Surabaya (optika.id) - Mustofa (24) mengaku sedih melihat hasil hitung cepat atau quick count pada Pilpres 2024 di televise. Dia mengaku tidak menyangka jika pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres cawapres) yang didukungnya, Ganjar Pranowo-Mahfud MD hanya mendapatkan sedikit suara.
Karena yang kita tahu pendukungnya banyak lho. Militan dan solid kadernya. Masa suaranya segitu sih, kata Mustofa saat ditemui Optika.id, di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (18/2/2024).
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Atas hal tersebut, dia mengaku tidak ingin menonton televisi dan mengakses media sosial. Untuk mengalihkan perhatiannya dari TV dan media sosial, dia memilih untuk menyibukkan diri dengan bekerja.
Tentu keresahan setelah melihat quick count itu ada. Harap-harap cemas. Ini udah enggak buka TV dan medsos. Males ada buzzer, kata dia.
Tak jauh berbeda dengan Mustofa, Yellin (22) juga merasa sedih lantaran pasangan capres-cawapres yang didukungnya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, kalah versi hitung cepat. Dirinya bahkan sempat stress sekaligus kaget dengan hasil hitung cepat tersebut.
Kalau stres sih sedikit. Kaget aja karena hasil quick count-nya enggak sesuai ekspektasi. Jauh melebihi ekspektasi, enggak nyangka lah pokoknya. Langsung lemes waktu itu, jelas Yellin ketika dihubungi, Minggu (19/2/2024).
Yellin memilih rehat bermain media sosial untuk mengalihkan perhatian.
rehat dari perdebatan dunia maya. Yang susah ini rehat dari keluarga yang ngomongin mulu hasil pilpres. Karena kan pilihan kami berbeda-beda. Itu PR nya, sambungnya.
Hasil hitung cepat berbagai lembaga survei memang menunjukkan bahwa pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memimpin dengan suara sekitar 52 57%. Disusul oleh pasangan AMIN di posisi kedua, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD harus puas di posisi buncit sendiri.
Stres Pasca-Pemilu dan Ikatan Emosional
Mengutip dari laman lembaga pelayanan kesehatan mental, Better Help, Senin (19/2/2024), stress paca pemilu ini kerap meinmpa seseorang yang merasa memiliki ikatan secara emosional. Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim politik yang ditandai dengan sudut pandang terpolarisasi dan seringnya individu terikat pada keyakinan politik.
Fenomena ini lebih umum terjadi pada abad ke-21. Sebabnya adalah masifnya informasi di media sosial dan pemberitaan, kekhawatiran yang besar terhadap masa depan negara, masa lalu negara tersebut, dan paparan lingkungan sosial itu sendiri.
Psikolog Anak, Remaja dan Keluarga sekaligus Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani Budiantini Hermawan menjelaskan jika pemilih dalam pemilu rentan terhadap stress apabila jagoannya kalah. Penyebabnya adalah pemilih sudah berambisi capres-cawapresnya menang sebelum melakukan pencoblosan.
Karena memang dia mengidolakan. Ketika tidak menang, maka bisa kepikiran, bisa stres, bisa menyebabkan overthinking, ujar Sani, kepada Optika.id, Senin (19/2/2024).
Hal ini semakin pelik ketika hasil hitung cepat menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan harapan. Imbasnya, banyak orang menjadi enggan membuka platform media sosial lantaran takut mendapatkan informasi yang bisa memperburuk suasana hatinya.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Sementara itu, hasil yang tidak sesuai dengan harapan menurut Sani juga bisa membuat seseorang merasa murung, sedih, atau kehilangan semangat dalam melakukan aktivitas sehari-harinya. Bahkan, kekecewaan itu terkadang berdampak pada tingkat energy dan motivasi individu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Membuat seseorang merasa tidak bergairah. Terus-menerus merenung dan berpikir berkepanjangan mengenai kekalahan paslon (pasangan calon) favorit, dapat memicu kondisi psikologis yang sulit diatasi, tutur Sani.
Selain pendukung, imbuh Sani, orang-orang yang cenderung mengalami reaksi emosional semacam itu biasanya adalah orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, atau tim sukses yang fanatic mendukung kemenangan capres-cawapresnya tersebut. Kondisi inilah yang menciptakan atmosfer di dalam lingkaran sosial mereka, di mana kekecewaan bisa menyebar dan memengaruhi suasana hati bersama.
Sebagai tim sukses atau penggemar setia, mereka mungkin merasakan dampak yang lebih mendalam karena keterlibatan aktif dalam mendukung paslon, ucap Sani.
Oleh sebab itu, tegas Sani, penting bagi mereka mencari dukungan sosial dan berusaha bersama-sama mengatasi kekecewaan tersebut. Harapannya, agar segera pulih secara psikologis dan bisa melanjutkan kehidupan sehari-hari dengan lebih baik.
Saat pendukung merasa pasangan capres-cawapres pilihannya mengalami kecurangan dalam proses pemilu, gejala stress ini menurut Sani bisa bertambah parah. Sebab, perasaan marah dan kesalnya tidak hanya bersumber dari kekecewaan atas kekalahan saja, melainkan juga dari kepercayaan bahwa proses itu berlangsung tidak adil dan dipenuhi dengan kecurangan yang terstruktur serta sistematis.
Gerakan-gerakan atau tindakan-tindakan yang mereka saksikan atau percaya sebagai upaya kecurangan, baik itu berupa manipulasi data, intimidasi, atau pelanggaran lainnya, dapat menjadi pemicu tambahan pada tingkat stres, ujar Sani.
Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Lebih lanjut, para pendukung ini menurut Sani mungkin merasa frustasi dan terus menerus memikirkan ketidaksetaraan yang mereka anggap terjadi selama pemilihan. Alhasil, hal ini tak hanya menciptakan ketidakamanan emosional saja, tetapi juga bisa merusak kepercayaan mereka pada proses demokrasi itu sendiri.
Situasi ini bisa membuat kondisi psikologis para pendukung semakin parah, dengan intensitas perasaan marah dan kesal yang mungkin memperburuk tingkat stres mereka secara keseluruhan, tutur Sani.
Adanya kepercayaan tentang kecurangan dalam pemilu, imbuhnya, juga bisa memicu reaksi sosial antar pendukung, memperkuat solidaritas serta meningkatkan rasa ketidakpuasan terhadap hasil yang diumumkan.
Oleh karena itu, penanganan psikologis yang tepat dan dukungan sosial menjadi penting dalam membantu para pendukung mengatasi stres, mengelola emosi, dan merestorasi kepercayaan mereka pada proses demokrasi, kata Sani.
Setiap orang yang mencoblos, tegasnya, harus bersiap dan paham bahwa ada kans kemenangan serta kekalahan dalam perhelatan kontestasi elektoral itu. Maka dari itu, bagaimanapun cara dan prosesnya, seseorang harus menerimanya sebagai sebuah pesta rakyat, bukan kompetisi di antara warga negara.
Mari kita mulai berpikir positif, mendukung siapa pun yang menang dan menghindari prasangka negatif. Dengan berpikir positif, kita turut serta mendukung proses demokrasi, tanpa perlu terus-menerus mendengar masalah kecurangan, pungkasnya.
Editor : Pahlevi