Pelanggaran Netralitas Aparatur Negara Masih Masif Jelang Pemilu 2024, Jokowi Bisa Apa?

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Selasa, 05 Des 2023 15:37 WIB

Pelanggaran Netralitas Aparatur Negara Masih Masif Jelang Pemilu 2024, Jokowi Bisa Apa?

Optika.id - Selama pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ini, Koalisi NGO untuk Keadilan Pemilu (Singkap) menemukan banyak kejanggalan dan penyimpangan aparatur negara. Hal tersebut berdasarkan laporan yang dikumpulkan serta divalidasi dengan teknik triangulasi pada periode Mei hingga November 2023.

Dalam periode tersebut, Singkap menemukan sebanyak 59 kasus penyimpangan aparatur negara dengan total 65 tindakan. Adapun kasus yang dimaksud adalah penyimpangan yang terjadi pada ruang dan waktu tertentu. Sedangkan tindakan yang dimaksud adalah aktivitas penyimpangan yang dilakukan pelaku tertentu.

Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Dari total 59 kasus tersebut, mayoritas pelanggaran yang ditemukan adalah pelanggaran netralitas dengan jumlah 32 kasus dan 24 kasus kecurangan pemilu, serta 3 kasus pelanggaran profesionalitas.

"Tiga tindakan penyimpangan yang paling banyak dilakukan adalah dukungan ASN kepada kontestan tertentu, yaitu sebanyak 40 tindakan; dukungan pejabat terhadap kontestan tertentu, dalam 7 tindakan, dan kampanye terselubung, yaitu 4 tindakan," tulis Singkap dalam laporannya, dikutip Optika.id, Selasa (5/12/2023).

Sedangkan pelanggaran berdasarkan institusi, Singkap menemukan paling banyak pelanggaran dilakukan oleh aparatur sipil negara pemerintah kabupaten (ASN Pemkab) dengan jumlah 10 tindakan. Disusul kepala desa, kepala dinas, dan anggota kepolisian dengan masing-masing 5 tindakan. Kemudian guru sebanyak 4 tindakan. Lalu camat, lurah, dan menteri pertahanan masing-masing melakukan 3 tindakan. Terakhir, presiden, penjabat gubernur dan penjabat bupati, TNI serta ASN pemkot dengan masing-masing 2 tindakan.

Akibat dari banyaknya kasus dan tindakan tersebut, yang diuntungkan adalah pasangan nomor urut 2, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Pasalnya, sebanyak 21 kasus terjadi lantaran keberpihakan pada pasangan yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) itu.

Adanya berbagai temuan tersebut menurut Singkap adalah indikasi situasi negatif dan destruktif dampaknya bagi demokrasi Indonesia.

"Ini merupakan wake-up call kepada penyelenggara pemilu, aparat pengawas intern pemerintah (APIP), masyarakat sipil, dan publik secara umum untuk lebih pro aktif dalam melakukan pemantauan," kata Singkap.

Adanya data dari laporan tersebut, khususnya yang menunjukkan pelanggaran netralitas dan kecurangan juga menunjukkan kepada publik begitu rendahnya kesadaran aparatur negara dalam menaati regulasi. Di sisi lain, hal itu juga menunjukkan betapa kuatnya intensi menginstrumentasi dan mengintervensi aparatur negara dalam melanggar aturan.

Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Dengan kata lain, aparatur negara secara massif dan terang-terangan menggunakan segala cara dalam menyalahgunakan otoritas serta sumber daya yang melekat pada dirinya. Baik secara pribadi maupun kelembagaan melalui pemihakan kepada kontestan tertentu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Presiden Didesak Tegas Bersikap

Dihubungi secara terpisah, Kaka Suminta selaku Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) mengaku menyesalkan aparatur negara seperti TNI, Polri dan ASN melanggar netralitas. Padahal, regulasi sudah ditetapkan secara jelas dan tegas.

Maka dari itu, pihaknya mendorong agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera turun tangan untuk mengatasi masalah pelanggaran netralitas ini. Apalagi, TNI dan Polri bertanggung jawab kepada kepala negara.

"Karena nama institusi sudah disebut, ya, harus bukan sekadar mengklarifikasi, tapi mengidentifikasi apakah dugaan itu benar," ucapnya kepada Optika.id, Selasa (5/12/2023).

Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada

Sementara itu, untuk pembuktiannya bisa dimulai dari laporan masyarakat atau berdasarkan temuan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Tak hanya itu, institusi lainnya juga perlu melakukan audit internal.

Lebih jauh, dia menegaskan bahwa pelanggaran netralitas akan berbahaya dan mengancam pelaksanaan demokrasi ke depannya karena hal itu bisa menyebabkan pemilu tidak berjalan sebagaimana mestinya dan penuh dengan intervensi.

Oleh sebab itu, KIPP juga mendesak agar Bawaslu professional dalam menjalankan tugas-tugasnya.

"Penyelenggara pemilu dituntut jauh lebih independen dibandingkan dengan lembaga lain karena sebelum ranah pidana, ranah etik saja sudah ada hukumannya," tegasnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU