Nilai Rupiah 16.000 Mengingatkan Pada Kondisi Krismon 1997-1998

author Pahlevi

- Pewarta

Sabtu, 15 Jun 2024 18:05 WIB

Nilai Rupiah 16.000 Mengingatkan Pada Kondisi Krismon 1997-1998

Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah

Baca Juga: Dibuat-Buat Oleh Media

Surabaya (optika.id) - Ketika mata uang Rupiah melemah terhadap US dolar, ada pernyataan yang “ngdem-ngedemi” – bahasa Jawa yang artinya mendinginkan suasana dari Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo yang merespons nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) yang hampir mendekati Rp 16.300 baru-baru ini. Menurut Perry, nilai tukar tersebut masih stabil dan termasuk yang terbaik di antara mata uang berbagai negara di dunia. Meski demikian, pihaknya sudah melakukan langkah stabilisasi nilai tukar rupiah hingga diapresiasi oleh Presiden Joko Widodo. "Kan stabil. Itu salah satu yang terbaik di dunia. Rupiah kita sangat stabil, salah satu yang terbaik di dunia dan kita terus melakukan suatu langkah-langkah. Apabila dibandingkan dengan mata Korea Selatan, Filipina, Thailand dan Jepang, depresiasi nilai tukar rupiah stabil rendah. "Kita depresiasi kita adalah paling termasuk yang rendah dan stabil," katanya. Namun setabil-stabilnya nilai mata uang kit aitu tentu masih punya dampak bagi perekomian negara.

Saya ketika melihat nilai Rupiah kita yang hampir mendekati Rp. 16.500 terhadap US dolar itus, pikiran saya melayang pada krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang menjatuhkan pemerintahan presiden Soeharto karena waktu itu nilai Rupiah kita terhadap US dolar hampir sama dengan saat sekarang. Seperti diketahui krisis itu menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp4.650/US$ pada akhir 1997 menjadi Rp7.300/US$ pada akhir November 1998. Bahkan rupiah di pertengahan 1998, sempat anjlok hingga ke level Rp16.800/US$. Krisis ini juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77,63% di akhir 1998 sementara ekonomi terkontraksi lebih dari 13,7%. Selain itu, krisis ini juga diwarnai dengan rush atau pengambilan uang besar-besaran dari bank. Saya ingat berada dalam antrian panjang di kantor BCA di Surabaya ingin menarik tabungan saya yang jumlahnya Rp 5 juta – bersama-sama dengan banyak orang yang ingin menarik dananya dari bank tersebut. Bersamaan pula pada waktu it uhuru-hara, penjarahan yang masif terjadi di Jakarta.

Pada waktu itu banyak perusahaan yang bergelimpangan, tutup dan menyebabkan ribuan buruh, karyawan di PHK karena perusahaan-perusahaan itu menjual produknya dalam Rupiah disaat US$ harganya masih Rp 4.000 an - tapi memiliki utang yang sangat besar dalam US $. Akibatnya ketika mata uang US$ naik sampai Rp 16.000 mereka kelimpungan tidak mampu membayar cicilan bunga dan pokok pinjaman dalam US$.

Baca Juga: Kok Bisa Terlibat Judi Online?

Secara umum kenaikan nilai dollar Amerika Serikat baik waktu krisis ekonomi maupun waktu sekarang ini tentu memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat Indonesia, salah satunya adalah peningkatan harga impor. Setidaknya ada dua barang impor yang menjadi komoditas utama bagi masyarakat Indonesia, yaitu minyak mentah (petroleum) untuk bahan baku bahan bakar minyak dan beras. Pelemahan rupiah juga dapat berdampak negatif pada kinerja pelaku usaha yang bergantung pada bahan baku impor. Misalnya industri farmasi petrokimia, makanan dan minuman, hingga tekstil.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kondisi tersebut juga menjadi musibah bagi industri manufaktur yang menggunakan bahan baku yang diimpor dari luar negeri. Biaya produksi meningkat, sehingga harga jual produk mau tidak mau ikutan naik. Pada akhirnya, tingkat inflasi di dalam negeri mengalami peningkatan, karena membengkaknya harga jual barang, sementara daya beli masyarakat menurun. Kondisi itu menjadi buah simalakama bagi Bank Indonesia (BI) untuk menetapkan tingkat suku bunga acuan. Sebab, kebijakan menaikan tingkat suku bunga acuan (BI) pada suku bunga pinjaman atau bunga kredit otomatis juga meningkat dan berpotensi membuat pasar modal bergejolak. Begitu pula dengan tingkat konsumsi masyarakat terhadap barang-barang yang pembeliannya menggunakan cara kredit. Salah satunya, konsumsi atau penyerapan produk otomotif, yang di Indonesia lebih dari 80 persen menggunakan cara kredit.

Banyak analis memperkirakan bahwa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS karena aktivitas ekspor yang sebagian besar berupa komoditas pertambangan dan perkebunan, serta barang setengah jadi menurun. Salah satu penyebabnya karena perang antara Rusia dengan Ukraina yang meluas ke negara-negara sekutu kedua kubu. Selain itu, ketegangan politik yang juga terjadi di Timur Tengah punya andil cukup besar. Akibat masalah geopolitik tersebut, permintaan produk ekspor Indonesia menurun. Sementara, jika masih ada permintaan harganya menurun.

Baca Juga: Hukuman Mati Untuk Industri Tekstil

Oleh karena itu, tidak ada yang berani memastikan sampai kapan tren melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tersebut bakal berakhir. Satu-satunya pendapat yang menguat adalah yang mengatakan jika ketegangan politik di sejumlah kawasan itu berakhir, dan ekonomi di berbagai belahan dunia yang saat ini lesu kembali menderu.

Bagi pak Prabowo dan mas Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih masalah gejolak – melemahnya nilai mata uang Rupiah terhadap US$ itu perlu mendapatkan perhatian serius disamping karena dampaknya yang meluas pada rakyat juga pemerintah akan mengalami kesulitan ketika utang luar negeri yang berjumlah sekitar Rp 8.000 trilliun itu ada yang jatuh tempo dimana Indonesia mau tidak mau harus membayar cicilan bunga dan pokok pinjaman dalam US$. Semuanya itu akan menggerus APBN Indonesia dan cadangan devisa negara.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU