Siti Zuhro: Demokrasi Indonesia Masih Problematik Sejak Dulu

author Danny

- Pewarta

Minggu, 10 Mar 2024 12:00 WIB

Siti Zuhro: Demokrasi Indonesia Masih Problematik Sejak Dulu

Surabaya (optika.id) - Peneliti Senior BRIN, R. Siti Zuhro mengungkapkan bahwasannya Pemilu 2024 saat ini sangat banyak problematika. Hal itu dikatakannya mulai dari aplikasi Sirekap hingga ketidaksesuaian antara Kepala Daerah dan Pemerintahan Pusat. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa demokrasi Indonesia masih tetap saja sejak berjalannya Pemilu pertama kali, banyak yang berubah-ubah sehingga menimbulkan banyak hal-hal tidak normal. 

"Ini yang terjadi, belum ada kesepakatan tentang formula demokrasi, pemilu dan kepartaian substansi uud 1945 sebelum amandemen bernuansa presidensial, belum ada pengalaman empirik bagi penegasan demokrasi. Periode demokrasi terpimpin, Pancasila era orde baru, itu bercorak otoritarien. Seperti tersirat dalam pendiri bangsa," ujarnya, Minggu, (10/3/2024). 

Baca Juga: Anies Punya Modal Cukup untuk Kembali Memimpin Kota Jakarta!

Transisi politik dari sistem otoritarien menuju demokrasi tidak menjadi momentum strategis penataan atau formasi politik. Momentum emas terlewati, karena berbagai faktor distortif baik mendahulu reformasi politik, pilihan atas skema institusional politik maupun inkoherensi dalam kehidupan demokrasi sejak pemilu pertama kali tahun 1999. 

"Berbagai problematik itu diantaranya model transisi tidak menjanjikan, melembaga demokrasi substansial, transisi politik menuju sistem demokrasi berlangsung atas desakan kekuatan elemen mahasiswa, masyarakat sipil, akademisi, media dan masyarakat. Meskipun waktu itu berhasil membuat Soeharto mundur, kekuatan demokrasi tetap gagal," terangnya. 

Baca Juga: Peneliti BRIN: Pilgub Jakarta Masih Sangat Cair Sampai Kini!

Masih kuatnya polarisasi, tambah dia, membuat kesepakatan tidak tercapai. Kegagalan itu terwujud, sejarah tahun 1998 diantara para pemimpin. Amies Rais, Gus Dur dan Ibu Megawati serta Sri Sultan Hamengkubuwono X. Hasil amandemen menyisakan masalah karena menghasilkan sistem politik yang tidak memiliki koherensi. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Di satu sisi untuk melemahkan, di sisi lain kekuasaan Presiden dipreteli, sehingga DPR dikatakan digdaya. Semua itu berkat tidak ada koherensi yang berlangsung sejak tahun 1999. Sistem yang rancu, konstitusi melembagakan kerancuan, atau keparlemenan, kamar DPR, DPR, MPR. Meski sebagian kekuasaan majelis dicabut, tidak begitu jelas apakah sistem parlemen menerapkan apa," jelasnya. 

Baca Juga: Siti Zuhro: Dukungan untuk Kaesang Sudah Bagus, Tapi Tak Punya Prestasi

Jika dilihat, sistemnya be cameral, semestinya tidak seperti sekarang ini. Sistem pemilu perwakilan proporsional yang berubah-ubah. Meski sejak pemilu awal diberlakukan sistem proporsional, dalam realitas format itu cenderung berubah-ubah, berpengaruh tidak terbangun pola relasi stabil dan continue. 

"Rakyat yang terpilih, perubahan implementasi sistem proporsional tidak berpengaruh signifikan kualitas para anggota DPR dan DPRD. Sistem multipartai banyak tidak mendukung sistem demokrasi Indonesia. Sejak 1999 menjadi masalah krusial terkait lembaga demokrasi dan diperkuat melalui amandemen konstitusi. Upaya itu ternyata hampir selalu tidak konsisten karena melekatnya kepentingan jangka pendek yang terus mencari kiat mempertahankan konstituen mereka," pungkasnya. 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU