Optika.id - Industri perfilman kembali tersandung dugaan pelecehan seksual di lokasi syuting. Daftar kasus pelecehan seksual makin bertambah dengan pengakuan aktris Susan Sameh yang diunggah ke media sosial beberapa waktu yang lalu.
Ia mengaku mendapat pelecehan seksual berupa catcalling atau siulan bernada godaan dari enam hingga tujuh orang di lokasi syuting film Dear Nathan: Thank You Salma.
Baca Juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?
Diketahui, bersiul kepada seseorang dengan maksud menggoda dengan unsur seksual atau biasa disebut dengan catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual secara verbal, menurut Komnas Perempuan.
Pengakuan Susan Sameh merupakan satu dari segelintir dugaan pelecehan seksual di lokasi syuting yang terungkap ke publik. Beberapa aktris lain, seperti Mian Tiara dan Hannah Al Rashid pernah buka suara sebagai penyintas.
Banyak faktor yang menyebabkan lokasi syuting rentan jadi tempat pelecehan seksual. Salah satunya adalah proses syuting dalam waktu lama yang membuat para kru dan pemain jarang bertemu keluarga. Kondisi itu kerap menghasilkan bibit-bibit perasaan baru di lokasi syuting.
"Kerja berbulan-bulan dengan keadaan yang secara psikologis capek, terus juga menghadapi kondisi yang orang-orangnya itu saja, jauh dari keluarga. Terus akhirnya cinlok (cinta lokasi)," kata Akademisi Film Institut Kesenian Jakarta Satrio Pamungkas, Kamis (3/2/2022).
Cinlok itu di bawah ke arah negatif oleh hasrat yang berlebihan. Ketika orang punya hasrat berlebihan, rasa cinlok itu tertutup nafsu, yang satu enggak cinta tapi yang satunya punya hasrat berlebihan, akhirnya melakukan hal - hal yang tak terpuji itu," ujar Satrio
Selain kondisi itu, industri perfilman juga didominasi laki - laki juga kerap membuat wanita menjadi objek seksual, belum lagi banyak laki - laki merasa berkuasa atas perempuan.
Kru laki - laki semua, trus lihat satu perempuan cakep, itu sudah kayak perempuan paling cantik sendiri di antara laki - laki itu. Kayak perempuan di sarang penyamun, dan hal itu yang mendorong lagi (pelecehan seksual). Jangan kotori ruang kita berkarya yang menurutku sangat sakral dengan tindakan pidana, baik itu pelecehan seksual maupun lainnya. ucap Satrio.
Meski dugaan kasus pelecehan seksual di lokasi syuting belakangan ini menimpa perempuan, Satrio menekankan kasus tersebut tidak hanya terjadi pada perempuan, namun juga bisa terjadi pada laki - laki.
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, seni itu sangat intim dalam pertemanan atau pekerjaan yang bisa sampai berhari - hari, sampai menginap berhari - hari apalagi syuting sehingga itu menjadi rawan.
Ditambah lagi dengan situasi industri perfilman Indonesia yang masih sangat didominasi laki-laki dan tidak ada kepastian keamanan bagi pekerja seni perempuan.
Baca Juga: Femisida Masih Dimaklumi Masyarakat Karena Stigma dan Status Korban
"Istilahnya, kesadaran (pelaku industri perfilman) ini adalah sesuatu yang profesional sangat kurang diterapkan."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Komisioner Komnas Perempuan Mariana menilai perlu adanya kode etik profesi seniman demi mencegah pelecehan seksual di lokasi syuting di masa mendatang.
Hal itu dinilai perlu partisipasi aktif dari produser selaku penyuplai dana serta pemegang kepentingan dalam produksi film tersebut.
Seharusnya itu ada pengawasan, sama dengan misalnya kode etik dalam seni atau banyak karya di mana orang tidak boleh plagiat misalnya dan lain sebagainya, kata Mariana.
Jadi bukan cuma urusan sensor dan lainnya yang justru sebenarnya mengekang kebebasan berekspresi, tapi yang penting adalah kode etik profesionalisme mereka sebagai pekerja film, lanjut Mariana.
Ia juga menekankan pentingnya kesadaran profesionalisme di lokasi syuting, hubungan yang terjalin di lokasi syuting merupakan profesionalitas kerja, bukan pribadi terlebih jika tanpa persetujuan.
Baca Juga: Tak Hanya Perempuan, Kaum Laki-Laki juga Wajib Belajar Literasi TPKS
Sebelumnya sutradara Gina S Noer mengusulkan industri perfilman membentuk dewan etik terkait pelecehan seksual di lokasi syuting, usulan itu disampaikan dalam menyikapi kasus kru film Penyalin Cahaya yang diduga terlibat pelecehan seksual.
Semoga setelah kejadian memilukan ini, industri perfilman bisa bersama membentuk dewan etik, kata Gina S Noer.
Jelas standar kerja, jalur pengaduan dari skala pembuatan film hingga industri, juga pendampingan hukum dan psikologis untuk korban, termasuk pemulihan nama bila tersangka tidak bersalah, pungkasnya.
Reporter: Mei Nurkholifah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi