Gempita Pemilu 2024, Dinamika Politik Menjelang 100 Hari Pelaksanaan

author Danny

- Pewarta

Selasa, 10 Okt 2023 20:53 WIB

Gempita Pemilu 2024, Dinamika Politik Menjelang 100 Hari Pelaksanaan

Optika.id - Menjelang 100 hari pelaksanaan Pemilu 14 Februari 2024, dinamika politik Nasional terus meningkat, baik dinamika internal Partai Politik (Parpol) dengan proses pencalonan pada tahap DCS menuju DCT, saling berebut posisi nomor urut terus mengemuka, sehingga perubahan-perubahan komposisi Calon Anggota Legislatif (Caleg) di KPU tak terhindarkan, yang membuat Penyelenggara Pemilu mengalami kesulitan tersendiri.

Begitu halnya dengan dinamika Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, karena hanya ada satu partai politik yaitu PDIP yang bisa mengusung sendiri pasangan Capres/Cawapresnya, selebihnya partai-partai politik yang lain harus berkoalisi. Pada posisi koalisi antar Parpol inilah dinamika politik terus meningkat, saling membangun komitmen bersama, tetapi ada juga yang berganti pasangan koalisi. Saat pergantian Koalisi ini, ada yang dilakukan secara sejuk berpisah baik-baik, tetapi ada yang dilakukan karena merasa ditinggalkan atau bahkan dikhianati.

Baca Juga: Lembaga Survei Hobi Mainkan Sampel dan Tak Bisa Lepas dari Konflik Kepentingan

Fenomena dinamika politik koalisi itu, dapat disimak sejak akhir Agustus hingga pekan ketiga September, publik disuguhi kejutan-kejutan politik yang secara signifikan mengubah dinamika politik koalisi menjelang Pilpres 2024.

Rangkaian peristiwa ini dimulai pada akhir Agustus 2023 lalu. Publik dikejutkan oleh keputusan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, dan Bakal Calon Presiden Anies Baswedan yang menetapkan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar sebagai Bacawapres bagi Anies. Padahal keduanya sebelumnya telah sama-sama membuat koalisi bahkan mendeklarasikan dengan Piagam kesepakatan bersama dengan Demokrat dan PKS.

Bahkan publik sudah mulai membaca bagaimana kedekatan dan chemistry antara Anies dan AHY, ada yang telah berkesimpulan Anies-AHY tinggal dideklarasikan saja. Tetapi politik tetap menyimpan kejutan dan ketidakpastiannya itu sendiri.

Dalam waktu sekejap, kondisi berubah menjadi Anies-Muhaimin. Walaupun sebelumnya Anies Baswedan telah ditetapkan sebagai Bakal Capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Bersama Nasdem, PKS dan Demokrat. Sementara itu, Muhaimin Iskandar telah menyatakan diri bergabung dengan Partai Gerindra mengusung Capres Prabowo Subianto dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).

Penetapan Pasangan Bakal Capres/Cawapres Anies Baswedan-Muhaimin ini dilakukan tanpa pembicaraan lebih dulu, sebagaimana disebutkan oleh Partai Demokrat dan PKS. Sehingga membuat dinamika politik koalisi yang cukup tinggi baik untuk KPP maupun KKIR, maka jalan ujungnya adalah koalisi bubar di tengah jalan sebelum sampai tujuan.

Fenomena politik ini, mendorong partai Demokrat bergerak cepat dengan mencabut dukungan terhadap Anies Baswedan sebagai bakal Calon Presiden, dan keluar dari koalisi Nasdem-PKS.

Esoknya (2/9), Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar langsung dideklarasikan sebagai Capres dan Cawapres di Surabaya, tetapi hanya dihadiri oleh Partai Nasdem dan PKB. PKS tidak hadir, dan baru memutuskan menerima Muhaimin sebagai Cawapres hampir dua minggu kemudian, usai rapat Majelis Syura, (15/9/2023).

Disudut pojok politik yang lain, tawaran bergabung dari koalisi Indonesia Maju dan koalisi PDIP dijajaki oleh Partai Demokrat. Selanjutnya Partai Demokrat mengambil keputusan untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang dipimpin Partai Gerindra. Ini ditandai dengan kunjungan Ketum AHY didampingi Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ke kediaman Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto Djojohadikusumo di Hambalang, Jawa Barat (17/9/2023). Setelah itu, dalam Rapimnas (21/9/2023), AHY secara resmi mendeklarasikan Prabowo sebagai bakal Calon Presiden.

Rangkaian peristiwa dan keputusan-keputusan ini telah mengubah konstelasi politik nasional. Lalu bagaimana dampaknya pada peta pertarungan politik menjelang Pilpres 2024? Bagaimana pandangan publik? Inilah yang hendak dijawab oleh The Republic Institute dalam survei nasional kali ini.

Pelaksanaan Survei

Survei nasional ini dilakukan oleh The Republic Institute pada 13 September - 23 September 2023 di 38 provinsi di seluruh Indonesia. Ini merupakan kelanjutan dari Survei Nasional yang dilakukan pada Juni lalu.

Riset lanjutan ini dilakukan dengan jumlah sampel lebih besar lagi untuk mendapatkan hasil dengan tingkat kesalahan yang lebih kecil. Maka jumlah sampel yang ditetapkan sebesar 2.010 sampel awal ditambah dengan over samplingpada enam provinsi di pulau Jawa sebesar 640 sampel. Karena Jawa Timur yang diposisikan sebagai medan laga kunci (keybattleground), dilakukan over sampling tambahan di Jawa Timur sejumlah 710 sampel. Dengan demikian, total ada 3.360 orang yang menjadi responden secara nasional.Penambahan sampel ini mengingat sebagian besar jumlah calon pemilih berada di pulau Jawa.

Sampel dipilih secara stratified random sampling, dengan Margin of Error (MoE) sebesar 2,19ngan analisa pembobotan (weighted analysis) untuk memperoleh hasil yang setara.

Selain laporan elektabilitas nasional, survei ini juga memetakan proyeksi perolehan suara di enam provinsi di pulau Jawa, dengan penajaman di Jawa Timur.

Temuan Survei

Dari survei nasional ini, didapatkan hasil penelitian yang cukup signifikan, bagaimana perubahan pilihan masyarakat akibat dampak dinamika politik yang berkembang sangat dinamis itu, ada elektabilitas Partai Politik yang mengalami kenaikan secara signifikan tetapi juga ada parpol yang mengalami penurunan elektabilitas secara signifikan pula. Kenaikan maupun penurunan tertangkap oleh riset ini dampak pada dinamika politik koalisi maupun disebabkan oleh kerja-kerja politik yang efektif kepada pemilih.

Survei ini mencatat ada lima partai yang elektabilitas naik. Dua diantaranya cukup signifikan yaitu PDIP, dari 21,7 persen pada survei Juni menjadi 23,4 persen pada survei September, dan Partai Demokrat dari 10,2 persen, menjadi 11,8 persen. Parpol yang juga naik elektabilitasnya adalah Gerindra, PKB, dan PAN, dengan kenaikan dibawah satu persen.

Secara khusus kenaikan PDIP tertangkap dalamhasil penelitian ialah karena kekuatan tokoh-tokohlokalnya yang mampu menerjemahkan kebijakan partaikhususnya kepala daerah dan caleg PDIP semua kerjadengan sangat baik, begitu pula Gerindra,PKB dan PAN.

Di luar lima parpol tersebut, empat parpol lain yang ada di Senayan, mengalami penurunan elektabilitas yang cukup signifikan. Elektabilitas Golkar turun dari bulan Juni sebesar 10,8 persen menjadi 8,7 persen pada bulan September, Nasdem, dari 8,4 persen menjadi 7,2 persen dan PKS dari 7,2 persen menjadi 6,0 persen.

Penurunan yang terjadi pada Golkar, yang tertangkapdalam temuan hasil penelitian ini ialah belum kuatnya gerakanpartai Golkar untuk menyapa pemilih, baik yang dilakukanGolkar sebagai parpol peserta Pemilu, maupun yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Golkar ditingkat local yang menjadi Kepala Daerah maupun Caleg. Khusus untuk tokohGolkar yang menjadi Caleg 2024, masih belum terasapergerakannya dilapangan secara massif, hal ini banyak yang berpendapat menurut kader-kader Golkar di bawah karenabelum ada penetapan nomor urut pencalonan yang baruditetap DCT nanti tanggal 4 November 2023.

Sementara itu, khusus Nasdem dan PKS, yang juga mengalami penurunan karena disebabkan yang tertangkapoleh riset pada periode ini karena dampak dari pilihanCapresnya, dimana PKS dan Nasdem pengusung utama AniesBaswedan, hasil penelitian ini menunjukkan elektabilitas Anies Baswedan juga mengalami penurunan.

Ada Apa Dengan Demokrat? 

Publik tentu bertanya-tanya mengapa Partai Demokrat sebagai partai papan tengah kemudian naik merangsek ke papan atas pada urutan ke-3. Apakah ini benar karena pilihan-pilihan keputusan yang diambil oleh elit atau karena memang ada perubahan di pemilih itu sendiri?

Tentunya dalam realitas politik, kita tidak bisa memisahkan atas keputusan elit politik dengan respons publik, khususnya basis pemilih. Sebab perubahan pilihan politikpemilih tidak berada dalam ruang yang kosong (vacum), tetapi juga berkelindan dengan bagaimana basis pemilih keadaan politik memersepsikan peristiwa politik, dikaitkan dengan variabel keadaan dari pemilih itu sendiri, bisa berupa isu-isu politik atau kehadiran politik itu sendiri kepada pemilih.

Survei menemukan bahwa sebagian besar responden (71 persen) tahu tentang isu pengkhianatan yang disematkan oleh Partai Demokrat kepada Anies Baswedan. Sebagian besar (59,8 persen) dari yang tahu menganggap tindakan ini tidak sesuai nilai, etika dan moral, meskipun 19,1 persen responden mengatakan masih bisa menerima tindakan ini.

Baca Juga: Survei Magna Charta Politika: Anies-AHY Unggul dalam Simulasi Capres-Cawapres

Ketika ditanya sikap politik pasca pencabutan dukungan Demokrat terhadap Anies Baswedan sebagai bakal Capres, 9,6 persen responden yang sebelumnya tidak memilih Partai Demokrat, menyatakan akan memilih Partai Demokrat. Sebaliknya, 5,4 persen responden yang pernah memilih Partai Demokrat, mengatakan tidak akan memilih Partai Demokrat. Dengan demikian, Partai Demokrat ternyata memperoleh tambahan suara 4,2 persen dari seluruh total responden.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ini yang tampaknya mendorong kenaikan elektabilitas Partai Demokrat dari 10,2 persen pada survei Juni, menjadi 11,8 persen pada survei September.

Ketika responden ditanya kemana sebaiknya Demokrat berlabuh setelah hengkang dari koalisi Nasdem-PKS, sebagian besar responden (53,7 persen) menyarankan Demokrat berlabuh ke Koalisi Indonesia Maju dengan Bacapres Prabowo Subianto. Sisanya menyarankan bergabung dengan koalisi PDIP (36,2 persen) dan tidak menjawab.

Alasan utamanya, karena tokoh dari Partai Demokrat maupun Partai Gerindra sama-sama berlatar belakang militer (21 persen), Prabowo lebih mungkin menang (13,3 persen) dan kedua partai pernah sama-sama berpengalaman dalam satu koalisi (11,4 persen).

Tokoh dan Parpol Identik Perubahan

Selain itu, dorongan agar Demokrat bergabung dengan koalisi Gerindra juga kelihatannya muncul dari persepsi publik bahwa Partai Demokrat dan Partai Gerindra merupakan dua partai yang paling mencerminkan semangat perubahan.

Menarik untuk dicermati bahwa persepsi publik terhadap Partai Gerindra sebagai partai yang identik dengan perubahan, lebih besar ketimbang terhadap PKS, Nasdem maupun PKB.

Demikian pula persepsi publik tentang tokoh perubahan. Prabowo dan AHY lebih dipersepsikan sebagai tokoh yang identik dengan perubahan ketimbang Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.

Pergeseran Basis Pemilih dan Elektabilitas Capres

Survei ini menunjukkan adanya pergeseran basis pemilih yang signifikan dari dua partai, yaitu Partai Demokrat dan PKB.

Aspirasi pendapat masyarakat tentang kemana sebaiknya Demokrat berlabuh pasca keluar dari koalisi Nasdem-PKS, tercermin pada pilihan Capres berdasarkan basis suara parpol pendukung.

Pasca keputusan Demokrat untuk mencabut dukungan dari Anies dan mendeklarasikan dukungan pada Prabowo, basis Demokrat yang mendukung Anies, menyusut dari 79 persen pada Juni menjadi tinggal 11,9 persen pada September.

Sebaliknya ada pergeseran dukungan yang signifikan dari basis pemilih Demokrat yang memilih Prabowo dari 14 persen pada Juni, menjadi 57,3 persen pada September, sisanya bergeser mendukung Ganjar Pranowo.

Baca Juga: Ini Cerita Enumerator Lembaga Survei Politik, Masih Layakkah Hasil Lembaga Survei Dipercaya?

Di sisi lain, masih ada hampir 30 persen basis pemilih PKB yang bertahan memilih Prabowo, dan hampir 16 persen yang memilih Ganjar, sisanya bergeser ke Anies (52,3 persen) dan tidak menjawab.

Ini yang tampaknya menjelaskan kenaikan elektabilitas Prabowo dari 35,3 persen pada survei Juni menjadi 39,3 persen pada survei September. Elektabilitas capres Ganjar Pranowo juga naik dari 31,4 persen menjadi 34,9 persen. Sedangkan elektabilitas Anies Baswedan justru anjlok dari 30 persen pada bulan Juni, menjadi 22,8 persen. Responden yang belum bersikap (undecided voters) juga turun dari 3,3 persen menjadi 3 persen.

Dengan kata lain, ada migrasi sebesar 7,2 persen dari responden yang semula memilih Anies, empat persen diantaranya pindah ke Prabowo, 3,5 persen sisanya ke Ganjar, sisa 0,3 persen berasal dari responden yang semula belum menentukan pilihan (undecided voters).

Analisis

Rangkaian peristiwa politik yang terjadi pada akhir Agustus hingga menjelang akhir September diikuti dengan seksama oleh publik. Ini tercermin dari jumlah responden yang tahu isu-isu ini mencapai sekitar 70 persen. Responden ini meliputi mereka yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan, lelaki perempuan, dari semua tingkatan pendidikan, dari tidak sekolah hingga jenjang pendidikan tertinggi S3 serta dari berbagai pekerjaan, dan beragam latar belakang suku, ras maupun agama.

Walaupun sering disuguhi berbagai tindakan politik yang tidak beretika, publik Indonesia tampaknya masih memiliki kesadaran etis yang tinggi. Ini tercermin dari pandangan sebagian besar publik yang menganggap keputusan sepihak Anies Baswedan sebagai tindakan yang tidak sesuai nilai, moral dan etika, walaupun sebagian kecil menganggapnya masih bisa diterima. Sebagian kecil lainnya menganggapnya sebagai tindakan yang wajar.

Simpati publik pada Partai Demokrat tercermin dari votes nett gain (perolehan suara bersih). Ini karena jumlah suara dari mereka yang sebelumnya tidak memilih Partai Demokrat dan kemudian menjadi memilih Partai Demokrat lebih besar ketimbang mereka yang sebelumnya memilih Partai Demokrat, dan kemudian memutuskan tidak memilih Partai Demokrat karena keputusan Demokrat untuk mencabut dukungan terhadap Anies Baswedan dan pergi dari koalisi Nasdem-PKS.

Persetujuan publik ini tercermin juga dari kenaikan elektabilitas Partai Demokrat, sementara elektabilitas Nasdem dan PKS justru menurun. Dengan kata lain, dari sisi Anies, mengutip pepatah Jawa, keputusan yang diambil ini seperti Mburu Uceng Kelangan Deleg yang artinya mengejar yang kecil dan belum pasti, kehilangan yang besar dan sudah pasti.

Publik juga lebih cenderung mendorong Partai Demokrat untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju yang dipimpin Partai Gerindra. Ini tercermin pada pergeseran basis pemilih Demokrat dari Anies ke Prabowo secara signifikan dalam waktu tiga bulan.

Menarik juga mencermati bagaimana basis pemilih Demokrat relatif cukup disiplin dalam mematuhi keputusan pimpinan Partai Demokrat, mengingat basis pemilih ini tidak hanya terdiri dari kader, relawan dan simpatisan Partai Demokrat, tapi juga masyarakat umum yang memilih Partai Demokrat dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Mereka tidak terikat dengan peraturan partai, sehingga perubahan pilihan mereka dapat ditafsirkan sebagai pilihan rasional mereka sendiri.

Pergeseran basis pemilih inilah yang kemudian berdampak positif bagi Prabowo. Elektabilitasnya naik paling tinggi dalam tiga bulan, sebaliknya elektabilitas Anies turun drastis.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keputusan pimpinan Partai Demokrat pada awal September sesungguhnya mencerminkan aspirasi publik, dan diganjar dengan kenaikan elektabilitas Partai.

Naiknya elektabilitas capres Prabowo, menunjukkan bahwa kehadiran Partai Demokrat dalam Koalisi Indonesia Maju langsung menunjukkan dampak yang positif. Ini dapat dipandang sebagai langkah awal yang baik bagi Demokrat, sebagai anggota koalisi yang baru.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU