Optika.id - Anggota Komisi VI DPR RI fraksi PAN, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio mengatakan murahnya harga minyak goreng harus diimbangi oleh ketersediaan stok. Eko menyebut kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng saat ini malah membuat stok minyak menjadi langka.
"Pertama saya ingin menekankan murahnya harga minyak goreng harus diimbangi dengan ketersediaan stok minyak goreng. Saya melihat jika ketidaktersedian minyak goreng di pasar tradisional, pasti penjual akan menjual harganya di atas Harga Eceran Tertinggi (HET)," ujar Eko dalam keterangannya, Senin (7/2/2022).
Baca Juga: Fakta-Fakta Soal 'Minyak Makan Merah' yang Digadang-gadang Lebih Sehat dan Murah
Menurutnya, pedagang minyak goreng saat ini ada pada posisi serba salah. Sebab stok minyak goreng yang ada masih menggunakan harga yang lama yaitu lebih mahal, namun terpaksa menjual lebih murah karena takut kena sanksi.
"Sekarang jika ada stok, pedagang di pasar dan warung kecil menjadi serba salah, minyak goreng yang mereka beli di distributor harganya mahal, tetapi sekarang disuruh jual murah, kalau tidak jual murah takut kena sanksi satgas, akhirnya terpaksa jual rugi," katanya.
Adanya kebijakan HET minyak goreng ini, lanjutnya, menjadi tidak berpihak kepada warga. Sebab kebijakan ini malah berakibat pada langkanya stok minyak.
"Menurut saya kebijakan HET minyak goreng ini menjadi tidak berpihak kepada masyarakat ketika justru menyebabkan kelangkaan dan yang disalahkan adalah penjual, apalagi penjual di warung atau pasar tradisional," katanya.
Eko kemudian memberikan usulan kepada pemerintah. Dia mengatakan permasalahan minyak goreng ini harus dilihat dari produsen yang tak mau memproduksi minyak goreng karena harga jualnya murah.
"Seharusnya Pemerintah melihat bahwa persoalannya bukan hanya di hilir tetapi juga ada di hulu. Produsen sekarang nggak mau memproduksi minyak goreng karena harga jualnya murah. Lalu dijanjikan agar disubsidi melalui BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), tapi belum juga dialokasikan subsidinya. Akhirnya mereka milih untuk tidak mengeluarkan stok kepada distributor. Ini yang membuat minyak goreng langka di pasaran," jelasnya.
"Jika produsen dipaksa untuk memproduksi dengan harga murah, nanti yang akan ditekan harga beli dari petani sawitnya. Harga Tandan Buah Sawit (TBS) jadi murah. Petani akhirnya tertekan dan terpaksa menjual murah ke produsen," imbuhnya.
Menurut Eko, selama ini, persoalan minyak goreng hanya dibahas pada level distributor, pedagang dan pembeli. Harusnya, persoalan saat ini ada pada hulu hingga hilir.
"Persoalan minyak goreng selama ini hanya dibahas pada hilir saja, hanya dibahas di level distributor, pedagang dan pembeli. Padahal persoalan ini hulu hingga hilir," katanya.
Persalahan minyak goreng ini bukan hanya ada pada ranah Kementerian Perdagangan. Eko menyebut Bulog yang ditunjuk sebagai distributor juga harus dilibatkan.
"Saya menyarankan jangan hanya Kemendag saja yang terlibat, ini kan ada Bulog yang juga ditunjuk Pemerintah untuk distribusi, tapi malah tidak dikasih peran," katanya.
Kementerian Keuangan, sambungnya, juga perlu dilibatkan dalam persoalan minyak goreng ini. Keterlibatan itu terkait persoalan subsidi.
"Kemenkeu juga perlu terlibat untuk ikut melihat subsidi ini baiknya diberikan di level produsen atau di level konsumen? Kalau level produsen ya melalui BPDPKS, kalau di level konsumen melalui APBN. Yang ideal menurut saya di level konsumen, tapi itu perlu waktu pembahasan melalui Pemerintah dan DPR di Banggar," tuturnya.
Eko menambahkan, pemerintah dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan itu pemerintah harus memilih antara penggunaan dana di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) digunakan untuk bahan bakar nabati (biofeul) atau untuk minyak goreng.
"Sekarang Pemerintah harus memilih antara dana di BPDPKS dipakai untuk biofuel atau buat minyak goreng. Pastinya untuk kemaslahatan masyarakat, lebih baik diarahkan untuk minyak goreng," katanya.
Pedagang di Pasar Tradisional Jual di Atas HET
Satgas Pangan Polri sebelumnya melakukan sidak ke pasar-pasar tradisional di wilayah Jabodetabek. Hasilnya, masih ditemukan minyak goreng dengan harga di atas harga eceran tertinggi, yakni Rp 14 ribu per liter.
"Para pedagang di pasar tradisional masih menjual minyak goreng di atas HET. Harga penjualan mengikuti HET sebesar Rp 14 ribu per liter," ungkap Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan Februanto dalam keterangannya, Minggu (6/2/2022).
Baca Juga: 'Minyak Makan Merah' Bakal Diproduksi Januari 2023, Katanya Bakal Lebih Murah
Whisnu mengatakan sejumlah pedagang dan distributor di pasar tradisional belum sepenuhnya memahami aturan yang telah ditetapkan pemerintah terkait penentuan harga minyak goreng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Sebagian besar para pedagang pada pasar tradisional dan distributor belum memahami kebijakan refaksi oleh pemerintah," ujar Whisnu.
Kemendag Tak Mampu Kelola Kebijakannya
Hal senada juga dikatakan Anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi masalah perdagangan, Mufti Anam.
Hal itu, menurut Anam, menunjukkan Kementerian Perdagangan tidak cukup mampu mengelola kebijakannya sendiri.
Seharusnya jika mengacu HET yang ditetapkan, yaitu minyak goreng curah sebesar Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. HET tersebut harusnya mulai berlaku 1 Februari 2022, setelah sebelumnya ada kebijakan satu harga Rp14.000 per liter.
"Itu semua tidak terbukti di lapangan. Di pasar harga masih Rp16 ribu, ada pula Rp18 ribu, Rp20 ribu. Kalau pun ada Rp14 ribu per liter, barangnya tidak ada. Ini saya cek langsung di beberapa tempat di Pasuruan dan Probolinggo. Saya tanya jaringan pelaku usaha makanan di Surabaya juga sama, demikian pula di beberapa daerah," ujarnya dalam keterangannya, Minggu (6/2/2022).
Bahkan, di laman Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional yang didata dari 82 kabupaten/kota se-Indonesia, harga minyak goreng curah di berbagai provinsi masih banyak yang berada di level Rp15 ribu per liter, bahkan hingga Rp19 rbu per liter. Seperti yang terjadi di Jawa Timur, Yogyakarta, Banten, Jateng, Jabar, Jakarta, dan berbagai provinsi lainnya.
Adapun minyak goreng kemasan dibanderol dengan harga yang juga jauh di atas ketetapan Kementerian Perdagangan, hingga level Rp20 ribu per liter di berbagai provinsi di Tanah Air.
Mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Jawa Timur ini menyayangkan masalah minyak goreng ini terjadi, padahal pengendalian harga minyak goreng ini perintah Presiden Joko Widodo.
Baca Juga: Kejagung Segera Sidangkan Kasus Korupsi Ekspor CPO Minyak Goreng
"Padahal pengendalian harga minyak goreng ini perintah Presiden Joko Widodo sejak awal Januari lalu. Artinya, Kementerian Perdagangan, Mendag Pak Muhammad Lutfi, kurang optimal mengamankan perintah presiden. Padahal ini juga untuk kepentingan rakyat luas yang kini kesulitan karena harga minyak goreng terus bertahan di level tinggi," katanya.
Mufti mengungkapkan Komisi VI DPR sudah berkali-kali dalam rapat diingatkan pentingnya kontrol, pentingnya monitoring, kemudiann sanksi yang jelas bila ada pelanggaran di lapangan.
"Tapi kenapa ini kok seolah dibiarkan terjadi begitu saja, tidak ada kontrol, padahal secara kasat mata kita bisa lihat kebijakan Mendag ini tidak berjalan di lapangan. Menjadi tidak mengherankan, di bawah, publik bertanya-tanya ada apa kok kebijakan harga minyak goreng ini tidak berjalan? Ada permainan?" imbuhnya.
Mufti menambahkan, selama ini dia mendapat info Kementerian Perdagangan kurang berkoordinasi dengan kementerian lain terkait pengendalian harga maupun pengelolaan perdagangan secara umum. Misalnya dengan Kementerian Pertanian.
"Ada beberapa preseden buruk yang menunjukkan lemahnya koordinasi Kemendag. Misalnya soal harga telur beberapa waktu lalu. Ke depan ini harus diperbaiki, apalagi tidak lama lagi memasuki bulan puasa dan Lebaran. Bisa-bisa makin kacau harga-harga kalau Kemendag tidak memperbaiki kinerja," tuturnya.
Terkait minyak goreng, Mufti juga mendukung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelidiki potensi kartel dalam bisnis minyak goreng di Indonesia yang disebut KPPU terkonsentrasi pada segelintir perusahaan besar saja dengan pangsa pasar mencapai 46,5%.
"Indikasi oligopoli semakin kuat ketika KPPU menyebutkan segelintir perusahaan tersebut terintegrasi dengan produsen CPO (Crude Palm Oil) sebagai bahan baku utama. Kondisi itu mengarah pada struktur oligopoli. KPPU harus berani bila mana ada kartel yang membuat harga migor stabil tinggi dan menyulitkan rakyat saat ini," tutupnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi