[caption id="attachment_9675" align="alignnone" width="300"] Oleh: Cak A. Cholis Hamzah[/caption]
Kita sering mendengar kata Indonesianist terutama dikalangan mahasiswa atau akademisi dibidang politik, antropologi, budaya dan sosiologi, atau pengamat politik Indonesia. Indonesianist sendiri secara umum adalah orang asing yang memiliki perhatian tinggi terhadap Indonesia, melakukan penelitian tentang Indonesia, dan mencintai Indonesia, oleh karena itu beliau-beliau itu fasih berbahasa Indonesia, dan banyak memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan Indonesia. Para Indonesianis ini ada yang ahli antropologi Indonesia, politik Indonesia, budaya dan bahkan ada yang ahli NU-sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia seperti Prof. Mitsuo Nakamura dari Jepang, Prof. Martin Van Bruinessen (dari Belanda) dan Greg Barton dari Australia. Ada yang menekuni gamelan, batik, tari-tarian nusantara dsb.
Baca Juga: Hidrogen Alternatif Bahan Bakar yang Bagus
Pihak Kementrian Luar Negeri Indonesia memang memiliki concerns, perhatian khusus terhadap keberadaannya para Indonesianis yang sebagian besar sudah sepuh dan meninggal dunia seperti Ben Anderson, William Liddle, dsb. Padahal keberadaan beliau-beliau ini sangat penting bagi Indonesia. Karena itu Kementrian Luar Negeri pernah mengadakan Kongres Dunia Indonesianis yang tempatnya di Universitas Negeri Yogyakarta dengan Tema dari Kongres The World Indonesianist Congress selama tiga hari (14-16 Oktober 2016) ini adalah: Building a Better Future of Indonesia: Toward a Tolerant, Vibrant and Creative Society. Saya kebetulan waktu itu hadir sebagai partisipan.
Pemilihan Yogyakarta sebagai tempat kongres itu memang tepat karena kota Yogyakarta bagi siapa saja (termasuk saya) adalah kota yang selalu memberi inspirasi dan motivasi karena banyak memberi pelajaran bagi kehidupan. Daerah khusus Yogyakarta ini memang disebut-sebut sebagai pusat budaya Jawa dimana banyak kearifan budaya yang luhur yang berkembang sejak dulu, dan merupakan miniature bangsa mengingat berbagai suku bangsa ada disana.
Kemenlu pada waktu itu mengundang berbagai Perguruan Tinggi yang memiliki peneliti dan mahasiswa asing dan memiliki Kantor Urusan Internasional (KUI). Saya melihat PT-PT yang datang di Kongres itu banyak antara lain UGM, UNY, UII, Unair, ITS, Universitas Brawijaya. Jumlah peserta yang hadir sekitar 400 orang dan pihak Kemenlu mengundang Indonesanis dari 43 negara diataranya dari Amerika Serikat, Jepang, Myanmar, Timor Leste, Korea Selatan, Australia, Inggris, Polandia, Gambia, Jerman, Rusia, Cina, Yordania, Libia dsb.
Baca Juga: Kenali Tiga Kuliner Fermentasi Asal Asia yang Sudah Mendunia, Ada Khas Indonesia!
Beberapa mahasiswa asing yang saya temui kebanyakan merasakan kekagumannya tentang budaya dan masyarakat Indonesia serta hubungan antar ras dan agama. Mahasiswa asing yang beragama Islam misalnya dari Libia, Asia Tengah (bekas negara-negara bagian Uni Sovyet dulu), Afrika dan Pakistan merasa bahagia tinggal di Indonesia karena mereka menemukan Masjid dan Mushalla dimana-mana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rata-rata mereka sudah pergi keberbagai daerah di negeri ini, misalnya Bromo, Bali, Lombok, Bandung, Yogyakarta dan sekitarnya. Maklum diantara mereka sudah berada di Indonesia ini selama 2-7 tahun; dan tentu mereka fasih berbahasa Indonesia. Cara tutur kata mereka meskipun berbahasa Inggris sudah menunjukkan bahwa mereka sudah lama tinggal di Indonesia, santun dan sopan. Bahkan mereka yang belajar di Yogyakarta sudah memahami budaya Jawa, bagaimana berbicara bahasa Jawa halus.
Tentu pihak Kemenlu mengharap agar para peniliti dan mahasiswa asing yang berada di Indonesia ini akan tertarik untuk menjadi Indonesianis yang karena pengalamannya berada di Indonesia, berinteraksi dengan masyarakat dan mengikuti perkembangan dinamika sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. Diharapkan diatara mereka akan menjadi Indonesianis karena tertarik menekuni kajian-kajian tentang Indonesia dan pemikiran-pemikiran mereka akan merupakan kontribusi yang sangat penting bagi Indonesia kedepannya. Memang unuk melihat maju tidak nya Indonesia ini tentu tidak bisa dari kacamata kita sendiri, maka pandangan dan kritikan dari perspektif orang luar yang mencintai Indonesia sangatlah diperlukan.
Baca Juga: 78 Tahun Merdeka, Indonesia Masih Terseok-Seok
Semoga.
Editor : Pahlevi