Lama Perjalanan ke Kantor Bikin Depresi Karyawan

Reporter : Uswatun Hasanah

Surabaya (optika.id) - Bukan sesuatu yang mengherankan jika kita melihat kemacetan di Jabodetabek, terutama ketika jam masuk dan jam pulang kerja. Bagi orang-orang yang bekerja di wilayah Jabodetabek, perjalanan pulang pergi ke kantor menggunakan kendaraan pribadi selalu dihantui dengan kemacetan.

Sementara itu, apabila menggunakan alternatif lain seperti angkutan umum misalnya kereta komuter dan bus transjakarta, maka mereka harus siap-siap berdesak-desakan atau ketinggalan kereta. Perjalanan pun sering ditempuh lebih dari sejam dari rumah ke kantor.

Baca juga: Pemilu Sebabkan Banyak Orang Stres, Ini Cara Mengatasinya

 Perjalanan sehari-hari yang panjang dapat menyisakan sedikit waktu di hari kerja yang sibuk, yang membuat kurang aktif secara fisik, (menyebabkan) kelebihan berat badan, dan kurang tidur. Duduk di tengah kemacetan juga dapat meningkatkan tekanan darah. Bukan karena frustasi, namun karena polusi udara yang dihirup. tulis Science Alert, dikutip Optika.id, Senin (19/2/2023).

Dikutip dari Science Alert, dampak kesehatan akibat kemacetan tersebut paling dirasakan oleh orang-orang di Korea Selatan yang merupakan negara dengan waktu perjalanan terlama dan tingkat depresi tertinggi di antara negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (ODCD).

Menurut penelitian terbaru dari peneliti Korea Selatan, Dong-Wook Lee, Je-Yeon Yun, Nami Lee, dan Yun Chul Hong dalam Journal of Transport & Health menemukan bahwa waktu perjalanan yang lama memiliki kaitan yang sangat erat dengan meningkatnya risiko depresi.

 Waktu perjalanan yang lama, lebih dari satu jam, punya rasio peluang sebesar 1,16% gejala depresi dibandingkan waktu perjalanan yang singkat, kurang dari 30 menit, tulis para peneliti.

Lee dkk menulis bahwa hubungan antara waktu perjalanan dan depresi pria paling kuat terjadi pada pria yang masih lajang, belum memiliki anak, pekerja kerah biru dan pekerja shift. Sedangkan pada perempuan, waktu perjalanan yang panjang paling erat kaitannya dengan depresi bagi mereka yang memiliki penghasilan cukup rendah, sudah memiliki anak, dan pekerja shift.

Beberapa faktor menjelaskan hubungan antara waktu perjalanan yang lama dan depresi, tulis para peneliti.

Pertama yakni waktu perjalanan bisa menyebabkan stress psikologis dan fisik lantaran perjalanan pulang-pergi memerlukan energy mental dan fisik yang cukup besar terlepas dari jenis transportasi yang mereka gunakan.

Sementara yang kedua, waktu perjalanan lama ini bisa menghilangkan kesempatan para pekerja untuk beristirahat dari pekerjaannya. Dan terakhir, tidur dan depresi berhubungan derta dengan ritme melatonin, sirkadian, dan disregulasi neuroinflamasi.

Waktu perjalanan yang lama bisa mengurangi durasi tidur pekerja dan memperburuk gejala depresi, tulis para periset.

Dalam peneliannya, tim peneliti tersebut menganalisis sebanyak 23.415 pekerja yang berusia 20 hingga 59 tahun dengan memanfaatkan Fifth Working Environment Survey tahun 2017 yang meneliti berbagai faktor misalnya jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, wilayah, pendapatan, status pernikahan, pekerjaan, kehadiran anak, jam kerja mingguan dan shift bekerja.

Upaya untuk mengurangi waktu perjalanan diperlukan demi membantu masyarakat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, kata Lee dari Inha University kepada Korea Biomedical Review.

Melakukan perkerjaan jarak jauh atau bekerja dari rumah menurut peneliti bisa mengurangi depresi lantaran bisa menghilangkan waktu perjalanan yang cukup panjang ke kantor. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa Science Alert menyebut jika survei yang dilakukan di Korea Selatan tersebut dilakukan sebelum pandemic. Apalagi, tidak semua orang bisa bekerja dari rumah.

Adapun riset yang dilakukan oleh para peneliti dari Korea Selatan tersebut melengkapi penelitian sebelumnya yang serupa. salah satunya adalah penelitian di Inggris terhadap lebih dari 34.000 karyawannya di semua industri yang dilakukan oleh VitalityHealth bersama dengan University of Cambridge, RAND Europe, dan Mercer pada tahun 2017.

Baca juga: Alami Baby Blues, Kapan Sebaiknya Ibu Pergi ke Psikolog?

Sementara itu, dikutip dari The Independent, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa waktu perjalanan ke kantor kurang dari setengah jam, mendapatkan tambahan waktu produktif selama tujuh hari setiap tahunnya. Apabila dibandingkan dengan mereka yang menempuh perjalanan selama 60 menit lebih.

Perjalanan yang lebih lama punya dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental, di mana mereka yang melakukan perjalanan lebih lama 33% lebih menderita depresi, tulis the Independent.

Dampak lainnya adalah 40% di antaranya memiliki kekhawatiran finansial yang lebih besar dan 12% lebih besar melaporkan permasalahannya akibat stress terkait dengan pekerjaan. Di sisi lain, mereka juga cenderung kurang tidur tujuh jam tiap malamnya. Dan 21% mengaku mengalami obesitas.

Pengusaha harus melihat pengaturan kerja yang fleksibel sebagai bagian yang lebih penting dari strategi manajemen produktivitas dan kesehatan di tempat kerja mereka, ujar direktur strategi di VitalityHealth, Shaun Subel kepada the Independent.

Subel menyebut bahwa pengusaha harus mempertimbangkan dan memberi karyawan fleksibilitas untuk menghindari perjalanan di jam-jam sibuk apabila menyesuaikan. Opsi lainnya adalah menyesuaikan rutinitas mereka dengan komitmen lainnya sehingga mereka bisa mengurangi stress dan mendorong pilihan gaya hidup yang lebih sehat.

Lebih lanjut, dua peneliti dari China pada tahun 2022 lalu, yakni Xize Wang dan Tao Liu menerbitkan riset serupa di Transportation Research Part D: Transport and Environment. Dalam penelitian tersebut, mereka menggunakan Beijing sebagai studi kasusnya. Adapun penelitian tersebut berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2018 dengan 1.528 penduduk Beijing yang tinggal di kawasan inti perkotaan, pusat kota, hingga pinggiran kota.

Hasilnya, setiap tambahan 10 menit waktu perjalanan dari rumah ke kantor memiliki kaitan erat dengan risiko lebih tinggi mengalami depresi sebesar 1,1%. Wang dan Liu pun menyoroti tingginya risiko depresi dengan pilihan moda transportasi pekerja tersebut.

Kami menemukan, waktu yang dihabiskan di angkutan umum, mobil pribadi, dan moped (sepeda motor kecil berpedal) secara signifikan berhubungan dengan depresi. Waktu yang dihabiskan menggunakan moped adalah 73% lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan umum dan 46% lebih tinggi dibandingkan mobil pribadi, tuturnya.

Baca juga: Stres Pasca Pemilu Bayangi Pendukung yang Jagoannya Kalah, Bahaya Bagi Mental?

Temuan tersebut menyiratkan bahwa mengemudikan moped adalah penyebab utama dari masalah kesehatan mental. Pasalnya, di Beijing dan sebagian besar kota lain di China tidak memiliki jalur khusus sepeda motor. Maka dari itu, pengguna sepeda motor dan moped hanya bisa berjalan di jalur mobil dan sepeda lantaran ketiadaan jalur tersebut.

Mengendarai moped membutuhkan upaya mental yang relatif lebih tinggi dibandingkan moda lainnya karena kemampuan moped untuk memotong kendaraan dan sepeda di jalan yang padat. Selain itu, mengemudikan moped dapat menimbulkan tingkat stres yang lebih tinggi karena risiko kecelakaan lalu lintas yang relatif lebih tinggi. tulis para peneliti.

Begitu pun sebaliknya, bagi mereka yang bersepda atau berjalan kaki ke kantor, tidak ada efek depresi yang signifikan. Di sisi lain, dampak relatif lebih besar juga bisa terjadi dan mengancam mereka yang berusia 40 tahun ke atas dan para pekerja kerah biru.

Menurut Wang dan Liu, usia menjadi penyebab orang lebih rentan mengalami kelelahan mental ketika bepergian.

Orang-orang dari generasi yang berbeda mungkin juga memiliki ekspektasi yang berbeda mengenai waktu perjalanan ideal ke tempat kerja, dan terkadang ekspektasi tersebut tak sesuai harapan, tutur Wang dan Liu dalam Think China.

Sementara itu, alasan pekerja kerah biru yang bekerja di sektor manufaktur, konstruksi, pertanian, pertambangan dan pemeliharaan rentan terkena depresi lantaran mereka lebih cenderung menggunakan moda transportasi yang raan kecelakaan. Moped salah satunya.

Dibandingkan dengan pekerja kerah putih, pekerja kerah biru juga cenderung tidak mempunyai pilihan untuk bekerja jarak jauh atau mengikuti jadwal yang fleksibel, ujar Wang dan Liu.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru