Oleh: Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College of Arts
Baca Juga: Politik Islam di Simpang Jalan
Surabaya (optika.id) - Isu dekadensi demokrasi di akhir pemerintahan Jokowi yang dikeluhkan oleh tokoh2 nasional seperti para diehard jokower seperti Todung Mulya Lubis, Frans Magnis Soeseno, Gunawan Muhammad, dan para gurubesar di kampus-kampus ternama muncul karena buah demokrasi liberal ala UUD2002 yg bisa disebut Jokowisme. Pemilihan presiden yg oleh UUD45 dilakukan secara fardlu kifayaholeh MPR sebagai penjelmaan rakyat, diganti dengan pemilihan secara langsung fardlu 'ain oleh 160 juta pemilih yg rationally ignorant dan tersebar di 800 ribu TPS di sebuah bentang alam kepulauan seluas Eropa dengan kesenjangan spasial dan ketimpangan ekonomi yang mencolok. Akibatnya, yang terjadi adalah asal coblos masal petugas partai pelaksana visi misi parpol, bukan musyawarah deliberatif bilhikmah oleh wakil2 rakyat untuk memilih mandataris MPR pelaksana GBHN.
Jika semua pemerintahan yg dipimpin presiden terpilih dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan perkapita setinggi di AS, Eropa Barat, Jepang atau Singapura, maka resepsnya adalah 1) pendidikan, 2) liberalisasi pasar, 3) investasi, 4) pemerintahan yg kompeten hingga tingkat daerah otonom, dan 5) pasokan energi yg memadai. Lalu rekrutmen pejabat-pejabat publik harus menghasilkan regulasi dan kebijakan yang mendorong 5 hal tersebut. Hal inilah yang dilakukan oleh RRC sehingga saat ini menjadi adidaya baru yang sudah melampaui AS secara ekonomi, teknologi, dan, sebentar lagi, militer tanpa demokrasi. RRC dengan cerdik menyiasati perang dingin, menolak demokrasi yang oleh William Blum disebut sebagai ekspor AS yang paling mematikan.
Baik India ataupun Indonesia tidak mungkin menyamai China jika kedua bangsa, dan negara demokrasi terbesar itu gagal mengatasi sistem kasta, dan feodalisme. Kedua hal inilah yang melemahkan praktek pemerintahan pusat hingga daerah sehingga gagal melakukan liberalisasi pasar dan meningkatkan investasi. Baik sistem kasta maupun feodalisme tersebut seharusnya dihancurkan oleh Islam dan pendidikan yang melahirkan jiwa merdeka. Jika Islam tidak hadir di Indonesia, maka sukuisme dan feodalisme akan memecah belah bangsa Indonesia, sehingga ratusan suku-suku itu akan mudah diaboriginasi oleh penjajah.
Baca Juga: Parpol Adalah Organisasi yang Paling Berbahaya
Islam menghargai dan menjunjung tinggi akal dan usaha pribadi serta budaya lokal, tapi tetap harus berpedoman pada Al Qur'an dan sunnah. Ijtihad sangat dianjurkan Islam tapi masih ada koridor yang jelas yang tidak bisa diterabas. Secara umum, ajaran Islam sangat universal, melampaui batas2 geografi, dan primordialisme. Islam memperkuat prinsip bhinneka tunggal ika. Sayang sekali, pendidikan nasional sejak Orde Baru dijadikan instrumen sekulerisasi dan dikerdilkan melalui persekolahan massal yang hanya melahirkan buruh yang cukup trampil menjalankan mesin-mesin, sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi pemilik modal dan para aristokrat yang feodal. Banyak parpol berkuasa gagal menghilangkan feodalisme dan nepotisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tengah dinamika pasca PDII dan pertarungan geopolitik global, UUD45 telah gagal dipraktekkan segera sejak proklamasi. Bahkan sejak KMB 1949, Republik ini menjalankan UUD RIS, lalu UUDS hingga dekrit Presiden Soekarno 1959. Namun dengan kembali ke UUD45 itu Soekarno justru makin otoriter dan akhirnya condong ke sosialisme/komunisme. Ini terbukti sebagai blunder terbesar Soekarno yang mengantarkan kejatuhannya. Di tangan Soeharto, UUD45 diarahkan condong ke kapitalisme liberal ala AS dan Barat. Soeharto berhasil menarik investasi asing, memperluas pendidikan melalui persekolahan massal paksa, namun gagal membangun pemerintahan yang kompeten karena terlalu Jakarta-sentris. Akhirnya, Soeharto pun jatuh konon karena KKN, bisa jadi karena seperti Soekarno : Soeharto harus dijatuhkan karena tidak sejalan dengan kepentingan dan agenda AS/Barat.
Mengapa demokrasi yg hebat melahirkan kebijakan luar negeri yang imperialistik ? Sebabnya satu : demokrasi tidak dipandu oleh Islam yang menjadikan kemanusiaan dan ketuhanan sebagai konsep yang tidak terpisah. Manusia hanya bisa dipahami dalam hubungannya dengan Tuhan, yaitu bahwa manusia adalah abdi Tuhan, disebut Abdullah. Di hadapan Tuhan dan hukum-hukum Nya, semua manusia itu sama, yang harus dihormati apapun asal usul primordialnya. Keadilan dan tanggungjawab hanya bisa dipahami dalam perspektif ini. Tanpa ini maka akan terjadi penjajahan dan perbudakan oleh pemerintah yanh berkuasa atas rakyatnya sendiri atau bangsa lainnya.
Baca Juga: UUD 1945 adalah Bendera Perang Melawan Penjajah
UUD45 menempatkan negara berdasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa. Kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh MPR dan diterjemahkan dalam GBHN yg harus dilaksanakan oleh Presiden dan wakilnya. Gagasan Pilpres dilakukan oleh MPR memiliki alasan konsepsional, dan praktikal untuk sebuah bentang alam kepulauan seluas Eropa ini. Yang dipentingkan bukan electability, tapi representativeness. Akuntabilitas kepemimpinan juga jelas, dan sederhana. Sebagai hasil kontrak atau kesepakatan para pendiri bangsa, UUD45 bisa diubah dengan teknik addendum untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
KA Argo Bromo Anggrek Pasarturi-Gambir, 6 Juli 2024
Editor : Pahlevi