Jakarta (optika.id) - Kecurangan yang luar biasa mewarnai Pilpres 2024 terutama terkait kuatnya dugaan rekayasa perolehan suara paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada hari pencoblosan 14 Februari lalu.
Saya melihat kecurangan yang terjadi ini sangat ganas, sangat terstruktur, sangat sistematis, dan sangat massif, kata pengamat politik Refly Harun kepada di Jakarta, Minggu, (18/2/2024).
Baca Juga: Anies Ngaku Tugas Jakarta Belum Rampung, Refly Harun: Ini Testing The Water
Mantan wartawan dari Grup Harian Jawa Posyang juga dosen dan pakar hukum tata negara ini menilai sejak awal Presiden Joko Widodo telah mengintervensi jalannya Pilpres 2024.
Ini berdasarkan pantauan singkat saya. Sekali lagi, ini namanya opini, tapi didasarkan pada pengamatan dan informasi yang diperoleh, lanjutnya.
Maksud dari kecurangan yang terstruktur, menurut Refly, karena kecurangan tersebut dikerahkan oleh struktur kekuasaan. Dalam Pilpres 2024, istana terlibat lewat cawe-cawenya Jokowi.
Misalnya, banyak kegiatan yang diarahkan untuk kemenangan paslon tertentu. Sebutlah, upaya memanggil dan mengumpulkan aparat desa untuk mendukung paslon tersebut.
Sedangkan kecurangan sistematis, tambah Refly sambil mengutip pula ulasan Bocor Alus, nama program di channel YouTube dari Tempo, sudah sangat jelas terlihat adanya desain dan sistem yang menggerakkan kecurangan tersebut.
Belum lagi misalnya tudingan-tudingan keterlibatan aparat. Makanya saya sebut, ini sistematis. Dan untuk massif, karena kecurangan ini tidak hanya terjadi di satu-dua tempat, melainkan di banyak tempat di seluruh republik ini, kata Refly.
Refly lebih lanjut mengomentari pernyataan Jokowi bahwa siapa saja dipersilakan melapor ke Bawaslu dan lembaga-lembaga terkait jika merasa dicurangi dalam pemilu termasuk dalam Pilpres 2024.
Inilah tantangan yang disuguhkan kepada kita. Begini, yang namanya electoral justice systemkita, selama ini tidak cukup kuat untuk melindungi berlangsungnya pemilu yang jujur dan adil, tambahnya.
Dicontohkan pemberian susu oleh paslon tertentu selama masa kampanye Pilpres 2024. Dalam, kasus tersebut, Bawaslu DKI Jakarta menyatakan bahwa hal itu salah.
Baca Juga: Refly Harun Singgung UU No 10/2016 Soal Putusan MA Usia Cakada!
Tapi coba lihat, apa sanksi yang diberikan? Tidak jelas, sehingga orang akhirnya tidak takut untuk mengulanginya terus, termasuk untuk melakukan money politic, tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Coba saja misalnya ada satu-dua kasus money politic yang terbukti, dan pelakunya didiskualifikasikan (dalam pilpres), maka orang takut untuk melakukannya. Tapi, ini kasusnya telanjang, dan orang kemudian skeptis, merasa tidak ada gunanya melapor ke Mahkamah Konstitusi, walaupun saya pribadi menganjurkan agar kita tidak boleh putus asa, kata Refly.
Refly juga berharap agar Mahkamah Konstitusi menyelesaikan secara adil berdasarkan hukum terkait berbagai laporan kecurangan dalam penghitungan suara Pilpres 2024 jika disengketakan oleh Timnas AMIN.
Tentunya berdasarkan data-data kuat tentang kecurangan yang bisa dipresentasikan ke Mahkamah Konstitusi. Nah, di sini kita juga bisa bicara tentang data kuantitatifnya. Data ini kan sedang bergerak, bersaing antara kemenangan Prabowo sesungguhnya berapa persen, ujarnya.
Data KPU misalnya mengatakan sudah 56 persen, dan sepertinya hanya mengikuti quick count. Tapi, jika data yang terjadi, misalnya AMIN dan lain sebagainya hanya 51 dan 52 persen saja, maka ini artinya bahwa dengan angka 51 dan 52 persen, walaupun persentase data yang masuk lebih lambat, hal ini berpeluang terjadinya pilpres putaran kedua, ujar Refly.
Jadi, kualitatifnya, Timnas AMIN harus bisa mengumpulkan semua kecurangan yang bisa di-compare (bandingkan) kemudian membuktikan bahwa kecurangan ini terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Tidak hanya selama proses pemberian suara, tapi sebelumnya, ujarnya.
Baca Juga: Jimly Ungkap MK Bisa Batalkan Pemilu Jika Memang Salah
Dicontohkan kecurangan lewat kebijakan-kebijakan presiden. Semisal, memanggil dan mengumpulkan kepala desa, menaikkan gaji Bawaslu, keterlibatan para menteri yang mengampanyekan seolah-olah bansos adalah dana pribadi presiden.
Pun pernyataan para menteri bahwa memilih putra presiden sama dengan bentuk terima kasih kepada presiden atas bantuan bansos.
Juga waktu pencoblosan kemarin, banyak yang bisa dipersoalkan. Misalnya, ada surat suara yang sudah tercoblos, input data yang aneh, atau angka 90 jadi 490, kemudian intimidasi, dan lain-lain sebagainya, paparnya.
Kita juga harus terus mengawal proses penghitungan suara. Semoga Mahkamah Konstitusi tergerak hati nuraninya, untuk melihat persoalan ini seadil-adilnya, walaupun ngeri-ngeri sedap, karena saat kita sedang berjuang, tiba-tiba PTUN mengabulkan permohonan Anwar Usman terkait pencopotan jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, tambah Refly.
Tapi ingat, ini hanya putusan sela. Putusan sela, menurut saya, bukan keputusan yang inkrah atau final. Jadi, jangan khawatir, karena ini (putusan sela) tidak sekuat putusan yang sudah inkrah, tandasnya.
Editor : Pahlevi