Optika.id - Pengamat politik, Rocky Gerung memberikan statement terkait konflik yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo.
Rocky menegaskan ada persekongkolan jahat di balik kisruh lahan di Desa Wadas. Menurutnya, ketidakselarasan antara pernyataan KSP (Kantor Staf Presiden) dengan Menkopolhukam Mahfud MD adalah tanda-tanda yang menunjukkan ada persekongkolan jahat di balik kisruh lahan Desa Wadas.
Baca Juga: Mahfud MD: Publik Sedang Tunggu Kejelasan Pemberhentian Dekan FK Unair
Diketahui Menkopolhukam, Mahfud MD telah menyampaikan pernyataan resmi pemerintah soal kisruh lahan di Desa Wadas. Menurut Mahfud MD, fakta di Desa Wadas tidak mencekam sebagaimana yang diinformaikan media massa, khususnya media sosial.
Namun, pernyataan tersebut berlawanan dengan pernyataan yang dilontarkan oleh KSP. KSP membantah pernyataan Mahfud dan menilai pengamanan di tingkat operasional berlebihan. Atas perselisihan pendapat tersebut, Rocky menilai sebagai tanda-tanda adanya persekongkolan jahat di balik kisruh lahan di Desa Wadas.
"Orkesnya berantakan, di dalam ilmu musik itu bukan harmoni, tapi kakovoni, artinya berantakan, suara yang sana tidak sama dengan suara yang sini. Jadi, sebetulnya mulai terbongkar bahwa dalam kasus Wadas ini ada persekongkolan, persekongkolan jahat bahkan, kata Rocky Gerung seperti dikutip Optika.id dari channel YouTube Rocky Gerung Official, Sabtu (12/2/2022).
Rocky mengatakan, tambang batu andesit dengan pembangunan bendungan adalah dua hal yang terpisah. Selain itu dirinya juga menyatakan tambang tersebut tidak memiliki izin.
"Kan memang, bagaimana mungkin ada suatu tambang yang memang tidak ada izinnya, tapi kemudian dijadikan alasan untuk material bagi bendungan, itu dua hal yang terpisah, ujarnya.
Kemudian, Rocky melibatkan nama Gubernur Jawa Tengah dalam perbincangannya. Dia menduga ada oligarki yang sama antara persoalan pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan kisruh lahan di Desa Wadas ini.
"Kita tahu, Gubernur Jawa Tengah ini punya masalah yang sama dengan soal kendeng itu. Jadi, sangat mungkin ada oligarki yang sama yang mengelola itu, sepengetahuan atau seizin dari Gubernur, walaupun itu disebut izin politis, yang kita sebut izon!" tukasnya.
Rocky mengatakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dibangun telah merusak habitat hidup warga Desa Wadas.
Bendungan itu (jaraknya) 12 kilometer dari Desa Wadas. Itu adalah Proyek Strategis Nasional, ok nggak ada soal silahkan aja karena udah selesai. Tapi kemudian dianggap bahwa untuk menghasilkan PSN, membereskan proyek bendungan itu, maka Wadas itu harus dirusak habitatnya. Kan di situ dungunya, katanya.
Menurut Rocky, Desa Wadas tidak seharusnya dibongkar paksa hanya untuk memastikan kesempurnaan PSN yang dibangun.
Dia juga menilai ada pengambilan lahan yang terlalu dipaksakan. Sebab dari penuturan DPR RI yang termasuk PSN hanyalah Bendungan Bener, sedangkan penambangan andesit yang dibawa ke Wadas tidak termasuk. Dia merujuk pada sebuah pemberitaan internasional terkait pengepungan di Desa Wadas sebagai cerminan penghinaan akal manusia.
Baca Juga: Rocky Gerung Jelang Putusan MK, Tangan Tuhan Ada Disana!
Pengepungan itu merupakan penghinaan terhadap akal manusia. Bukan sekedar, kalau penindasan Hak Asasi Manusia (HAM) sudah betul, ini penghinaan akal manusia, ujar Rocky.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dosen ilmu filsafat itu memberikan saran kepada Menkopolhukam Mahfud MD yang sebelumnya memberikan klarifikasi tentang kejadian pengepungan di Desa Wadas, agar lebih teliti dan tidak keliru menyampaikan informasi yang menurutnya sangat kasat mata.
Saat Ini Sudah Berbeda dengan Orde Baru
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah juga angkat bicara terkait konflik yang terjadi di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. "Kalau harmoko bilang gak ada apa2 ya sudah memang gak ada apa2," cuit Fahri lewat akun Twitternya @Fahrihamzah, seperti dikutip Optika.id, Sabtu (12/2/2022).
Dia awalnya berbicara terkait tradisi otoriter, saat negara selalu meminta untuk dipercaya dan apapun yang dikatakan pemerintah itu selalu benar. Hal tersebut, menurut dia, sempat terjadi di zaman Orde Baru, Soeharto.
"Dalam tradisi otoriter, negara selalu meminta agar mereka dipercaya, apa yang dikatakan oleh penguasa itu selalu benar dan kita harus selalu menganggap yang dikatakan penguasa itu benar. Nah, itu yang terjadi dulu di zaman Orde Baru," kata Fahri.
Dia mengakui hal itu terjadi lantaran pemerintah bisa mendikte seluruh elemen seperti aparat hingga media. Maka, menurutnya, terkadang apa pun yang dikatakan Istana, meski salah, harus dibenarkan oleh jajarannya.
Baca Juga: Rocky Gerung: Jokowi Rakus Akan Kekuasaan
"Memang dalam banyak hal karena pemerintah mampu mendikte seluruh elemen yang ada termasuk media dan juga aparat di bawah, sehingga kadang-kadang omongan Istana itu salah pun harus dibenarkan di bawah," ucapnya.
Namun, menurutnya, saat ini sudah berbeda zaman dengan Orde Baru. Dia menegaskan pemerintah tidak lagi harus selalu menang dan benar.
"Sekarang sudah beda situasinya, kita hidup di zaman demokrasi, negara tidak selalu harus menang, tidak selalu harus benar. Dan pemerintah juga harus jujur karena teknologi dan keterbukaan yang ada sekarang tidak memungkinkan lagi negara dan pemerintah menyembunyikan apa yang terjadi di tengah masyarakat. Jadi sebaiknya kritik kepada juru bicara istana perlu didengar karena rakyat juga melihat dan mereka semua kejadian yang ada," pungkasnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi