Optika.id - Tubuh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) digerogoti oleh gejala otoritarianisme yang mulai menguat. Menurut Analis Politik dari Voxpol Research Center & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, rezim Jokowi semakin sadis dalam membungkam suara-suara kritis yang dialamatkan pada pihak penguasa, sekaligus membiarkan dengung para buzzer yang memoles citra pemerintahan agar semakin baik padahal sebaliknya.
Misalnya, kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidyanti selaku aktivis hak asasi manusia (HAM) yang terancam hukuman lantaran dianggap melakukan pencemaran nama baik kepada Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan lantaran mengkritik gurita bisnis Luhut di tanah Papua.
Baca Juga: Pertemuan Tertutup Jokowi dan Prabowo: Momen Penting di Solo
"Begitu banyak lawan politik yang sudah tiarap dan dibungkam. Ada yang dirundung media sosialnya, Ketua BEM UI diancam keluarganya. Haris Azhar dan Fatia hanya karena mengkritik soal bisnis dan korporasi yang dibangun oleh Luhut kemudian harus menghadapi sanksi pidana 4 tahun penjara," kata Pangi, kepada Optika.id, Selasa (5/12/2023).
Tak hanya itu, Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya belum lama ini mengumumkan berhenti sejenak bermain media sosial X (sebelumnya Twitter). Pria yang akrab disapa Toto tersebut tidak menjelaskan secara gamblang alasannya pamit dari media sosial X itu. Akan tetapi, sebelumnya dia sempat klarifikasi perihal fotonya bersama Prabowo yang banyak beredar di media sosial.
"Maaf saya harus twit klarifikasi sebelum off dari dunia maya. Sedang disebar foto saya dengan Prabowo, itu adalah foto bulan Februari saat saya diajak ketemu beliau, diminta bantu dan saya menolak. Dan tidak akan mungkin saya bantu pasangan yang lahir dari keputusan MK seperti itu," tulis Toto di akun @yunartowijaya, dikutip Optika.id, Selasa (5/12/2023).
Pamitnya Toto tentu menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, Toto merupakan salah satu kritikus garis keras terhadap maneuver-manuver yang dilakukan oleh Jokowi. Bahkan, dia turut mempopulerkan istilah Mahkamah Keluarga untuk menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) jauh sebelum MK memutuskan untuk merevisi batas usia capres-cawapres guna memuluskan jalan Gibran menjadi cawapres. Alhasil, putusan MK tersebut membuat Gibran selaku putra sulung Jokowi berhasil maju menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto di Pemilu 2024 nanti.
Baca Juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
Tak hanya berasal dari aktivis dan mahasiswa saja, politikus pun juga kena imbasnya. Misalnya, Adian Napitupulu dan Hasto Kristiyanto yang keduanya merupakan politikus dari PDIP. Keduanya kena sasaran tembak untuk dilaporkan ke kepolisian lantaran rutin mengkritik skandal putusan MK serta menuding keras Jokowi menjalankan nepotisme dengan merestui putra sulungnya maju Pilpres.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Saya pikir demokrasi makin hari makin gelap dan suram. Dia (Jokowi) secara pelan-pelan membunuh demokrasi. Kemudian membungkam lawan-lawan politik. Mereka difitnah, terus (mungkin akan) dipenjara," ujar Pangi.
Maka dari itu, secara tegas Pangi menyayangkan Jokowi yang terkesan mengarahkan negara ke bentuk otoritarianisme era Orde Baru padahal Jokowi dipilih oleh rakyat melalui proses demokrasi. Selain itu, Pangi khawatir jika Indonesia gagal melompat menjadi negara demokrasi yang matang karena Jokowi.
Baca Juga: Dosa-dosa Jokowi
"Kita dihadapkan pada pemilu yang tidak netral dan penuh dengan intrik. Pemilu yang menghalalkan segala cara, termasuk abuse of power. Institusi perangkat hukum dan penyelanggara agak terkesan tidak bisa imparsial dan tidak bisa netral. Bahkan, ada yang merangkap sebagai pemain sekaligus menjadi wasit," kata Pangi.
Lebih lanjut, Pangi menilai jika gejala represif serta intimidasi terhadap lawan-lawan politik Jokowi yang terjadi baru-baru ini tidak bisa dibiarkan begitu saja serta harus dilawan dengan keras.
"Ini berbahaya. Demokrasi sedang dibunuh pelan-pelan," ucap Pangi.
Editor : Pahlevi