Lembaga Survei Hobi Mainkan Sampel dan Tak Bisa Lepas dari Konflik Kepentingan

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Minggu, 12 Nov 2023 13:44 WIB

Lembaga Survei Hobi Mainkan Sampel dan Tak Bisa Lepas dari Konflik Kepentingan

Optika.id - Direktur Eksekutif Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat dalam keterangannya mengatakan bahwa tidak ada lembaga survei yang bisa lepas dari konflik kepentingan yang terjadi saat ini. Pasalnya, dia menilai bahwa mayoritas lembaga survei tidak memiliki kemandirian dan independensi untuk menggelar riset mereka sendiri sehingga sebagian dari survei yang dilakukan masih didanai oleh klien yang berasal dari elite politik.

"Mereka diperbolehkan mengambil sumber dananya itu dari kontestan pemilu baik itu partai ataupun calon presiden. Realitanya, kita bisa katakan bahwa lembaga survei ini saat ini tidak ada yang terlepas dari konflik kepentingan," kata Achmad, Sabtu (11/11/2023). 

Baca Juga: Usai Debat Cawapres, Survei Prabowo-Gibran Kalah Jauh dari AMIN dan Ganjar-Mahfud

Lebih lanjut, Achmad menilai bahwa berbagai hasil survei yang dirilis saat ini kian sesusah dipercaya publik lantaran banyak lembaga survei yang nyambi sebagai konsultan politik para kandidat itu sendiri. alhasil, hasil survei dari lembaga semacam itu tentu bisa didesain untuk menggiring opini publik agar opini dari publik terbentuk untuk memilih kandidat tertentu yang terafiliasi dengannya.

Dia membeberkan bahwa lembaga survei biasanya melakukan sejumlah cara untuk mendongkrak elektabilitas kandidat di papan survei. Salah satu yang acapkali mereka lakukan adalah dengan merekayasa sampel responden. Dalam sampel tersebut, proporsi pendukung kandidat tertentu diperbesar demi memastikan tingkat keterpilihan kandidat tinggi.

"Anda bisa bayangkan kalau yang di sampel populasinya tidak terarah. Ia menyampel kategori 'cebong' sebesar 60%. Kemudian, 30% itu adalah 'kampret' dan 10% netral. Secerdas apa pun pertanyaannya, maka kalau sampelnya seperti itu, ya saya katakan kalangan 'kampret' tidak akan menang," ujar dia. 

Achmad menilai, agar survei tidak jadi alat pemenangan, menurutnya perlu adanya suatu regulasi yang mengatur industri survei serta para lembaga survei tersebut. Regulasi itu secara khusus harus mewajibakan lembaga survei membuka semua data terkait survei, misalnya metodologi, sampel dan pendanaannya.

Baca Juga: Survei Indometer Peroleh Hasil Gerindra Naik Signifikan, PDIP Justru Turun

Kedua, regulasi tersebut harus dibuat atau diperkuat dengan memfungsikan batasan-batasannya sehingga pertanyaan yang diajukan dan dinilai menggiring opini tersebut dilarang dengan keras.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Misalkan, Siapa kandidat, yang menurut Anda, sangat cinta pada anak muda? Itu kan kalimatnya sudah menggiring. Nah, pertanyaan pertanyaan seperti itu harus di-filter," ucap dia. 

Terakhir, perlu dilakukan pembatasan terhadap jumlah lembaga survei. Dia menyarankan, sebaiknya menjelang pemilu, hanya lembaga survei yang memiliki kredibilitas dan rekam jejak merilis survei dalam kontestasi politik selama lima tahun atau sepuluh tahun sebelumnya yang boleh menjalankan survei.

Baca Juga: Prediksi Indikator Politik, Putaran Pertama Prabowo-Gibran Lolos

"Yang tidak punya track record, maka dia dilarang untuk menyampaikan paparan hasilnya kepada publik. Ini untuk menjaga kredibilitas atau pun mencegah muncul lembaga-lembaga survei baru yang jadi-jadian, yang dibayar untuk momen tertentu saja," kata dia. 

 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU