Optika.id - Kampanye hitam kerap muncul dalam bentuk disinformasi serta misinformasi yang bertujuan untuk menyudutkan citra lawan politiknya. Hal ini disebabkan oleh hegemoni dalam politik yang sering menimbulkan sifat predasi antar kontestan pemilu sehingga tak jarang, demi meraup suara dukungan, cara-cara kotor pun digunakan untuk mencapai kekuasaan.
Kampanye hitam tentu merupakan kerawanan yang menjadi niscaya menjelang Pemilu 2024. Pasalnya, maraknya diskursus politik dan penggunaan media sosial (medsos) merupakan sasaran empuk bagi pihak-pihak yang ingin mencoreng reputasi lawan politiknya.
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Perihal kampanye hitam dan hoaks, Indonesia punya catatan buruk tentang hal tersebut. Pada Pemilu 2014 dan 2019, hoaks dan kampanye hitam bertebaran dimana-mana sehingga memancing polarisasi di akar rumput dan membunuh nalar kritis masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mewanti-wanti jika Pemilu 2024 yang berpotensi kembali dibanjiri hoaks.
Dia berkaca pada dua pemilu yang telah dilakoni sebelumnya yang menunjukkan bahwa kampanye hitam berupa hoaks kepada lawan politik menebalkan polarisasi dan menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemilu di Indonesia.
Misalnya dalam Pemilu 2014, ujar Nur, target hoaks biasanya menyerang opini masyarakat agar bisa mengubah pilihannya.
Sementara di Pemilu 2019 terdapat perubahan target penyebaran hoaks, penyelenggara dan proses penyelenggaraan pemilu juga turut menjadi target penyebaran hoaks, kata Nisa, kepada Optika.id, Selasa (12/12/2023).
Aktor penyebar hoaks ini menurut Nisa pun beragam. Pelaku kampanye hitam bisa saja berasal dari tim salah satu peserta pemilu, maupun berasal dari kelompok pendukung yang fanatic dengan motif yang beragam.
Ada yang motifnya ekonomi, atau motifnya hanya untuk kesenangan saja, ucap Nisa.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Secara terpisah, Pengamat Politik Ujang Komarudin menilai bahwa dalam kampanye hitam, penggunaan buzzer alias pendengung ini perannya cukup krusial untuk memecah belah umat. Pasalnya, mereka meniatkan diri untuk menciptakan kebenaran baru dengan menghalalkan segala macam cara. Kebohongan yang berulang, ucapnya, lambat laun akan dipercaya juga oleh masyarakat jika dihembuskan secara massif dan konsisten.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika tidak ada yang menangkal maka akan terus menjadi kebenaran, kata Ujang.
Ujang mencontohkan narasi kampanye hitam yang digunakan pada pemilu sebelumnya adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang seorang PKI. Narasi tersebut, kata Ujang, banyak dipercayai oleh masyarakat sebagai sebuah fakta karena dihembuskan secara berulang-ulang.
Maka ketika informasi deras hoaks membanjiri, sangat wajar ini tidak terbendung, kata dia.
Lebih lanjut, kampanye hitam ini akan berakibat fatal lantaran membuat pemilih menjadi disorientasi terhadap dinamika politik. Pemilih akan kehilangan kemampuan rasional lantaran informasi yang didapatkan adalah informasi yang salah.
Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Sehingga pilihan mereka pun akan menurun drastis kualitasnya. Kualitas-kualitas pemimpin yang dihasilkan dari informasi yang kotor, informasi yang keruh, dan informasi yang beracun tentu akan menghasilkan pemimpin yang juga tidak bersih, ujar nya.
Kampanye hitam ini juga bisa digunakan untuk mendiskreditkan kelompok tertentu. Ada beberapa isu yang sangat rawan ditunggangi untuk kepentingan politik sesaat yakni isu primordial seperti ras, suku dan agama (SARA). Hal ini berbahaya bagi masyarakat karena akan memantik keterbelahan sosial yang meruncing.
Maka dari itu, Ujang menyarankan kepada elit politik untuk melakukan narasi pembanding dan fokus pada ius gagasan serta program kontestan Pemilu 2024. Di sisi lain, dia berharap kepada masyarakat agar melakukan klarifikasi apabila menerima informasi dari medsos.
Karena propaganda hitam ini memang tujuannya untuk memecah belah, kata dia.
Editor : Pahlevi