula di aparat penegak hukum, yang mempengaruhi cara kerja dalam penanganan kasus kekerasan seksual, imbuhnya.
Editor : Pahlevi