Kemponan Sebagai Bentuk Kearifan Lokal

author optikaid

- Pewarta

Senin, 07 Feb 2022 12:21 WIB

Kemponan Sebagai Bentuk Kearifan Lokal

i

Kemponan Sebagai Bentuk Kearifan Lokal

[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="130"] Ruby Kay[/caption]

Sewaktu ortu membuat rumah baru berlantai dua, tukang bangunan menggantungkan tandan pisang didekat rangka atap. Katanya sih buat tolak bala, agar seluruh pekerja selamat tak ada yang celaka.

Baca Juga: Muhammad Ibn Abdullah dan Kebangkitan Arab-Islam

Saat ibu tengah memasak makanan, lalu gue tiba-tiba mau pergi keluar rumah, beliau selalu menyuruh anaknya ini untuk menyicipi sedikit nasi. Tradisi "kemponan" hingga kini tetap eksis dalam budaya masyarakat melayu dan dayak di Kalimantan Barat. Maksud dari tradisi ini agar yang mau pergi tidak mendapat musibah saat melakukan perjalanan.

Ari-ari (tali pusar) bayi yang baru lahir dikubur lalu diberi lampu. Orang jawa menyebutnya dengan "ngudang".

Ritual mencuci keris saat bulan suro pada masyarakat jawa.

Dan lain sebagainya.

Timbul pertanyaan.
Apa tandan pisang yang digantungkan ke rangka atap memang manjur untuk menjaga keselamatan para tukang bangunan?

Apakah dengan mengamalkan kemponan bisa menjamin seseorang selamat sampai tujuan?

Baca Juga: Charles Martel, Membendung Ekspansi Islam ke Eropa Barat

Kenapa kuburan ari-ari mesti diberi lampu? Wong pemakaman umum saja banyak yang dibiarkan gelap gulita.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kenapa mencuci keris saja mesti dibulan suro? Kalau terasa sudah kotor dan berkarat, tinggal dibersihkan. Tak perlu rasanya mengistimewakan sebuah bulan hanya untuk mencuci sebilah keris. Seperti kendaraan, jika kotor terkena lumpur, debu dan percikan air hujan, tinggal bawa ketempat pencucian mobil/motor. Ngapain mesti menunggu bulan suro?

Namun pemikiran kritis itu akhirnya terkalahkan dengan sikap respect. Ya sudah, itulah kearifan lokal orang Indonesia. Gue yakin tiap suku di Indonesia menyimpan kearifannya masing-masing yang sama sekali tak ada tuntunannya dalam syariat.

Dan hingga kini, beberapa sepupu dan bibi masih mengamalkan kemponan sebagai bagian dari tradisi yang hidup sejak dulu kala. "Maaaass, cicip dulu makanan ni biar ndak kemponan", ujar bibi menyeru dari dapur. Kalau orang tua yang kita hormati sudah berkata seperti itu, elokkah gue ceramahi dia dengan sederet dalil? Padahal yang ia lakukan merupakan tanda sayang kepada sang keponakan. Tentu terselip doa yang tulus dalam tradisi kemponan itu, berharap pihak yang melakukan perjalanan baik-baik saja, tak terkena marabahaya.

Baca Juga: Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila

Lalu, haruskah segala kearifan lokal itu kita katakan syirik, bid'ah, melawan syariat? Apakah bernahi munkar mesti mengharamkan semua tradisi dan budaya yang sudah terlanjur menjadi nilai dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia? Mau dicari dalam kitab apapun, kemponan gak bakal selaras dengan ajaran Islam. Itu hanya sugesti turun-temurun sebagai sebuah bentuk nilai yang dibawa oleh nenek moyang.

Ruby Kay

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU