Minyak Goreng, Di Manakah Kau Berada?

author Seno

- Pewarta

Kamis, 03 Feb 2022 16:14 WIB

Minyak Goreng, Di Manakah Kau Berada?

i

Minyak Goreng, Di Manakah Kau Berada?

Optika.id - Minyak goreng di manakah kau berada? Ungkapan ini dibuat nyanyian kaum ibu di pagi hari sewaktu 'melijo' (membeli sayur-sayuran di pedagang sayuran) di kompleks perumahan. Seperti yang dituturkan oleh Nolfin salah seorang ibu rumah tangga di Perumahan Pondok Tjandra Indah, Sidoarjo, Kamis (3/1/2022) pagi. Hal ini membuat Optika melakukan penelusuran apakah harga minyak masih 'sundul langit' seperti judul lagu yang dinyanyikan oleh Tasya Kirana.

[caption id="attachment_15031" align="alignnone" width="300"] Salah satu tulisan minyak goreng kosong di Indomaret. (Optika.id)[/caption]

Baca Juga: 'Minyak Makan Merah' Bakal Diproduksi Januari 2023, Katanya Bakal Lebih Murah

Lagi-lagi seperti yang dijumpai sebelumnya, minyak goreng Rp14.000 tidak diketahui keberadaannya di Convenience store (Toko serba ada). Seperti Alfamart dan Indomaret. Di salah satu rak Indomaret malah tertulis 'Mohon Maaf Minyak Kosong, Adanya Menyaksikan Dia di Pelaminan Bersama Orang Lain', ada juga tulisan 'Maaf Stok Minyak Kosong, Sama Kayak Hati Saya'. Sementara Farah, salah seorang kaum ibu yang ditemui Optika mengatakan sudah mondar mandir keliling minimarket se-Surabaya untuk mencari minyak goreng. Namun tetap tak menjumpainya. "Akhirnya ya beli di toko kelontong mas, meskipun harganya Rp 45.000. Tetap saya beli, lah wong anak-anak suka goreng-gorengan mas," ujar mama muda berusia 26 tahun ini.

[caption id="attachment_15032" align="alignnone" width="300"] Salah satu tulisan minyak goreng kosong di Alfamart. (Optika.id)[/caption]

"Pemerintah cuman PHP (Pemberi Harapan Palsu) mas, masa katanya Rp 14.000 per liter sekarang katanya ada yang bilang turun lagi, ah percuma mas kebanyakan PHP kayak mantan saya," tuturnya sembari tersipu malu.

Sementara itu, berdasar pantauan Optika.id harga minyak goreng curah Rp 11.500 masih sulit ditemukan, meski telah ditetapkan pemerintah. Di beberapa pasar daerah di Sidoarjo. Contohnya di Pasar Gedongan, Waru dan Pasar Betro, Sedati pun tak ditemukan.

Awiek Duga Monopoli Kartel

Anggota Komisi VI DPR fraksi PPP, Achmad Baidowi mewanti-wanti minyak goreng dimonopoli oleh sejumlah pihak.

"Penetapan satu harga minyak goreng terdiri dari 3 klaster yang Rp 11.500 untuk curah, Rp 13.500 untuk kemasan sederhana dan Rp 14.000 untuk yang premium itu sebenarnya sudah bagus, tinggal implementasi di lapangan untuk pengawasan yang ketat," kata pria yang akrab disapa Awiek itu dalam keterangannya, Kamis (3/2/2022).

Awiek mendorong minyak goreng seharga Rp 11.500 yang masih gaib itu ditelusuri. Dia meminta Kementerian Perdagangan dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki untuk mencegah terjadinya monopoli oleh kartel.

"Ini problemnya di mana, apakah permainan kartel dari produsen atau distributor. Tentu ini harus dilakukan penelusuran yang melihatkan KPPU terkait dengan bisnis di minyak goreng ini, jangan sampai ada kartel yang monopoli. Kalau perlu aparat hukum juga menelusuri," katanya.

Selain itu, Awiek meminta adanya penetapan domestic market obligation (DMO) bagi produsen minyak goreng. Dia menilai DMO itu perlu ditetapkan guna menjaga ketersediaan minyak goreng di dalam negeri.

"Berikutnya, kebijakan mengenai DMO bagi produsen minyak goreng itu perlu ditegakkan, jangan sampai para produsen minyak goreng itu lebih memilih ke luar negeri karena harga di luar negeri lebih kompetitif, lebih mahal misalnya, tetapi melupakan pangsa pasar di dalam negeri. Alih-alih keuntungan yang didapat, tetapi justru menyengsarakan masyarakat, khususnya para pelaku UMKM dan sektor rumah tangga yang mengalami kelangkaan minyak goreng," tukasnya.

"Maka kemudian DMO itu perlu dibikin standarisasi, misalkan setiap produsen wajib melakukan DMO 20% atau 25% produksinya harus disebar di pasar dalam negeri, sehingga kalau suplainya melimpah maka nanti akan dengan sendirinya harga minyak goreng itu akan stabil," imbuhnya.

Awiek juga menyinggung alasan bahwa pedagang masih menjual stok lama. Dia kembali menekankan masih sulitnya minyak goreng seharga Rp 11.500 harus segera diselesaikan.

"Ya memang begitu kebanyakan mereka beralasan stoknya masih lama, kalaupun ada katanya langka di pasar, ini memang harus dicari sistemnya ya," tandasnya.

Kemendag Duga Ada Pihak Sengaja Menimbun

Kelangkaan minyak goreng di pasaran membuat munculnya dugaan ada pihak yang sengaja menimbun. Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam hal ini Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan mengatakan mereka yang menimbun akan mengalami kerugian. Sebab harga minyak goreng sudah ditetapkan turun, mulai dari yang curah, kemasan sederhana, dan premium.

"Nggak saya yakin nggak. Karena gini begitu bulan kemarin mereka menimbun minyak goreng curah atau sederhana. Ya nggak bisa dijual karena apa? Saya sudah turunin harganya minyak goreng curah Rp 11.500/liter dan kemasan sederhana Rp 13.500/liter," katanya, dalam keterangannya Rabu (2/2/2022).

Baca Juga: Kejagung Segera Sidangkan Kasus Korupsi Ekspor CPO Minyak Goreng

Apa lagi pihak yang menimbun minyak goreng kemasan premium. Oke mengatakan karena harganya sudah lama turun menjadi Rp 14.000/liter. "Mereka tambah rugi lagi," tambahnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Oke menjelaskan stok minyak goreng dalam negeri cukup banyak. Keperluan dalam sebulan mencapai 327 juta liter. Dia memastikan, para pengusaha minyak sawit tengah berupaya untuk memasok bahan baku ke perusahaan minyak goreng. Hal ini berkaitan dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 20%

"Saat ini semua saya paksa. Pada dasarnya mereka kan harus segera mengirim (ke dalam negeri) kalau tidak segera mengirim nggak bisa ekspor. Jadi harusnya cepat. Makanya kalau mereka tidak cepat-cepat yang ekspor itu akan kena penalti," tutupnya.

Pengawasan Pemerintah Sangat Lemah

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan hal ini terjadi karena pemerintah terlalu mempercayakan subsidinya kepada perusahaan minyak goreng swasta. Sedangkan, pengawasan pemerintah ke perusahaan minyak goreng sangat lemah.

"Sehingga perusahaan minyak goreng swasta ini tidak dilakukan evaluasi, tidak dilakukan pengawasan, betul-tidak stok alokasinya sudah dipenuhi perusahaan minyak goreng swasta atau memang mereka tidak menggelontorkan minyak goreng sesuai dengan komitmen awal," jelasnya, Rabu (2/2/2022).

Karena itu, menurut Bhima, seharusnya ada sanksi yang cukup tegas jika perusahaan minyak goreng tidak mau bekerja sama dengan pemerintah. Bila perlu ada sanksi pencabutan izin ekspor ataupun pencabutan izin usaha.

Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah. Sehingga wajar sekarang kebijakan berganti lagi menjadi Domestic Market Obligation (DMO) untuk yang Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng.

"Karena pemerintah sepertinya tidak memiliki power atau kekuatan untuk melakukan tekanan terhadap perusahaan-perusahaan minyak goreng," tambah Bhima.

Baca Juga: Kasus Minyak Goreng Langka, KPPU Tingkatkan Pemberkasan 27 Perusahaan Nakal

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, sebagian pasar minyak goreng dikuasai pemain besar. Berdasarkan data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terdapat empat pemain besar menguasai sekitar 46% total pasar minyak goreng.

"Jadi mungkin di situ tekanan dari perusahaan minyak goreng lebih kuat dari pada tekanan pemerintah atau negara, itu yang disesalkan," ujar Bhima.

Selain itu, Bhima memaparkan, penyebab lain kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng karena subsidinya dilakukan secara terbuka. Siapapun bisa membeli sehingga rawan terjadi penimbunan. Bisa dikatakan ada pedagang atau oknum yang membeli lebih dari ketentuan.

Penyebab lainnya, karena para pedagang sudah membeli minyak goreng sebelum adanya minyak goreng subsidi. Sehingga mereka memprioritaskan stok lama. Maka, tanpa adanya kompensasi bagi para pedagang, khususnya di pasar tradisional, para pedagang menjual dengan harga yang tinggi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengungkapkan masalah minyak goreng bisa terjadi lantaran antisipasi persiapan ketika pengumuman kebijakan itu tidak efektif. Subsidi kebijakan yang begitu tinggi memang rawan menyebabkan panic buying dan terjadi spekulasi.

"Jadi ketika kebijakan itu dikeluarkan semestinya sudah ada sosialisasi ini akan berlangsung selama enam bulan, tidak boleh ada panic buying, spekulasi, dan sebagainya untuk transisi sebelum kebijakan itu dimulai," pungkasnya.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU