Optika.id - Dari dulu hingga saat ini, menjelang kontestasi Pilpres 2024, suara Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi rebutan karena dianggap memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Apalagi, menjelang Pemilu 2024 yang sudah di depan mata pada tahun 2024 nanti, para ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres cawapres) berebut suara Nahdliyin (massa kultural NU) yang dianggap menjadi primadona bagi mereka.
Alhasil banyak strategi yang dilakukan oleh para kandidat capres-cawapres tersebut seperti sowan atau menemui para kiai NU, blusukan ke jantung basis suara kaum Nahdliyin dan mendekati keluarga yang dianggap memiliki pengaruh dalam NU. tak hanya itu, mereka juga menggaet para tokoh sentral dari kalangan NU untuk mengisi tim pemenangan masing-masing.
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Menanggapi hal demikian, Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati menilai jika kekuatan unsur Nahdliyin di semua kubu paslon masih belum ada yang mendominasi sepenuhnya. Lantaran, komposisi saat ini dinilai setara dan seimbang.
Saling tarik suara Nahdliyin itu tergantung dari pengaruh dan kharisma tokoh NU yang menjadi tim sukses masing-masing paslon. Tentu itu bagian dari upaya legitimasi kultural dan simbolis agar unsur keindonesiaan, religiusitas, dan nasionalisme bisa diperkuat, ujar Wasisto, Jumat (24/11/2023).
Lain hal nya dengan Pengamat Politik dari Populi Center, Usep Saepul Ahyar yang menilai jika paslon yang bisa memegang serta mengakomodir suara Nahdliyin berbasis program akan mengalami keuntungan lebih di kemudian hari, apalagi kans nya terbuka untuk menang. Pasalnya, dia menyebut jika secara simbolis dan kultural saat ini di masing-masing kubu mempunyai kekuatan yang berimbang.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Menurut saya seharusnya berlomba seperti kebijakan apa yang lebih mengakomodasi dengan warga NU. Ada yang menonjolkan kultural alias darah, ada yang program, kata Usep
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keduanya bisa saling melengkapi untuk merebut berkah elektabilitas dari suara Nahdliyin baik secara pendekatan kultural maupun pendekatan program. Secara kultural atau simbolis, sambung Usep, melalui kehadiran tokoh NU bisa membawa ikatan emosional kepada para pemilih Nahdliyin.
Adapun dari sisi rasional, akan dibantu dengan pendekatan program, ucap dia.
Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Suara Nahdliyin dalam Pemilu 2024 diprediksi oleh Usep niscaya terpecah dan tidak akan solid hanya di salah satu kubu saja. Pasalnya, hingga saat ini dia masih belum melihat ada kebaruan yang ditunjukkan oleh ketiga paslon demi meraih suara warga Nahdliyin.
Akhirnya di masing-masing, ya akhirnya harus ada pembeda jika mau menang dengan yang lainnya, yaitu yang sifatnya lebih programatik. Dari yang dimunculkan sekarang, saya lihat enggak ada yang baru, ungkap Usep.
Editor : Pahlevi