Tribute to Siti Hajar

author optikaid

- Pewarta

Rabu, 09 Feb 2022 02:49 WIB

Tribute to Siti Hajar

i

Tribute to Siti Hajar

[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="186"] Ruby Kay[/caption]

Nama Siti Hajar seringkali tenggelam dalam nama besar Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Seakan ada bias gender dalam kisah yang mengilhami ummat muslim untuk melaksanakan kurban dan ibadah haji. Apalagi status Siti Hajar sebelum dinikahi oleh Nabi Ibrahim hanyalah seorang budak. Tapi jika berkaca pada hikayat yang ditulis oleh pakar sejarah, jelas Siti Hajar bukan perempuan biasa.

Baca Juga: Muhammad Ibn Abdullah dan Kebangkitan Arab-Islam

Ibrahim atau disebut Abraham oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah bapak dari Nabi Ismail dan Nabi Ishak. Ismail lahir dari rahim Siti Hajar, sedangkan Ishak lahir dari rahim Siti Sarah saat telah berusia 90 tahun. Dengan begitu Ismail adalah kakak kandung Ishak karena lahir lebih dulu, hanya lain ibu.

Pada awalnya, Nabi Ibrahim hidup bersama istrinya Siti Sarah dimasa pemerintahan raja Namrud di Babilonia, kini termasuk dalam wilayah Irak. Siti Hajar sendiri berstatus sebagai budak dari Siti Sarah. Sudah puluhan tahun menikah dengan Nabi Ibrahim, namun pasangan itu belum juga dikaruniai anak. Maka pada suatu ketika, Siti Sarah memberi usul kepada suaminya untuk berpoligami, menikah dengan Siti Hajar.

Saran dari istrinya itu diterima oleh Nabi Ibrahim. Maka menikahlah beliau dengan Siti Hajar. Tak lama kemudian, istri keduanya itu mengandung dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Ismail. Momentum kelahiran Ismail itu ternyata membuat Siti Hajar gelisah. Sebagai seorang perempuan biasa, ia tentu memendam rasa cemburu tatkala madunya bisa melahirkan seorang anak laki-laki. Ia merajuk, tak mau tinggal dengan Siti Hajar dan Ismail dalam satu atap.

Imam al Tsalabi (ahli tafsir, 350-430 H) meriwayatkan, pada waktu itu datanglah perintah dari Allah SWT kepada Nabi Ibrahim agar membawa Siti Hajar dan Ismail kesebuah lembah. Bertiga mereka melakukan perjalanan panjang berbulan lamanya, lalu sampai disebuah gurun yang tandus dan gersang bernama Bakka, kini disebut dengan Mekkah.

Nabi Ibrahim kemudian membuat tempat berteduh alakadarnya. Beliau juga menyediakan perbekalan makanan dan minuman bagi anak dan istrinya itu. Cukup kiranya untuk bertahan hidup beberapa minggu. Tak lama kemudian, ia memutuskan pulang ke Babilonia, meninggalkan Siti Hajar dan Ismail yang masih bayi.

Dikutip dari buku kisah para Nabi karya Ibnu Katsir, Siti Hajar berkali-kali mengajukan pertanyaan kepada suaminya. "Wahai Ibrahim, engkau hendak pergi ke mana? Apakah engkau hendak pergi meninggalkan kami sementara di lembah ini tidak ada seorang pun manusia dan tidak ada makanan sama sekali?"

Pertanyaan itu diucapkan berkali-kali oleh Siti Hajar, namun Nabi Ibrahim tidak menjawab apapun. Hingga akhirnya Siti Hajar berkata kepada Nabi Ibrahim, "apakah Allah SWT yang memerintahkan hal ini kepadamu?"

Ibrahim menjawab singkat, "Ya". Siti Hajar kemudian berkata, "Jika demikian, Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan kami." Setelah itu, istri kedua Nabi Ibrahim itu tak bertanya apapun lagi.

Glek! Membayangkannya sungguh berat. Seorang perempuan dan balita mesti hidup seorang diri di gurun pasir yang tandus. Sang suami bakal pergi kembali kepelukan istri pertama. Perempuan yang hidup di jaman sekarang bisa jadi akan menghujat Nabi Ibrahim atas keputusannya itu. Laki-laki macam apa yang tega meninggalkan istri dan anak balitanya seorang diri digurun pasir? Tapi faktanya memang itulah yang terjadi. Saat meninggalkan Siti Hajar dan Ismail, Nabi Ibrahim hanya berdoa kepada Allah SWT.

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekillah mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur ". (QS Ibrahim:37)

Setelah bermunajat, Nabi Ibrahim melangkahkan kakinya dengan mantap. Ia tak menoleh kebelakang lagi. Siti Hajar sambil memangku Ismail yang masih kecil hanya bisa memandangi bayang suaminya yang semakin menjauh.

Baca Juga: Charles Martel, Membendung Ekspansi Islam ke Eropa Barat

Baru beberapa minggu ditinggalkan oleh sang suami, bekal minuman dan buah-buahan sudah habis. Siti Hajar pusing tujuh keliling. Sambil menyusukan Ismail ia harus berpikir keras. Kemana mencari air? Kemana mencari buah-buahan dan sumber protein? Air susunya telah mengering, Ismail mulai menangis dipelukan ibunya. Bayi mungil itu kehausan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Siti Hajar kebingungan. Ia lalu berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah dengan maksud mencari pertolongan. Namun tak ada seorangpun manusia yang ia temui. Tujuh kali ia bolak-balik berlari kecil diantara dua bukit itu. Fisiknya mulai melemah, lalu jatuh pingsan. Allah SWT lalu mengutus Jibril untuk membantu Siti Hajar dan Ismail. Mukjizat muncul, mata air tiba-tiba menyembur. Siti Hajar yang tengah pingsan merasakan kehadiran air disekelilingnya. Ia segera tersadar lalu memberi minum Ismail yang kehausan. Buah kurma untuk sementara waktu menjadi makanan pokok Siti Hajar untuk bertahan hidup.

Hingga beberapa bulan kemudian, datanglah rombongan kafilah pedagang dari Syam (Suriah) melewati lembah Bakka. Mereka bertemu dengan Siti Hajar lalu meminta ijin untuk menetap di lembah Bakka. Siti Hajar mengijinkan mereka tinggal dan membangun pemukiman. Dari sinilah lembah Bakka lalu mulai ramai dengan manusia. Siti Hajar dan Ismail pun tak sendirian lagi. Ada orang lain yang menolong mereka. Ada pria-pria dewasa yang kemudian mengajarkan Ismail kecil cara menunggang kuda, memanah, berburu dan lain sebagainya.

Doa Nabi Ibrahim dikabulkan Allah SWT. Lembah Bakka yang semula hanya gurun pasir tandus berubah menjadi pemukiman pemduduk. Siti Hajar dan Ismail tak lagi sendirian. Mereka lolos dari ujian kelaparan dan kehausan. Menyusul kemudian ujian selanjutnya. Nabi Ibrahim datang membawa perintah Tuhan yang harus dilaksanakan.

Bayangkan, seorang bapak yang tak ikut mengasuh dan membesarkan anak semata wayang, kemudian datang dengan maksud menyembelih putra kandungnya. Mungkin Siti Hajar sempat menangis pilu. Cobaan apalagi yang harus ia hadapi. Ismail yang dibesarkannya dengan susah payah mesti disembelih oleh bapak kandungnya sendiri.

Namun keluarga kecil itu memang tipikal manusia yang taat dan patuh dengan perintah Allah SWT. Tanpa banyak protes, Siti Hajar maupun Ismail menerima dengan ikhlas wahyu yang diterima oleh sang Nabi Ibrahim. Dialog antara bapak dan anak itu tergambar dalam surat As Shafaat ayat 102:
Maka tatkala anak itu (Ismail) sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu. Ia (Ismail) menjawab, Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar"

Demikianlah adanya. Maka terjadilah kisah yang mengharukan itu. Bapak menyembelih anaknya sendiri. Datanglah mukjizat, tubuh Ismail berganti dengan seeekor lembu. Peristiwa ini menjadi pondasi ummat Islam untuk berkurban setiap hari raya Idul Adha.

Baca Juga: Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila

Pasca peristiwa itu, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail untuk meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah (Al Baqarah:127) dan mensucikannya untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang rukuk dan yang sujud (Al Baqarah:125).

Meanwhile, Siti Hajar berperan sebagai istri sekaligus ibu dari kedua Nabi. Ia hanya seoang perempuan yang harus merelakan suami dan anaknya berdakwah menyebarkan kalam illahi. Siti Hajar juga harus ikhlas tatkala suaminya meninggalkannya lagi, kembali kepelukan Siti Sarah. Sosok perempuan yang begitu langka mengingat semasa hidupnya Siti Hajar benar-benar taat dengan perintah Allah SWT. Tak pernah ia membantah sang suami, walau mimpi Nabi Ibrahim yang mau menyembelih Nabi Ismail terdengar tak masuk akal sehat. Siti Hajar tetap taat walau hatinya mungkin sempat tersayat.

Siti Hajar meninggal diusia 90 tahun. Nabi Ismail kemudian menguburkan jasad ibunya tak jauh dari Baitullah di Mekkah. Sementara itu Nabi Ibrahim wafat dalam usia 175 tahun. Ia dimakamkan berdampingan dengan jasad istri pertamanya, Siti Sarah. Makam Nabi Ibrahim sendiri terletak di kota Hebron tepi barat Palestina. Sekitar 30 km di sebelah selatan Yerusalem. Lho, bukannya makam Nabi Ibrahim di dekat Ka'bah? Bukan. Bangunan berbentuk kotak berwarna kuning emas yang terletak di area Masjidil Haram itu adalah prasasti sebagai penanda dimana Nabi Ibrahim pernah berdiri disitu tatkala membangun Ka'bah bersama Nabi Ismail.

Begitulah riwayat Siti Hajar. Seorang istri yang acapkali ditinggal oleh sang suami. Ia membesarkan Ismail seorang diri. Ia manusia yang menghuni Mekkah pertama kali. Ia tak peroleh keistimewaan untuk dikubur berdekatan dengan sang suami. Namun Siti Hajar sudah pasti perempuan surgawi. Budak solehah yang dinikahi oleh seorang Nabi, taat dan patuh dengan suami yang mendapat wahyu dari illahi. Sosok istri sekaligus ibu yang tak ada tandingannya hingga saat ini.

Ruby Kay

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU