Optika.id - Demokrasi merupakan salah satu sarana bagi rakyat untuk menentukan apakah pemimpin yang menjabat selama lima tahun terakhir layak untuk dipilih kembali. Dalam konteks Surabaya, sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, terdapat potensi besar untuk timbulnya tokoh pemimpin yang segar dalam politik setingkat walikota yang berintegritas dan memiliki moral baik . Namun, fenomena erosi demokrasi yang diidentifikasi oleh para analis politik mengindikasikan adanya kemunduran dalam praktik demokrasi ditingkat lokal.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Soroti Faktor Kemenangan Pramono Anung-Rano Karno di Pilgub DKI 2024
Salah satu masalah utama adalah terakomodirnya partai politik dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota dan pengusaha yang telah menaruh kepercayaan kepada pasangan calon tunggal tersebut, sering kali berujung pada munculnya calon tunggal. Fenomena ini mencerminkan kurangnya kompetisi politik yang sesungguhnya, dimana warga Surabaya tidak diberi kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar mewakili aspirasi mereka.
Kehadiran calon tunggal sebagai petahana yaitu Eri cahyadi dan Armuji membuat minimnya kompetisi dalam pemilihan kepala daerah dapat mengakibatkan erosi kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Ketika warga Surabaya melihat bahwa pilihan mereka dibatasi oleh dominasi politik tertentu, hal ini dapat mengurangi partisipasi pemilih dan melemahkan legitimasi pemimpin yang terpilih. Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi menciptakan ketidakpuasan sosial dan memicu gerakan protes.
Alexis de Tocqueville dalam "Democracy in America" (18351840) mengobservasi bahwa oposisi adalah elemen penting dalam demokrasi Amerika Serikat. Ia menunjukkan bahwa oposisi membantu menjaga transparansi dan tanggung jawab pemerintah, serta memastikan bahwa suara minoritas didengar. Hilangnya opsisi akan membuat pemerintahan kota kehilangan auto kritik yang seharusnya didapatkan agar mengatur stabilitas program kota.
Kekhawatiran akan hilangnya program-program kota Surabaya jika dipimpin oleh pejabat sementara (PJ) walikota yang ditunjuk oleh pemerintah pusat akan hanya menjadi kampanye propaganda politik saja. Pasal 54D ayat (3) menyatakan bahwa pemilihan ulang akan dilakukan pada tahun berikutnya atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa kemenangan kotak kosong bukanlah masalah serius,lebih dari itu, hal ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun di Surabaya sudah cukup baik untuk dipimpim sementara oleh pejabat yang dipilih oleh pemerintah pusat.
Baca Juga: Daftar Lengkap Kepala dan Wakil Kepala Daerah Terpilih 2024 di Jatim
Dalam Konteks Pilkada Surabaya, dualisme politik sering kali muncul sebagai fenomena yang menarik,penaruhan banner pasangan calon gubernur yang mencantumkan gambar Walikota saat ini, seperti dalam benner pasangan calon "1, 2, 3", yang tidak segan dipasang secara berjajar-jajar yang menciptakan kesan bahwa ada keterkaitan antara kepemimpinan yang sedang berlangsung dan calon-calon yang akan datang. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat legitimasi calon tertentu dengan memanfaatkan popularitas dan yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dualitas politik ini menunjukkan adanya ketegangan antara kepentingan elit politik dan aspirasi masyarakat. Ketika banner-banner yang sering kita lihat di tengah kota Surabaya hingga ke dalam perkampungan tersebut dipasang secara merata, mereka tidak hanya sekadar iklan politik, mereka juga berfungsi sebagai simbol dari hubungan antara pemimpin yang sedang menjabat dan calon-calon yang diusung oleh partai politik. Dalam hal ini, masyarakat bisa merasa terjebak dalam pilihan yang terbatas, di mana suara mereka seolah-olah dimonopoli untuk mendukung salah satu calon yang sudah terverifikasi untuk melanjutakan kegiatan yang sudah berjalan saat ini agar tidak terganggu oleh dukungan politik yang tidak terverifikasi.
Fenomena dualisme politik di Surabaya, terutama melalui penaruhan banner pasangan calon gubernur yang mencantumkan gambar Walikota saat ini, menunjukkan adanya hubungan erat antara kepemimpinan yang sedang berlangsung dan calon-calon yang akan datang. Hal ini berpotensi membatasi pilihan masyarakat dan mengurangi kepercayaan terhadap proses demokratis.
Baca Juga: Pemkot Surabaya Rencanakan Pembangunan Tanggul Laut untuk Atasi Banjir Rob di Pesisir
Pembacaan pola ini bisa membuat menjadikan satu pandangan bahwa siapapun gubernurnya Surabaya akan melanjutkan Proyek Strategis Nasional (PSN) bisa dicontohkan sepertii Surabaya Waterfront yang digadang gadang sudah di rancang sedemikian rupa,yang juga menjadi polemik dikalangan masyarakat pesisir laut kota Surabaya.karena setiap pasangan calon juga mencantumkan gambar calon tunggal tersebut.Hal ini yang membuat gugur harapan untuk memperjuangkan aspirasi lewat Pilkada agar sesuai keinginan warga yang merasa tidak puas dengan pemerintah kota Surabaya saat ini yang berharap menggunakan hak otonominya agar Proyek Strategis Nasional (PSN)sesuai dengan hukum perizinan yang ada dan harus terpenuhi agar tidak menyebabkan kerugian atau bahkan dampak yang serius bagi lingkungan di pesisir kota Surabaya.
Pengenalan dalam segi Teori Populisme dapat menganalisis fenomena dualisme pemilihan kepala daerah ini. Menurut Richard Hofstadter, populisme sering kali membangun polarisasi antara "orang baik" dan "elit korup". Dalam konteks ini, jika masyarakat merasa bahwa calon-calon yang ada tidak mewakili aspirasi mereka, maka mereka mungkin akan melihat pilihan kotak kosong sebagai satu-satunya alternatif untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap elit politik yang ada.
Walapun Ajakan memilih kotak kosong bukan salah satu solusi untuk memperbaiki demokrasi akan tetapi akan menjadi sikap protes terhadap calon tunggal,partisipasi aktif masyrakat kota Surabaya bahwa kita tidak mau permainan politik transaksi dilakukan dikota Surabaya ini secara terangbenderang.Dengan memilih kotak kosong, warga Surabaya menunjukkan ketidakpuasan atau tidak sejalanya pemikiran poltik dan tujuuan sebagai masyrakat kota Surabaya yang tidak memenuhi standar demokratis yang sebagaimana mestinya.
Tulisan: Hafizh Arrafi Firmansyah
Editor : Pahlevi