Optika.id - Di zaman yang sudah modern saat ini kita perlu mengetahui bagaimana cara berdakwah yang cocok untuk masyarakat saat ini. Dalam Acara 'Ngaji Reboan', Rabu (2/2/2022) malam, kita diajak mengenal strategi dakwah dalam Islam.
Ada dua garis besar yang didapat Optika.id dalam pembahasan yang disampaikan oleh Ketua PDM Kota Surabaya, Drs Hamri Al-Jauhari di Masjid at-Taqwa Pondok Benowo Indah, Kecamatan Pakal pada malam itu.
Baca Juga: 112 Tahun Muhammadiyah dan Harapan Masyarakat
Dakwah untuk mengajak manusia ke jalan Allah dengan hikmah dan mauizhah hasanah, sampai mereka bisa mengisinya dengan iman kepada Allah, dan mereka mampu keluar dari kegelapan jahiliyyah menuju cahaya Islam.
Strategi dakwah bil-muaradhah
Strategi dakwah bil muaradhah seringkali dipahami dengan melawan, berhadap-hadapan, dan membuka front. Dakwah bil-muaradhah dalam batas-batas tertentu mungkin baik. Sebab setiap kemungkaran oleh Rasulullah SAW dulu bukan dilawan, tetapi dihadapi.
"Namun, dakwah bil muaradhah ini dalam kondisi tertentu kurang efektif. Kebathilan tidak akan hilang, kekafiran juga sudah diciptakan oleh Allah dan akan ada selamanya. Tantangan dakwah masa kini baik yang berkaitan dengan internal umat Islam," ujarnya.
Contoh dari internal berupa perbedaan dalam memahami teks Al-Qur'an dan hadits, maupun yang berkaitan dengan eksternal umat Islam berupa Islamofobia maupun pandangan nyinyir terhadap Islam akibat kebodohan atau ketidaktahuan tentang Islam.
Istilah ini sudah ada sejak tahun 1980-an, Pada tahun 1997, Runnymede Trust dari Inggris mendefinisikan islamofobia sebagai rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga pada semua umat Islam. tetapi menjadi lebih populer setelah peristiwa serangan 11 September 2001, ujarnya.
Dinyatakan, hal tersebut juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap umat Islam dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan masyarakat serta kebangsaan.
Strategi dakwah 'bil muwajahah'
[caption id="attachment_15016" align="alignnone" width="300"] Jamaah Masjid at-Taqwa Pondok Benowo Indah, Kecamatan Pakal, Surabaya saat mengikuti Ngaji Reboan (Dok: Optika.id)[/caption]
Dakwah dengan strategi 'bil muwajahah' menghendaki terjadinya dialog yang efektif. Dan ini membutuhkan daya intelektualitas atau kecerdasan yang tinggi, mengutamakan akal dan bukan otot.
Saat ini, tidak dapat semua masalah dipecahkan menggunakan cara keras yang terkesan melawan. Perlu pendekatan cara pintar yang diperlukan untuk memecahkan masalah secara efektif. Di sinilah peran strategi dakwah 'bil muwajahah'.
Baca Juga: Khofifah: Muhammadiyah adalah Pilar Kemajuan Bangsa dan Kemanusiaan
Dalam istilah lain disebut 'ghazwul afkar' atau perang pemikiran. Dengan demikian menjadi sebuah keniscayaan bahwa seluruh aktivis wajib meng-upgrade diri, meningkatkan kualitas diri dengan rutin melakukan taklim, muhadlarah dan munadharah, pengajian rutin dan berbagai diskusi keagamaan lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di luar itu ada strategi dakwah paling tepat menggunakan 'bil muwajahah' yakni strategi menghadapi. Strategi ini dengan pemahaman Islam yang tegak lurus dan proporsional yakni wasathiyah Islam atau middle part, atau middle way (jalan tengah), tandas dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.
Perlu adanya perubahan strategi dakwah dari 'bil muaradhah' (yang cenderung reaktif-konfrontatif) ke strategi dakwah 'bil muwajahah' yang lebih mengedepankan proaktif-konstruktif.
"Barang siapa di antara kamu menyaksikan kemungkaran, maka hendaklah kamu mengubahnya dengan tanganmu, jika kamu tidak mampu maka hendaklah kamu mengubahnya dengan lisanmu, dan jika kamu tidak mampu pula maka hendaklah kamu mengubahnya dengan hatimu. Yang demikian itu selemah-lemahnya iman." (HR Muslim)
Imam Ibnu Rajab menegaskan, kewajiban mencegah dan menghentikan kemungkaran dengan tangan (kekuasaan) atau dengan lisan (ucapan) masih bergantung kepada kesanggupan.
Artinya, seorang muslim wajib mencegah dan menghentikan kemungkaran dengan tangan dan lisan apabila mampu. Namun, apabila tidak mampu atau karena takut mendapatkan kemudaratan, maka dia tidak wajib melakukannya, ujarnya.
Baca Juga: Paus Fransiskus Desak Penyelidikan Genosida Israel di Gaza, Ini Tanggapan Muhammadiyah
Berbeda dengan hati, sambungnya, di mana setiap muslim wajib mengingkari kemungkaran dengan hatinya dalam setiap keadaan.
Maksud mengingkari kemungkaran dengan hati adalah mengingkari adanya kemungkaran itu dan tidak meridainya sembari menyibukkan diri dengan berzikir kepada Allah SWT, pungkasnya.
Reporter: Jenik Mauliddina
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi