Oleh: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA
Baca Juga: Pilpres 2024: Katalis Kembali ke UUD45?
Optika.id - Data empirik yang bisa kita kumpulkan hari ini menunjukkan bahwa Pemilu 2024 bakal berakhir memilukan. Pijakan Pemilu 2024 ini adalah UUD2002 dan serangkaian UU Politik yang mengatur politik. Partai politik menjadi institusi yang sangat berkuasa, sekaligus berbahaya. Presiden dan wakilnya ditentukan oleh elite partai politik. Dalam kesenjangan literasi, informasi, sosial dan ekonomi yang cukup bermakna, kebanyakan pemilih memilih dengan menebak, hasil penggiringan opini, intimidasi, atau politik uang. Publik pemilih hanya jongos politik yang mentransfer hampir semua hak-hak politiknya di bilik-bilik suara Pemilu ke partai politik. Suara yang dikumpulkan di ratusan ribu TPS itu kadang berbelok alamat, hilang di jalan, atau menguap di Gedung DPR/MPR yang megah itu. Empat tahun terakhir cukup menunjukkan bahwa aspirasi pemilih sering diabaikan presiden petugas partai, apatah lagi anggota DPR.
Karena faktor-faktor geografis, dan demografis, biaya kontestasi ini memberatkani APBN, sekaligus para kontestan, terutama Pilpres. Pemilih harus digiring opininya, diintimidasi atau disuap uang agar memilih paslon tertentu. Akibatnya, logistik Pilpres ini dari Pemilu ke Pemilu makin besar. Peran bandar politik pendukung logistik paslon sangat besar. Tentu tidak gratis. _There is no such a free lunch on the planet_. Para paslon akan melakukan apa saja untuk menang. Modal nyapres ini belum bisa kembali dalam satu periode. Sindrom petahana , i.e. untuk terus berkuasa, menghinggapi Presiden sampai ke kepala desa. Jika 2 periode tidak cukup, perlu dicari cara untuk memperpanjang pengaruh politik pada pemerintahan berikutnya. Paslon yang memposisikan diri sebagai penerus rezim yang berkuasa memiliki peluang besar untuk memanipulasi opini, intimidasi dan politik uang dengan menyiasati APBN yang digelontorkan menjelang akhir tahun 2023 ini.
Baca Juga: Demokrasi Simply Mbelgedhes
Karena pendidikan politik yang buruk, dan budaya feodalisme, publik gagal membedakan negara dengan pemerintah. Kesetiaan tunggal dan pendekatan kekaryaan selama 30 tahun Orde Baru belum banyak berubah. Siapapun pemenang Pemilunya, budaya birokrasinya tetap Golkarian. Dalam perspektif ini, upaya petahana atau paslon penerus petahana, akan memanfaatkan budaya Golkar dalam birokrasi untuk menang. Penunjukan walikota, bupati, dan gubernur oleh Presiden melalui Mendagri karena perubahan jadwal Pemilu 2024 berpotens besar disalahgunakan untuk mendukung paslon tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketidaknetralan lembaga-lembaga penyeleggara Pemilu dan birokrasi bisa berwujud macam-macam. Voting rights penduduk di wilayah-wilayah dan kelompok-kelompok tertentu bisa dipermainkan, jika cukup berani memperlihatkan sikap opposan. Orang Dalam di KPU, MK dan KPK diarahkan untuk berpihak. Daftar Pemilih Tetap diintervensi dengan menyusupkan data-data pemilih siluman dalam jumlah puluhan juta. Pada saat aparat kepolisian dipaksa hidup untuk cari duit sendiri, karena anggaran APBN yang dititipkan ke Kemenhan relatif kecil, maka proyek pemilu ini bisa menjadi pekerjaan tambahan yang menggiurkan bagi polisi. Ratusan ribu Kepala desa juga dimobilisasi untuk mendukung paslon beking pusat. Pilpres 2024 akan keliru lagi memilih presiden.
Baca Juga: Mengapa Kembali ke UUD45?
Stasiun Cepu, 17 Desember 2023
Editor : Pahlevi