Optika.id - Salah satu fenomena yang masih dijumpai di Indonesia adalah pernikahan dini. Tak main-main, kejadian pernikahan anak ini pun menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik serta tertinggi kedelapan di dunia. Artinya, satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia menikah sebelum menyentuh usia 18 tahun.
Hal ini diperkuat oleh data dari Komnas Perempuan yang mencatat bahwa sepanjang tahun 2021 silam sebanyak 59.709 kasus perkawinan anak dilegalkan dengan cara diberi dispensasi oleh pengadilan.
Baca Juga: Lowongan Kerja Komnas Perempuan, Yuk Daftar!
Kendati ada berbagai faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini ini, salah satu yang mungkin luput dari sorotan publik adalah pernikahan dini yang terjadi lantaran putus sekolah.
Faktor utama yang mendorong anak-anak, khususnya perempuan ini buru-buru menikah adalah karena mereka telah putus sekolah sehingga merasa tidak memiliki harapan lagi. Alih-alih melanjutkan jenjang pendidikan yang tinggi terlebih dahulu, atau menuntaskan wajib belajarnya, mereka malah memilih untuk bekerja dengan skill minim dan upah murah sehingga kemiskinan structural terus dilanggengkan. Mengapa hal sekompleks itu bisa terjadi?
Menurut Psikolog dari Prima Consultant, Ardi Primasari, remaja yang putus sekolah akan kehilangan masa-masa untuk berinteraksi dengan teman sebayanya sehingga cenderung bergaul dengan orang yang jauh lebih dewasa dari usianya. Hal itulah yang membuat remaja putus sekolah memilih mencari pasangan hidup dan bekerja seadanya selayaknya orang dewasa.
Padahal, tugas perkembangan remaja adalah menjalin relasi dengan teman sebaya serta mengeksplorasi kemampuan minat dan bakat dalam dirinya.
Baca Juga: Komnas Perempuan Lagi Buka Lowongan Loh, Yuk Buruan Daftar!
Remaja yang tidak putus sekolah tentunya akan menikmati masa-masa tersebut dengan teman-temannya, mulai dari hang out, mengikuti kegiatan di sekolah, aktif melakukan hobi atau mengikuti komunitas, dan lain sebagainya, ucap Ardi, sapaan akrabnya, Jumat (29/9/2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu diperparaj dengan anggapan beberapa kelompok masyarakat yang meyakini bahwa perempuan pada akhirnya hanya akan berkutat dengan urusan domestic sehingga mereka menganggap sekolah tinggi tidak ada gunanya dan tidak boleh menunda pernikahan karena ujung-ujungnya perempuan juga akan mengurus dapur.
"Meski akhir-akhir ini kita melihat di berbagai media maupun public figure yang mengatakan menjadi seorang ibu harus berpendidikan tinggi agar mencetak generasi berkualitas, tapi hal itu tidak dapat digeneralisasi di Indonesia," paparnya.
Baca Juga: Rekrutmen Staf Komnas Perempuan Dibuka sampai 20 Juli 2024
Alhasil, melihat kenyataan bahwa banyak anak putus sekolah dan keputusasaan dalam menjalani hidup lah yang menjadi alasan beberapa orang tua memberi izin pada anak mereka untuk melakukan pernikahan dini. Di sisi lain, para orang tua ini mengaku khawatir dengan gaya berpacaran anak-anak masa kini. Tak hanya itu, situasi global nampaknya berpengaruh pada tingkat perkawinan anak di sebuah wilayah.
Hal tersebut berdasarkan laporan dari UNICEF yang menyebut bahwa krisis yang berlangsung baru-baru ini seperti bencana terkait perubahan iklim, konflik bersenjata, dan pandemi Covid-19 turut berpengaruh dalam menambah tingkat pernikahan anak di suatu daerah. Alhasil, gejolak tersebut secara tidak langsung menimbulkan ketidakamanan ekonomi yang mendorong keluarga untuk menikahkan anak perempuan mereka lebih awal.
"Saat anak pulang dari sekolah dan keluarga menghadapi krisis, orang tua cenderung menikahkan anak mereka. Penelitian telah menunjukkan bahwa keluarga memandang menikahkan anak mereka sebagai perlindungan bagi anak itu, dalam hal finansial, fisik atau kesejahteraan sosial yang dianggap membawa kebaikan untuk keluarga dan anak tersebut," ungkap Sarah Barner, direktur Maternal Health Initiative di Wilson Center, Washington, D.C dalam laporan UNICEF.
Editor : Pahlevi