Optika.id - Sejak kemunculan ChatGPT, Radha, mahasiswa angkatan 2020 Universitas Airlangga Surabaya mengaku sudah jatuh hati dan memakainya dalam pekerjaan maupun tugas sehari-harinya. Dia menganggap bahwa chatbot yang berbasis teknologi artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan tersebut merupakan teman diskusi yang menyenangkan dan bisa diandalkan untuk mempermudah tugasnya.
Jujur mempermudah ya sejak pertama kali pakai ChatGPT. Kayak tugas-tugas bisa dilakukan dalam waktu yang singkat, tuturnya kepada Optika.id, Selasa (21/11/2023)
Baca Juga: Rahasia di Balik AI: 5 Cara Memudahkan Mahasiswa Menyusun Skripsi
Tak bisa ditampik bahwa kemunculan AI saat ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Menurut Survei Salesforce yang dirilis pada September 2023 lalu, sebanyak 70% Gen Z pernah bahkan rutin menggunakan AI generative. Mayoritas mengaku memakai AI untuk mempermudah pekerjaannya.
Saat ini, selain ChatGPT, sudah ada sejumlah AI generative lainnya yang terbuka aksesnya untuk publik. contohnya Bing dari Microsoft, Bard dari Google, dan Ernie dari Baidu. Selain itu, ada juga AI generative dengan kemampuan spesifik misalnya Typingmind, Chatsonic, dan lain sebagainya. Jenis-jenis AI ini diprediksi akan makin beragam ke depannya.
Menanggapi hal tersebut, pemerhati dunia digital, Agus Sudibyo menyebut jika jenis-jenis AI bakal terus berinovasi dan berjamur serta mengubah pola kehidupan Gen Z. sebabnya, teknologi AI saat ini terus berkembang dan terbukti mampu melakoni sejumlah kerja mekanik yang sebelumnya dilakukan secara manual.
Baca Juga: Generasi Z dan Politik: Harapan Baru atau Tantangan Baru?
"Mempengaruhi cara Gen Z bekerja, beraktualisasi, menyelesaikan masalah. Dia semakin terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari Gen Z. AI ini kan semakin lama semakin canggih, semakin sophisticated kemampuannya dalam menggantikan fungsi-fungsi teknis, akademik, intelektual dari manusia," ujar Agus, Selasa (21/11/2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kendati demikian, dengan segala perkembangannya Agus mengingatkan agar Gen Z tidak terbuai dengan kemudahan yang ditawarkan oleh AI. Pasalnya, menurut Agus tidak semua pekerjaan bisa diserahkan dan dilakukan Ai dengan benar. AI, imbuh Agus, memiliki limitasi yang membatasi kemampuannya dalam menyelesaikan persoalan.
"Gen Z itu harus didorong untuk punya kemampuan problem solving, menganalisis, menulis, merangkai, mendeskripsikan sesuatu, menarasikan sesuatu di luar AI. Jadi, jangan sekonyong konyong langsung AI. Kalau orang studi di khusus seni itu, mereka tidak diajari digital drawing sebelum mereka menguasai manual drawing," tutur dia.
Baca Juga: Abdul Mu'ti: Coding dan AI Tak Selalu Berbasis Internet
Agus menegaskan, kemudahan yang dibawa AI juga memungkinkan para penggunannya kehilangan daya imajinasi dan tak lagi kritis. Dengan memperhatikan dampak AI yang besar bagi publik dan prediksi ke depannya bagaimana, Agus menilai jika pemerintah harus tegas membuat regulasi khusus untuk mengatur eksistensi AI.
"Tapi, regulasinya seperti apa, ini yang sulit, karena kita harus menemukan model regulasinya. Di dunia ini belum banyak mode regulasinya dan regulasi di Eropa itu masih eksperimental. Masih coba-coba juga," ujar dia.
Editor : Pahlevi