Rasa Keadilan Dalam Masyarakat

author Pahlevi

- Pewarta

Selasa, 10 Sep 2024 22:22 WIB

Rasa Keadilan Dalam Masyarakat

Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah

Baca Juga: Asosiasi Pengusaha Juga Dipecah – Belah Seperti Parpol

Surabaya (optika.id) - Saya yang awam di bidang hukumkarena memang saya bukan lulusan Fakultas Hukum seringkali pusing, geleng-geleng kepada tentang persoalan hukum di negeri kita ini terutama soal putusan hakim di Pengadilan. Bagi orang awam, maka keputusan seorang hakim itu diharapkan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Secara umum rasa keadilan masyarakat diartikan sebagai rasa dan suasana kebatinan masyarakat akan hadirnya nilai-nilai keadilan dalam setiap putusan hukum. Esensi dari rasa keadilan masyarakat adalah ditegakkannya keadilan (justice enforcement) bagi korban dan memberi dampak efek jera bagi pelakunya. Mungkin pengertian rasa keadilan dalam masyarakat itu sama dengan pengertian equality before the law yang saya temukan salah satu definisinya adalah the law should apply to all people equally regardless of their status in society rich or poor, young or old, regardless of their gender, race, culture, religion, or any other attribute ("Hukum harus berlaku untuk semua orang secara setara terlepas dari status mereka dalam masyarakat kaya atau miskin, muda atau tua, terlepas dari jenis kelamin, ras, budaya, agama, atau atribut lainnya")

Sehubungan dengan hal itu saya terkejut dan heran ketika Nyoman Sukena warga asal Banjar KarengDalem II, Desa Bongkasa Pertiwi, Abian semal Badung, ditangkap setelah ada laporan menguasai satwa dilindungi.

Kejaksaan Tinggi Bali sendiri melalui JPU dalam tuntutannya mengatakan, Nyoman Sukena telah melanggar pasal 21 ayat (2) huruf a juncto pasal Pasal 40 ayat (2) UU Republik Indonesia nomor 5 tahun1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDA-HE). Nyoman Sukena juga dijerat dengan PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa dengan acaman penjara 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 juta. Dalam penjelasannya JPU Dewa Ari mengungkapkan Nyoman Sukena ditangkap Dirkrimsus Kota Bali pada hari senin 4 Maret 2024 di rumah terdakwa Bongkasa Pertiwi, Badung.

Terdakwa diketahui tidak memiliki dokumen resmi atau izin resmi dari Instansi terkait dalam memelihara satwa dilindungi tersebut, ungkapnya. Nyoman Sukena sendiri mengaku memelihara landak itu sudah lima tahun, bermula dari ditemukannya dua landak itu oleh ayah mertuanya di ladang. Karena kasihan dan miliki hobi memelihara hewan, Nyoman Sukena memelihara kedua landak tersebut tanpa mengetahui jika ada larangan untuk memelihara hewan jenis landak. "Saya benar-benar tidak mengetahui jika ada larangan memelihara hewan jenis landak, bagi kami Landak adalah jenis hewan hama bagi Perkebunan," terangnya.

Saya terkejut dan heran karena sebaliknya, Toni Tamsil alias Akhiyang menjadi terdakwa obstruction of justice atau perintangan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi tata niaga timah (Rp 300 trilunan) wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022, telah menjalani sidang putusan pada Kamis, 29 Agustus 2024. Dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Pangkalpinang, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun kepadaToni. Pidana tersebut dijatuhkan karena Toni telah terbukti secarasah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja merintangi penyidikan perkara korupsi. Putusan lainnya yang dijatuhkan adalah menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, menetapkan terdakwa tetap ditahan, dan membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp5.000. Putusan pidana penjara tiga tahun itu lebihringan dari tuntutan JPU yang meminta agar Toni dijatuhi pidana penjara tiga tahun dan enam bulan serta pidana denda sebesar Rp200 ribu dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

Baca Juga: Oh Ternyata Itu Hanya Analisa To …

Saya lalu ingat kejadian di Situbondo pada tahun 2015 ketika palu hakim diketuk, Nenek Asyani langsung mengungkapkan amarahnya. Nenek renta berusia 63 tahun ini tak terima dengan vonis bersalah oleh hakim. Nenek Asyani divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan. "Saya sudah bersumpah mati tidak ada gunanya. Pasti ada suap. Saya tidak mencuri. Sumpah pocong, Pak," kata Nenek Asyani.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Asyani didakwa mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dibuat tempat tidur. Namun Asyani membantah dengan alasan batang pohon jati itu diambil dari lahannya sendiri oleh almarhum suaminya 5 tahun silam.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkritisi vonis hakim terhadap nenek Asyani (63 tahun). Sebelumnya, pengadilan memutus bersalah dengan menjatuhi hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider satu hari kurungan kepada Asyani. Kepala Bidang Penanganan LBH Jakarta, Muhammad Isnur melihat vonis itu makin menunjukkan diskriminasi dalam hukum di Indonesia.

Baca Juga: Pesan Untuk Prabowo dan TNI Polri dari IKN

Ia menilai ada ketidakadilan dalam penanganan kasus nenek Asyani. Sebab menurutnya, banyak kasus yang menimbulkan kerugian lebih besar di Indonesia justru tidak tertangani dengan jelas.

Ini kan nggak rasional, coba bandingkan dengan koruptor, jauh sekali. Ini semakin menguatkan bahwa hukum Indonesia tumpul keatas dan tajam ke bawah, kata Isnur di Kantor LBH Jakarta waktu itu. Isnur melihat selain nenek Asyani, banyak kasus hukum di Indonesia yang menyeret rakyat miskin menjadi korban kriminalisasi kekuatan yang lebih besar. Namun, penanganannya semua pihak berusaha tutup mata dengan hal tersebut. Ia melihat beberapa kasus seperti Nenek Asyani dengan batang kayu jati, kemudian nenek Minah dengan tigabuah kakao terdapat pola yang samayakni adanya kekuatan pihak penggugat dalam hal ini Perhutani dan PT Rumpun Sari Antan yang tidak seimbang. Ini posisi yang nggak seimbang, kelompok lemah dikriminalkan, begitu inginnya kelompok besar itu mengkriminalkan, tetapi negara justru tidak melindungi, ujarnya.

Saya tidak bisa berkata-kata ketika seorang memelihara landak dan seorang nenek yang dituduh mencuri dua batang pohon jati dihukum berat dibandingkan dengan seorang yang terlibat korupsi Rp trilliunan tapi dihukumringan.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU