dr Terawan Terbukti Salah, Tapi Apakah IDI Sepenuhnya Benar? 

author Seno

- Pewarta

Selasa, 29 Mar 2022 14:29 WIB

dr Terawan Terbukti Salah, Tapi Apakah IDI Sepenuhnya Benar? 

i

IMG-20220328-WA0017

Optika.id - Pada 21 - 25 Maret yang lalu berlangsung Muktamar IDI (Ikatan Dokter Indonesia) yang ke 31. Hasil keputusan di tanggal 25 telah dibacakan, dan menuai polemik. Disebut menuai polemik karena meramaikan jagad sosial media. Salah satu keputusan yang banyak disorot adalah memecat Dokter Terawan Agus Putranto, Mantan Menteri Kesehatan dari keanggotaan IDI secara permanen.

Ada lima dalil yang dikemukakan IDI sebagai alasan untuk memecat Dokter Terawan. Menurut saya yang paling penting untuk diperhatikan adalah dalil pertama, dalik ke 2 dan seterusnya, adalah dalil turunan dari dalil pertama, kalau tidak mau dianggap sebagai dalil politis. (Dalil 1 akan dijabarkan disini, selebihnya bisa lihat sendiri sesuai muktamar IDI). Dengan memahami polemik di dalil 1 kita akan tahu, atau sedikit terbuka dalam melihat ini. Beberapa media telah memberitakan polemik ini jauh sebelumnya, bahkan salah satu media menulis laporan investigatifnya. Tulisan ini hanyalah rangkuman dan penelusuran pribadi dari banyaknya sumber yang berseliweran di sosial media.

Baca Juga: Sosiolog UGM: Stigma Memperburuk Penanganan Gangguan Kesehatan Mental

Dokter Terawan Dianggap Melakukan Malpraktik

Hasil keputusan Muktamar 30 IDI di Samarinda, September 2018, mengeluarkan keputusan : SK MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) No. 009320/PB/MKEK-Keputusan/02/2018, agar Dr Terawan harus menjalankan sangsi etis sekaligus melampirkan bukti ilmiah atas praktik IAHF (Intra Arteria Heparin Flushing) atau lebih dikenal sebagai praktik "Brain Washing" yang sudah dilakukan sejak tahun 2004. Setelah keputusan itu, Dr Terawan tidak pernah kooperatif dan tidak juga mau memenuhi panggilan MKEK. Buntunya jelas, Muktamar IDI di Aceh kemarin, memperkuat ini sebagai dalil utama untuk memecat Dokter Terawan.

Dokter Terawan belum mengeluarkan statement pribadi tentang polemik IAHFnya, dia tidak juga memberikan penjelasan mengapa mengambil jarak dengan MKEK untuk menyelesaikan kasus "malpraktik"nya. Tentu ada alasan dibaliknya. Tapi daripada menduga-duga Dokter Terawan, keputusan MKEK adalah keputusan wajar secara organisasi, dan publik juga wajar untuk menilai bahwa Dokter Terawan memang benar-benar melanggar ketentuan atau prosedur kesehatan.

Sebelum Muktamar Samarinda, sudah banyak sekali statement yang meragukan, mengkritik bahkan media juga banyak yang mengolok-olok metode IAHF Dokter Terawan. Hal itu mudah sekali ditemukan di sosial media. Statement kritik juga banyak sekali diucapkan oleh seorang Dokter yang background-nya adalah kubu dari MKEK misal Prof Dokter Prijo Sidipratomo. Dokter Prijo didukung oleh Prof Dokter Hasan Machfoed pimpinan Perdossi (Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia) yang mengatakan metode Dokter Terawan hanya alat diagnosa, bukan obat yang untuk menyembuhkan secara langsung. Sekali lagi, mudah sekali mencari berita kritikan terhadap IAHF Dokter Terawan, tapi sulit sekali mencari pembelaan atau jawaban Dokter Terawan atas kritik itu.

Bagi pendukung Dokter Terawan, untuk membela Dokter Terawan yang paling logis adalah mereka harus menyusun preposisi bahwa keputusan IDI itu syarat dengan keputusan politis. Argumen logis yang mungkin akan ditawarkan Dokter Terawan adalah menilai bahwa MKEK itu seperti forum untuk mengadili. Artinya datangnya Dokter Terawan memenuhi panggilan IDI sama saja bunuh diri. Pun menjawab bantahan kritik, sama saja dengan melempar bola liar agar Dokter Terawan bersuara sehingga mudah diadili di MKEK. Tapi bagi kubu lawan Dokter Terawan, Dokter Terawan adalah salah satu contoh Dokter yang memang wajarnya tidak boleh dipercaya jika terbukti melakukan "Malpraktik". Aktifitas mangkir dan segala manifestasinya sangat merugikan, karena tidak dijalankan sesuai dengan prosedur IDI (diluar IDI). Sebagai organisasi resmi yang menaungi berbagai lisensi bisnis dan kepakaran kedokteran di Indonesia, tentu itu sangat merugikan.

Berita yang Menguatkan Dokter Terawan

Berita yang menguatkan Dokter Terawan adalah berita testimoni dari tokoh-tokoh ternama tentang "Brain Washing". Pertama, Dahlan Iskan yang mengatakan metode Dokter Terawan itu membuat dia "feeling good", Dahlan mengatakan dia merasa "Pyar" setelah mengikuti terapi Brain Washing, meski tidak dalam kondisi punya penyakit yang disembuhkan. Meski tidak ingin mengatakan bahwa metode "Brain Washing" Itu aman, tapi Dahlan terkesan puas dengan metode itu.

Butet Kertarajasa, setelah mengikuti Brain Washing, ia mengesankan bahwa prakteknya bisa terus dilakukan meski bertentangan dengan IDI. Ia menilai aman dan banyak juga pasien dari mancanegara yang ikut praktek ini. Ini merupakan langka yang bagus dan harus dikembangkan.

Kesaksian paling menguatkan datang dari SBY (Susilo Bambang Yudhosono), ia mengatakan "Banyak yang merasa ditolong. Saya punya sahabat, seorang pemimpin dunia, saya tidak perlu sebut namanya. Dia memiliki keluhan di bagian kepala. Berobat ke dua negara tetangga kita yang dianggap maju di bidang kedokteran tidak sembuh. Akhirnya datang ke Jakarta. Karena dia seorang PM, dokter Terawan sempat menyampaikan kepada saya, saya sampaikan silakan sesuai dengan yang berlaku selama ini. Singkat kata, sahabat saya itu sembuh,". Tokoh lain yang juga memberikan tes timoni positif adalah Abu Rizal Bakrie, Mahfud MD, Tri Sutrisno, Hendropriyoni dan Sutiyoso.

Jaya Suprana bahkan memberikan kesaksian secara eksklusif di Metro TV tentang efektifitas dari metode Brain-Washing, dia merasa terbantu sekali dengan metode Dokter Terawan. Salah satu komentar di dunia kesehatan yang dianggap otoritatif, juga patut dirujukkan pada Dokter Ryu Hassan di Geolive. Dokter Ryu Hassan menjelaskan bahwa, terapi Brain Washing yang menggunakan metode DSA (digital subtraction angioteraphy) itu bisa menghalau Stroke. Terkhusus ketika masalah strokenya berkaitan dengan Cerebrovascular.

Banyak sekali testimoni positif, tapi lebih banyak lagi kritikan untuk Dokter Terawan. Menanggapi banyaknya testi dari banyak tokoh, IDI tetap berpatokan pada prosedur yang tepat. Yaitu, penegasan pentingnya Evidence Base. Jadi, secara prosedur, IDI menyampaikan seribu testimoni Dokter Terawan tidak akan berguna jika tidak ada uji klinis. IDI tentu benar dan wajar mengeluarkan statement ini. Meski belum ada laporan korban akibat praktek ini, menurut IDI yang dilakukan Dokter Terawan tetaplah berbahaya karena melanggar kaidah kedokteran.

Pembentukan SATGAS

Surat keputusan MKEK terbit Februari 2018. Dimana surat itu tidak pernah digubris oleh Dokter Terawan. Sanksi tidak melakukan praktek sebelumnya juga sudah diterapkan. Dokter Terawan tetap tidak menggubris, sampai akhirnya IDI di tanggal 12 Februari mengambil keputusan mengeluarkan sanksi. Setelah dikeluarkan Sanksi, berita testimoni keberhasilan Dokter Terawan oleh banyak tokohpun tiba tiba muncul di publik. Ini yang mungkin membuat IDI di bawah Prof Dr Ilham Oetama Marsis melunak, dan menunda penjatuhan sanksi sampai Muktamar Samarinda berlangsung.

Kegaduhan antara Dokter Terawan dan IDI ini meluas sampai meja sidang Komisi IX DPR. Banyak komisi IX yang menyayangkan keterbelahan antara Dokter Terawan dengan IDI, beberapa anggota komisi IX mengatakan harusnya persoalan ini bisa diselesailan secara kekeluargaan dan saling mendukung. Akhirnya komisi IX menyarankan kepada KEMENKES untuk membentuk Satgas agar persoalan ini selesai.

Baca Juga: Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila

Dibentuk tanggal 22 Mei 2018, Satgas menyelesaikan kerjanya pada Juli 2018, sesuai dengan 45 hari kerja yang diperintahkan sidang komisi IX. Setelah keputusan itu, sidang MKEK pun digelar dan tetap menjatuhkan sanksi terhadap Dokter Terawan. Hasil keputusan Satgas akhirnya bisa diketahui oleh publik, setelah beberapa media mempublish temuannya. Rekomendasi paling penting untuk disimak dari keputusan itu adalah praktik IAHF harus ditutup secara nasional karena memang belum teruji secara metodologi ilmiah. Apalagi IAHF belum untuk tujuan terapi belum disahkan di Indonesia oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Keputusan Satgas ini harusnya semakin menyudutkan Dokter Terawan, karena diketahui ternyata Dokter terawan masih membuka praktik di RSPAD Gatot Soebroto. Tapi apakah ada pembenaran terhadap praktiknya Dokter Terawan di RSPAD Gatot Soebroto?

Kesimpulan:

Dokter Terawan Tidak Salah Ketika Berpraktek Di RSPAD Pasca Keputusan SATGAS

Jika pertanyaannya apakah Dokter Terawan melanggar kode etik dan prosedur metodologis? Barangkali benar karena memang belum ada uji klinis. Adanya testimoni ratusan pasien akan dianggap tidak cukup membuktikan apapun. Ditambah lagi, data terperinci pasian juga tidak pernah disampling secara rapi sehingga Dokter Terawan tidak bisa menyusun bukti itu. Apalagi untuk menyusun bukti yang basenya adalah penelitian empiris perlu pembuktian yang lama dan pasien yang banyak juga, dari berbagai rentang umur. Yang selama ini dilakukan Dokter Terawan hanyalah praktek teoritik saja, bahwa benar ada perhitungan rasional, tapi belum ada base-empiriknya di Indonesia. Sehingga segala macam argumen Dokter Terawan hanya mengarah pada Pre-Post Intervension, yaitu asumsi untuk mengukur efek terapi, dan ini belum cukup kuat dijadikan Evidence-Basenya.

Hal yang menarik adalah, Dokter Terawan pernah mengeluarkan argumen bahwa yang ia lakukan itu berada pada kerangka metodologis RANDOMIZED CONTROLLED TRIAl (RCT), yaitu mencari silogisme dari randomisasi samping untuk dicari benang merah karakteristiknya. Hanya saja, sepertinya informasi yang disampaikannya kurang detil, dan sepertinya bisa dibaca hanya optimisme belaka (asumsi).

Menurut saya, KEMENKES masih menghargai Dokter Terawan lebih dari IDI menghargainya. KEMENKES menghargainya untuk bisa membuktikan metode IAHFnya, karena memang terbukti banyak testimoni yang berhasil. Kemenkes melalui menterinya waktu itu, Nila Moeloek, akhirnya memberi wadah Dokter Terawan agar bisa membuktikan dengan melakukan terus praktik di RSPAD namun "berbasis penelitian". Dan ini tentu tugas yang lama, jika metodenya adalah RCT. Oleh sebab itu Dokter Terawan wajib melaporkan secara berkala temuan randomisasi pasiennya.

Jadi, Satgas sudah benar dengan merekomendasikan agar praktik IHAF itu ditutup jika dan hanya jika untuk Terapi. Tapi mengingat ada potensi bisa membantu dibidang kesehatan, KEMENKES juga benar dengan tetap menugaskan Dokter Terawan agar melakukan praktik di RSPAD jika dan hanya jika itu "Berbasis Penelitian", seperti pernyataan Nila Moeloek.

Baca Juga: Pita Hitam dari Ikatan Dokter Indonesia

Bagaimana dengan IDI? Saya kira IDI dan Dokter Terawan harusnya sejak awal tidak saling mengkritik, terlebih IDI yang harusnya tidak melakikan langkah offensif. Harusnya temuan bahwa IHAF yang bukan saja sebagai diagnosa tetapi juga bisa untuk metode terapi (seperti diluar) dengan cara tertentu bisa ditunjang base penelitiannya di Indonesia. Upaya IDI, sampai memutus keanggotaan dokter Terawan, bahkan jika sampai melarang dia berpraktek sebagai dokter sangat sulit untuk tidak dimaknai sebagai tindakan politis.

Bagaimana dengan Dokter Terawan, harusnya sejak awal ia menggandeng IDI, dan tidak melanggar etika prosedural serta tidak melakukan langkah langkah non kooperatif, apalagi mangkir dari MKEK?

Sebagai dokter mentaati prosedur ilmiah dan IDI itu penting sekali. Tentu membuat gusar jika yang dilakukan dr Terawan itu nantinya disamakan dengan praktik pengobatan alternatif. Bukan berarti DR Terawannya akan membahayakan, tidak! tapi membendung stigma tentang pengobatan alternatif menurutku juga penting. Banyak sekali saya temui, alih alih mengkritik Dokter Terawan, banyak Dokter yang dengan "keahliannya", dia mengkritik pengobatan alternatif yang sudah mengakar, membatin, dan membudidaya di masyarakat. Bukan karena salah dan benar, tapi dokter dokter sombong tersebut, menurut saya tidak layak untuk dihormati. Saya ketika sakit berobat ke dokter, sangat percaya dokter, tapi tidak untuk dokter sombong yang semacam itu!!!

Pertanyaan reflektif: Kira kira ada apa?

Oleh: Irfan Al Ayat (Komunitas STIGMA/Studi Intelegensia Manusia)

Editor: Pahlevi 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU